MALPRAKTIK PENDIDIKAN (Part 2)
Masa Kecil
Oleh: Hamdani Manan
Ayahku tidak banyak punya waktu untuk mengasuh dan mendidikku. Tidak ada kesempatan baginya untuk bermain dan bercanda ria dengan anaknya. Ia tidak melihat aku bermain gampar, potok lele, layangan dan perang-perangan lumpur di tengah sawah bersama teman seusia. Ayahku tidak melihat aku sering jadi muazzin dalam acara didikan subuh atau latihan silat dengan inyiak. Apalagi setelah aku dewasa. Pasti ia bangga kalau ia sempat menyaksikan aku anaknya sudah menjadi ‘guru’. Itu semua hanyalah selembar kisah suram di masa kecil.
Aku tidak merasa bahwa aku anak yatim. Di samping ibuku yang tegar, gigih dan sabar, aku diasuh oleh kakekku (ayah dari ibuku) bernama Muhammad Djamil Tuanku Mudo. Orang kampung biasa memanggilnya Angku, Inyiak atau Nyiak Uban. Inyiak mengajariku main layangan, mobil-mobilan dan puput tanduk. Aku dibuatkan layangan cantik tidak seperti kebanyakan layangan yang dimiliki teman-temanku. Aku juga punya mobil-mobilan dari kayu buatannya karena ia juga tukang mengalahkan mobil-mobilan dari kelopak pisang dan karet terompa.
Inyiak seorang ulama yang disegani. Ulama yang tamatan Surau Sungai Landai ini, di samping penguasaannya yang luar biasa dalam ilmu agama ia juga ahli silat. Masih segar dalam ingatanku, sehabis sholat jamaah subuh dan sholat ashar ia selalu membaca alquran dan membaca kitab-kitab kuning. Ia membuat sendiri jadwal waktu sholat dan imsakiyah ramadhan. Aku pernah disuruh memegang tongkat lurus dan ia berjongkok pada ujung bayangan tongkat itu. Di tangannya ada busur, buruj dan meteran. Kemudian membuat catatan di bukunya yang ditulis dengan arab melayu. Hamdani kecil bertanya, “Buek mainan apo ko Nyiak?” Jawab inyak itu, “Iko caro manantukan arah kama awak maadok sumbayang”, aku masih bingung ia menambahkan “Kalau lah gadang Ang isuak bisa inyiak ajakan”. Aku belum mengerti waktu itu bahwa kakek itu memastikan arah qiblat yang benar.
Inyiak terbiasa hidup rapi dan disiplin. Ia mengontrol kapan aku harus di rumah dan kapan bermain. Biasanya setiap habis ashar, aku dipanggil ke rumah. Masih di hadapan kitab kuning di atas meja duduk, aku dilatih mengenal huruf dan suku-kata, aku disuruh mengulang menulis angka dan kadang mengaji Surat Alif (Qa’idah Baghdadiyyah). Hanya batu tulis dan grepe menggantikan papan-kapur atau buku-pensil.
Selain mengenalkan dasar-dasar numarecy dan literacy, inyiak juga memperkenalkan kosa kata bahasa Arab sederhana seperti nama-nama anggota tubuh. Sebelum masuk SD, aku sudak bisa menyebutkan: ‘ainun, uzunun, anfun’ (mata, telinga, mulut). Aku tidak tahu metode apa yang beliau terapkan, sampai pada usia senja sekarang, hal-hal kecil yang diajarkannya itu bisa mengendap menjadi long-time memory. Aku masih ingat kosa kata seperti khinshir, binshir, wustha, ibham. sababah (kelingking, jari masnis, jari tengah, telunjuk dan ibu jari).
Aku tidak pernah kesal dan dongkol sama Inyiak walaupun sedang asyik bermain kejar-kejaran dengan teman dan dipanggil ke rumah. Mungkin karena ia mengasuhku dengan ikhlas dengan penuh kasih dan sayang. Ia bukan tidak pernah marah. Aku pernah dimarahi karena mempeselsetkan bacaan sholat yang biasa didendangkan juga oleh teman-teman sambil bermain.
Wajjahtu wajahiya,
basimpang jalan ka tarok,
kanai batu indak dia,
kanai api indak talok.
Kalau ada kawan yang kesasar batu waktu main gampar, jampi itu biasa diucapkan dengan nada semangat, diyakini bisa menghilangkan rasa sakit. Cukup banyak ujaran dan jargon yang bernada kotor didapatkan dari pergaulan sesama.
Mungkin untuk mengantisipasi ini, Inyiak juga memperkenalkan pantun-pantun lucu dan edukatif, misalnya,
Rabuang bapucuak di tapi aia,
Hiduang tacucucak mato baraia.
Layang-layang tabang malayang,
Hingggok di rantiang si marapati,
Itu eloknyo urang sumbayang,
Mukonyo janiah, hatinyo suci.
Inyiak adalah sosok yang sangat aku kagumi dan banyak perpengaruh dalam hidup. Ia sangat berperan membuat aku tidak pernah merasa yatim walaupun sudah ditinggal ayah semenjak kecil. Ia sangat mencintai dan mendidikku di waktu kecil. Banyak temanku yang mengagumi sosok ayahnya. Tidak seperti rekan-rekanku yang lain yang dengan bangga bercerita kenangan indahnya bersama ayahnya di waktu kecil, kalau aku bahkan tidak mampu menjawab sebuah pertanyaan sederhana “Apa kenangan yang paling berkesan dengan ayahmu pada masa kecilmu?” Aku harus menjawab “I have zero memory of him”.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar