Zul Andris

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Jadi Anak Pontren (Bagian 2)

Jadi Anak Pontren (Bagian 2)

Zikra...! Zikra...! Suara panggilan itu membangunkan Zikra dari tidur sorenya. Ibunya yang dari tadi sibuk di dapur, kemudian membangunkan Zikra. Karena ia kelelahan berjalan pulang siang tadi. Maka ia tidur setelah shalat ashar. "Sudah hampir magrib nak, ayo mandi, siap-siap pergi ke masjid ". Ujar ibunya.

Zikra kemudian bangun dengan sedikit rasa malas. Ia bergerak lunglai menuju kamar mandi. Dalam fikirannya terbayang kata-kata ustadz di pesantren. "Kalau antum semua pulang kampung, tunjukkan bedanya antum dengan anak-anak lainnya. Sholatlah selalu di masjid, dan sedapat mungkin antum mesti azan. Panggilan azan dari suara antum akan menjadi pahala. Tunjukkanlah bahwa anak pesantren adalah penyeru ke jalan Allah. Untuk itu mulailah dengan mengumandangkan adzan di Masjid-masjid atau Mushalla di kampung antum masing-masing". Bayangan kata-kata ustadz kembali membangkitkan semangat Zikra. Dengan sigap ia mandi dan membersihkan badannya. Ia tidak sabar untuk segera menuju masjid. Melantunkan suara azan, memanggil masyarakat untuk menegakkan sholat berjemaah.

Dengan mantap Zikra berjalan menuju masjid di kampungnya. Ia berjalan menuruni jalanan yang berbatu. Rumah Zikra terletak diatas bukit. Kira-kira 500 meter dari masjid. Jalan dari rumahnya ke masjid menurun. Dipenuhi oleh batu-batu kecil yang tajam. Ia berjalan dengan hati-hati, agar tidak terjatuh. Jalanan di kampungnya memang tidak rata. Di ujung penurunan jalan ada sebuah kedai. Pemuda desa biasa berkumpul di situ. Mereka asik main domino. Ada juga yang main kartu remi. Sambil asik bercerita dan menyerubut segelas teh manis, atau secangkir kopi hangat.

Zikra terus berjalan dengan semangat. Ia sangat percaya diri. Ia bertekad untuk azan magrib ini. Ia ingin suaranya menggema di kampung itu. untuk memanggil masyarakat desa melaksanakan sholat berjemaah.

Lima belas hari pertama mondok di Pesantren, telah banyak merubah kepribadiannya. Bimbingan, binaan, dan motivasi dari ustadz dan pengasuh asrama, telah membuat Zikra banyak berubah.

"Pai kama buya, pai azan. Capeklah! Dulu lo urang beko." (Mau kemana Buya, pergi azan ya! Cepatlah! Dulu pula orang lain nanti!) Suara itu, tiba-tiba menghentikan langkah Zikra. Ia terkejut dan tidak mengira akan mendengar kata-kata itu. Dari dalam kedai seorang pemuda menegur. Kata-katanya bukan memotivasi. Tapi mematahkan. Mematahkan pucuk yang baru tumbuh. Pucuk yang siap mekar. Pucuk yang akan menghasilkan bunga dan buah. .....

Bersambung....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Pak ceritanya. Sukses selalu dan barakallahu fiik

17 Jan
Balas

Ya buk. Syukran

19 Jan

Berkreasi lagi bah

22 Jan
Balas



search

New Post