Zaimatun

Dia Ibu rumah tangga. Menulis membuatnya bahagia. Menurutnya, hidup ini indah. Seberapapun sulit hidup, harus dilalui dengan cara-cara yang indah. Hanya itu yan...

Selengkapnya
Navigasi Web
Anak Bandel
Kamu bandel, banyak bertanya!

Anak Bandel

Pagi itu aku ke sekolah anak-anak. Anak kami yang pertama perempuan, namanya Bita, duduk di kelas lima. Sedang adiknya laki-laki, Zaky nama panggilanya, masih kelas tiga. Mereka belajar di Sekolah Dasar yang sama. Hari itu mereka berdua tidak masuk sekolah.

“Bu, nuwun sewu bade ngijinaken Bita.” Aku mengawali percakapanku menggunakan bahasa Jawa dengan Bu Hanum, gurunya Bita.

“Ya Bu, ndak apa-apa. Kenapa?” respon Bu Hanum hangat.

“Tadi malam saya ajak ke Rembang Bu. Adiknya yang kecil, Abil panas tinggi. Karena punya riwayat kejang, langsung saja saya bawa ke IGD RSUD Dr. Sutrasno. Takut terjadi apa-apa.” Aku mulai bercerita.

Hari itu, Jumat 29 Agustus 2019. Sekitar pukul 14.00 tiba-tiba Abil panas. Rencana semula memang langsung kami bawa ke IGD. Tapi karena selama perjalanan membaik, panasnya berangsur turun, akhirnya kami bawa ke dokter spesialis anak, Dr. Maya. Dia tahu riwayat kesehatan anak terkecil kami. Sekitar pukul 15.30 kami tiba di tempat prakter Dokter Maya. Alhamdulillah masih buka. Abil adalah pasien terahir. Sebelumnya kami sempat khawatir karena ada pengumuman tertempel di pintu bahwa untuk hari jum’at dan sabtu praktek mulai pukul 12.00 – 14.00.

Kondisi Abil tidak terlalu menghawatirkan. Itu alasan kami mengikuti kemauan mereka untuk bermain-main di alun-alun kota Rembang sebelum pulang. Dalam perjalanan pulang tiba-tiba Abil menggigil kedinginan. Mungkin karena AC mobil. Hari itu kami meminjam mobil teman untuk membawa Abil ke Dokter. Bu Ary panggilanya. Beliau juga punya pengalaman yang sama. Anaknya yang paling kecil juga punya riwayat kejang.

Sesampai di rumah suhu badan Abil semakin meninggi. Aku berikan lagi paracetamol dari dokter. Biasanya setiap empat jam sekali, jika masih demam aku memberikan paracetamol. Ini sesuai anjuran dokter. Keadaan ini membuat dua kakaknya tidak bisa tidur dengan nyaman. Kondisiku sendiri semakin tidak stabil. Aku mulai menangis. Ayahnya berusaha tenang meski kegelisahan yang dahsyat tampak nyata dari wajahnya yang kelelahan. Sekitar pukul 02.00 kondisi Abil mulai membaik. Panasnya berangsur turun. Kakak-kakanya mulai bisa tidur dengan tenang.

“Itulah sebabnya Bita tidak masuk hari ini, Bu.” Kalimatku mengakhiri cerita.

“Padahal kemarin Abil baik-baik saja ya, Bu” kata Bu Nikmah menimpali.

Beliau juga mengajar Bita ketika kelas empat. Sedangkan Abil selalu ikut Mak Tun menjemput kakak-kakaknya pada jam-jam pulang. Wajar kalau guru Bita kenal Abil.

Mak Tun memang bukan saudara kami. Tapi lebih dari itu. Dia yang menjaga anak-anak ketika kami menjalankan tugas mencerdaskan anak-anak bangsa. Jasanya tiada tara. Seperti lagu hymne guru saja, he he …

“Ya, Bu. Mudah-mudahan segera sehat seperti semula” kata Bu Hanum menutup pembicaraan kami.

