Ibu Penganti Ayah yang Sempurna
Lahir dan tumbuh besar di pelosok terpencil. Satu-satunya transportasi umum yang ada ketika itu yakni bendi. Jarak ke ibukota kabupaten kurang lebih 30 KM. Ke ibu kota kecamatan sekitar 10 KM. Jarak yang sesungguhnya tidak begitu jauh, namun dengan kondisi jalanan yang buruk dan sulitnya transportasi umum menyebabkan akses warga kampung keluar wilayahnya sangat terbatas. Kami biasanya keluar dari kampung sekali se pekan, yakni ketika hari pasar.
Sumber penghasilan utama warga kampung berasal dari pertanian. Puluhan tahun tanah diolah dengan mengandalkan air hujan. Ketika musim kering menanam palawija dan ketika musim hujan menanam padi. Setelah pemerintah Orde Baru mencanangkan swasembada beras, barulah wilayah kami mendapat pembangunan sarana irigasi.
Anak-anak banyak putus sekolah. Kami hanya bisa tamat sekolah dasar, sebab hanya sekolah tingkatan itu yang ada di kampung. Kami yang ingin melanjutkan pendidikan, harus rela berpisah dengan orang tua atau harus menempuh jarak kurang lebih 20 KM setiap hari dengan mengayuh sepeda. Pilihan yang sama beratnya.
Ayah-ibu tidak tamat sekolah dasar, namun mereka tidak ingin anak-anaknya putus sekolah. Saya sebagai anak pertama diharapkan menjadi contoh bagi adik-adik untuk terus bersekolah meski dengan kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan.
Ayah-ibu yang tidak memiliki pendidikan menyadari dengan sungguh-sungguh bahwa hanya dengan pendidikan, nasib anak-anak mereka dapat berubah. Ayah yang bekerja sebagai petani, mengandalkan lahannya yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari keluarga. Kebutuhan menyekolahkan anak-anak diperoleh dengan jalan jadi buruh tani, yaitu dengan mengerjakan sawah milik orang lain dengan sistem bagi hasil.
Ibu sebagai pengasuh di rumah bekerja mengurus saya dan adik-adik yang ketika itu berjumlah tiga orang. Satu hal yang selalu ibu ajarkan kepada kami yakni sabar, jangan bertengkar dengan saudara, jangan ribut karena rebutan makanan. Dalam kondisi apapun, ibu selalu mengingatkan untuk bersabar.
Demi membantu rumah tangga, ibu turut bekerja menanam apa saja kebutuhan sehari-hari di ladang dekat rumah. Sesekali membuat minyak dari hasil buah kelapa di samping rumah. Kami, anak-anaknya yang semuanya laki-laki pun ikut membantu ketika libur sekolah atau di sore hari.
Seiring berjalannya waktu, kami tumbuh bersama dalam keluarga yang sangat sederhana. Allah kemudian melengkapi keluarga kami dengan hadirnya seorang adik perempuan. Jadilah kami lima bersaudara. Sesungguhnya ibu melahirkan anak delapan orang, tiga diantaranya meninggal di usia balita.
Ajaran orang tua begitu membekas dihati. Kami hampir tidak pernah ribut dalam keluarga. Kesabaran yang diajarkan ibu tertanam begitu kuat. Puncak kesabaran itu ibu tunjukkan kepada kami anak-anaknya ketika ayah meninggal dunia. Saya sebagai anak pertama yang ketika itu telah berkeluarga dan memiliki dua orang anak, merasa begitu kehilangan. Sosok ayah yang selama ini jadi panutan tiba-tiba harus berpisah selama-lamanya. Ibu kemudian hadir sebagai pengganti ayah.
Tanggungjawab ibu jadi bertambah besar sebab saya harus tinggal terpisah dengan beliau setelah saya bekerja di daerah lain. Setelah berjalan beberapa tahun, kami memutuskan untuk berpidah tempat ke kampung asal orang tua ibu. Tujuannya untuk mendekatkan keluarga dengan keluarga besar dari ibu. Kali ini, keputusan saya serahkan penuh ke ibu. Ia dengan begitu cermat menjual harta benda warisan dari ayah untuk kemudian dibelikan lagi harta yang dapat memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan kebutuhan hidup anak-anaknya. Ibu benar-benar jadi pengganti ayah yang sempurna.
Tanggungjawab yang ibu emban terus dapat diwujudkan satu persatu. Setelah mengamankan harta warisan ayah, ibu kemudian mengantarkan adik-adik membentuk keluarga masing-masing. Tiga orang adik laki-laki saya dapat memasuki jenjang pernikahan. Inilah adalah salah satu amanah yang dititipkan ayah kepada ibu, dan ibu telah mewujudkannya. Inilah buah kesabaran yang beliau ajarkan dan tanamkan kepada kami. Semoga ibu selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wata’alah dan meridhoi cita-cita kami untuk memberangkatkannya menunaikan ibadah haji.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Kereeen cerpennya, Pak. Salam literasi
trima kasih pak Dede. Salam
keren bunda... salam literasi
eh..maaf. pak.
trima kasih bu. Salam