Selanjutnya aku harus ketemu Bu Eni untuk mengijinkan Zaky. “ah…..” keluhku dalam hati.

Entah kenapa cerita Zaky kemaren kembali mengusikku. Kasihan anak itu. Sangat tertekan. “Bismillahirrahmanirrohim….” Aku berucap dalam hati sambil melangkahkan kaki menuju kelas Zaky.

“Assalamu’alaikum.” Sapaku sedikit membuyarkan kesibukan Bu Eni dan peserta didiknya. “Wa’alaikumussalam” sambut Bu Eni.

“Maaf, Bu. Saya mengijinkan Zaky. Hari ini tidak bisa masuk. Kemarin saya ajak ke Rembang. Adiknya sakit. Sampai di rumah sudah malam. Ditambah tadi malam tidak bisa tidur karena terganggu adiknya.” Begitu cerocosku tidak memberi kesempatan Bu Eni untuk meresponku.

“aduh… kelihatan banget emosiku” kataku jujur. Walau dalam hati sih he he…

“ya, Bu” responnya akrab sambill menggamit tangan kiriku.

“Nderek titip Zaky ya, Bu. Zaky bagaimana, Bu?” tanyaku memancing dalam bahasa gado gado, Bahasa Jawa dan Indonesia.

“Nuwun sewu, nggih (maaf, ya.). Zaky itu bandel, bandel banget!” katanya pelan dan pasti.

Entah kenapa ada desiran yang menyeruak di dada ini. Pelan tapi teramat menyakitkan.

“Dia itu terlalu sering bertanya. Habis dijelaskan bertanya, habis dijelaskan bertanya” lanjutnya.

Aku menunduk lemas. Hatiku hancur, porak poranda oleh kalimat tadi.

“Ya Allah…. Beri aku kekuatan. Jangan biarkan air mataku jatuh.” do’aku dalam hati.

Aku himpun serpihan hatiku. Aku mohon pada sang pemberi kekuatan.

“Bu, apakah bertanya itu salah?” Tanyaku dengan keterpaksaan.

“Ya tidak salah. Tapi kalau terlalu sering bertanya kan…” Dia tidak melanjutkan kalimatnya.

“Saya sudah bilang Zaky, Bu” dia melanjutkan kalimatnya.

Sementara aku hanya mendengarkan dengan segudang kegundahan.

“Mas Zaky, semua sikap Mas Zaky itu Ibu catat loh.” “Bukankah kurikulum 2013 begitu BU? Semua harus dicatat. Repot…. ”

“Hah…..! Kurikulum 2013?” pertanyaan besar menggelantung di hatiku.

Ternyata Bu Eni menggunakan dalih kurikulum 2013 untuk melabeli Zaky anak bandel. Karena dia sering bertanya.

Hampir saja aku bertanya “Apakah Ibu sudah memahami kurikulum 2013?”

Tapi aku tahan pertanyaan itu karena sungkan atau lebih tepatnya takut dia tersinggung. Aku tahu ini kebiasaan yang salah. Namun aku harus melakukanya supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

“Terima kasih, Bu. Sekali lagi saya titip Zaky” kataku sembari berpamitan.

Aku melangkah dengan gontai menuju motor. Aku mulai menghidupkan motorku dengan sisa-sisa tenagaku. Perbincangan tadi betul-betul menguras energi. Aku jalankan motor perlahan. Pikiranku kacau.

“Kurikulum 2013?, Semua harus dicatat?, Zaky anak bandel?, Karena dia sering bertanya?” pertanyaan-pertanyaan itu menguasai otakku. Sayang aku tak akan pernah mendapatkan jawabanya. Karena aku tak akan berani menanyakan pada si pembuat pernyataan. Sekali lagi hanya takut terjadi kesalah pahaman.

Sesampai di sekolah, tempatku mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa. Seperti biasa, masuk ruang guru, saling berjabat tangan sambil berucap salam. Tak berapa lama bel tanda dimulai pelajaran berbunyi. Serta merta ruang guru berangsur sepi. Kami mulai menginjakkan kaki ke ladang kami. Berjuang mengolah lahan dengan segenap kemampuan kami. Dengan benih-benih yang tadinya tidak seberapa harganya. Namun kami bertekat saat panen nanti kami akan menghasilkan buliran-buliran benih yang lebih berharga dibandingkan sebelumnya.

Beberapa hari kemudian aku masih belum bisa melupakan kejadian tanggal 30 Agustus 2019 itu.

Sampai suatu hari di kelas 9G. “Pelajaran leh, Bu! (Mulai pelajaran, Bu!)” Terdengar suara dari pojok belakang, bagian utara.

“Apa Las, coba ulangi! Pintaku.

“Tidak pelajaran, Bu?” ulangnya dengan kalimat yang berbeda.

“Ya, ini sudah mulai pelajaran” jawabku disambut tawa satu kelas.

Lastriono memang jarang sekali bisa fokus dalam kelas. Bertanyapun tidak pernah. Apalagi berinisiatif meminta guru memulai pelajaran, hil yang mustahal. Eh salah, hal yang mustahil.

Namun hari itu Lastriono sungguh luar biasa. “Tadi kamu dimana, pelajaran sudah mulai dari tadi kok baru minta Ibu untuk memulai pelajaran?” tanyaku menyelidik.

“ngantuk, tidur kemalaman, Bu.” Jawabnya santai.

“Ok, buka bukunya ya, ini teman-temanmu mulai latihan mengerjakan soal.” Pintaku memberi semangat.

“Ok, Bu.” Jawabnya semangat. “Tolong Lastriono dibantu, ya…” pintaku pada kelas.

“Ok, Bu!” jawab mereka serentak.

Sambil berkeliling aku melihat Lastrino sibuk. Dia terlibat aktif dalam kelompoknya.

Tiba-tiba “Ah…..” pertanyaan-pertanyaan itu kembali berputar-putar diatas kepalaku “Kurikulum 2013?, Semua harus dicatat?, Zaky anak bandel?, Karena dia sering bertanya?”. “Sungguh pemahaman yang salah kaprah” gumamku dalam hati.

“Kurikulum 2013 memang lebih menekankan proses. Sekecil apapun perkembangan peserta didik dalam proses pembelajaran harus diapresiasi.” Aku mulai mencoba mengurai dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi. Mungkin ini yang Bu Eni maksud. Guru harus mempunyai catatan perkembangan proses belajar peserta didik.

“Lalu bagaimana dengan anggapanya terhadap anakku? Zaky anak bandel?, Karena dia sering bertanya?” hatiku kembali nyeri.

“Bukankah itu contoh perubahan konsep pembelajaran kurikulum 2013?”, “yaitu dari berpusat pada pendidik menjadi berpusat pada peserta didik?”, “dan bagaimana jika dihubungkan dengan pendekatan 5M?”, “bukankah M yang kedua itu mengkondisikan peserta didik banyak bertanya?”, “kenapa banyak bertanya justru anak bandel?” kecamuk pikiranku mulai reda karena sesungguhnya aku telah mendapatkan hikmah dari kejadian yang menyakitkan ini.

inilah maksud Pak Anies Baswedan. Kita harus terus belajar, harus literat sepanjang hayat. Mudah-mudahan suatu saat nanti Bu Eni akan merasa senang dan Bangga terhadap peserta didik yang banyak bertanya. Bukan malah menganggapnya anak bandel. Untuk aku sendiri mudah-mudahan peristiwa ini akan membuatku lebih menyayangi peserta didikku. Dan lebih berhati-hati dalam menyampaikan informasi tentang perkembangan peserta didik terhadap orang tuanya. Setiap sesuatu pasti ada hikmahnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post