
Urgensi Pendidikan Pancasila Untuk Penguatan Pendidikan Karakter (Bagian 1)
Menyoal pendidikan Pancasila yang terangkum dalam Kurikulum Prototipe 2022, mari sejenak penulis mencoba mengingat masa lalu. Dulu, saat penulis duduk dibangku sekolah dasar hingga sekolah menengah, antara tahun 1979 hingga 1991. Penulis masih mendapat pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Bahkan saat memasuki bangku sekolah menengah pertama hingga studi di kampus, penulis pernah merasakan yang namanya Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Penulis juga pernah merasakan mengikuti penataran P4 itu dari pola 20 jam hingga 100 jam. Sejak saat itulah penulis mampu mengetahui dan memaknai Pancasila sebagai pedoman hidup di Bumi Nusantara ini.
Menyoal pelajaran PMP saat itu, mengalami perubahan setidaknya dua kali. PMP diubah menjadi pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) dan kini menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Sementara penataran P4 dihapus bersama institusi BP7, setelah dianggap sebagai bentuk doktrinasi sebuah orde kepemimpinan di negara ini.
Pertanyaan yang paling dasar akhirnya muncul. Apakah PMP juga pelajaran yang merugikan peserta didik? Apakah penataran P4 juga merugikan masyarakat, bangsa dan negara? Bila dijawab dari sisi pengetahuan, baik PMP maupun penataran P4 jelas menguntungkan wawasan keilmuan seseorang dan jelas-jelas tidak pernah merugikan masyarakat. Apalagi merugikan kepentingan pemerintah, bangsa dan negara.
Tapi entahlah, dengan keterbatasan wawasan politik dari penulis, nyatanya pelajaran PMP dan penataran P4 sepertinya sudah dijadikan alat politik saat itu. Ya, alat politik untuk menjatuhkan sebuah orde/rezim kepemimpinan bangsa ini yang dinilai telah mengungkung dan memenjarakan demokrasi.
Terlepas dari perjalanan sejarah itu, tentunya kemunculan Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P4) yang sekarang dikumandangkan, merupakan bentuk kesadaran seluruh masyarakat. Meskipun munculnya dari sebuah kementerian saja. Ya, menteri pendidikan, kebudayaan, riset dan teknologi yang mencuatkan P4 dalam dunia pendidikan di tanah air ini.
Kilas balik kembali, sejak tahun 2010 saat menteri pendidikan dijabat Bapak Muhammad Nuh, telah dimunculkan yang namanya pendidikan karakter di sekolah. Hingga saat ini, hal itu masih dilaksanakan dengan penambahan istilah Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang terangkum dalam Kurikulum 2013 Revisi. Fakta itu nyatanya menjadi inspirator dengan munculnya program P4 yang diluncurkan Mendikbud Ristek, Bapak Nadiem Anwar Makarim.
Mengingat-ingat berbagai program tersebut, penulis akhirnya menarik sebuah hubungan. PPK sangat signifikan dengan P4 versi Kurikulum Prototipe 2022. Mengapa? Karena keduanya sama-sama dilaksanakan dalam kewajiban maupun tanggungjawab dunia pendidikan. Selain itu, baik PPK maupun P4 sama-sama terfokus pada upaya-upaya meningkatkan kualitas generasi bangsa ini untuk lebih beretika dan memiliki ciri khas Indonesia.
Sementara bila dibandingkan dari cakupan materi, jelas lebih kompleks P4 dibandingkan dengan PPK. Meski keduanya saling berhubungan, tetapi dalam P4 lebih terfokus pada nilai-nilai luhur Pancasila sebagai bagian dalam pembiasaan dan budaya berkehidupan di dunia pendidikan. Bahkan penulis berani mengasumsikan, bila implementasi P4 jauh lebih mudah dibanding dengan implementasi PPK.
Mengapa demikian? Secara prinsip keilmuan maupun dalam pelaksanaannya, P4 jauh lebih fleksibel tetapi sangat faktual dibanding dengan PPK. Hanya saja, masalah mudah dan sulit itu sangat tergantung bagaimana pola pikir dan wawasan tenaga pendidik itu sendiri. Utamanya dalam mengintegrasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam pembelajaran, berkehidupan di lingkungan sekolah hingga memberikan contoh-contoh yang bermanfaat.
Meskipun demikian, kondisi antara PPK dan P4 dalam kebijakan ada perbedaan yang menyolok. Utamanya dalam penerapan kebijakan pendidikan itu dilingkungan sekolah atau dunia pendidikan. Pelaksanaan PPK bisa langsung diterapkan secara bertahap di sekolah. Sekolah pun tidak ada hak untuk memilih melaksanakan atau tidak melaksanakan. Kebijakan pendidikan itu bersifat umum dan dapat dilakukan dengan cara apapun.
Sedangkan P4 sendiri dalam Kurikulum Prototipe 2022, hanya menjadi pelengkap kebijakan. Ironisnya, kebijakan itu sangat tendensius pada aspek kesejahteraan guru yang notabene menerima tunjangan profesi pendidik (TPP) yang biasa disebut tunjangan sertifikasi. Simak saja konsep kebijakannya dan hal itu sangat wajib dikritisi.
P4 sendiri menjadi alternatif dalam pelaksanaannya di sekolah. Pendidik tidak harus memenuhi kewajiban jam mengajar sebagaimana disyaratkan dalam tunjangan sertifikasi. Imbalannya, pendidik itu harus tergabung dalam Proyek Pengembangan Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P6). Disamping itu, sekolah boleh melaksanakan Kurikulum Prototipe dengan dua pilihan.
Pertama, yaitu sekolah yang ditunjuk sebagai pilot project atas Kurikulum Prototipe 2022. Kedua, sekolah bersifat opsional ketika mau melaksanakan kurikulum itu. Intinya, kurikulum prototipe 2022 bukanlah kurikulum yang (maaf) untuk dipaksakan. Melainkan kurikulum yang dapat dipilih sesuai dengan keinginan dan kemampuan sekolah dalam penerapannya. Opsi kebijakan seperti inilah yang bisa penulis katakan sebagai kebijakan mengambang dan konyol.
Idealnya, biarlah Kurikulum 2013 Revisi tetap dijalankan bersamaan dengan pelaksanaan P4 secara totalitas sesuai dengan penerapan konsep Merdeka Belajar. Kebijakan seperti itu jelas memudahkan manajemen sekolah maupun pendidik dalam mengimplementasikan kebijakan pendidikan itu secara lugas dan profesional. Jangan lagi ditawarkan apalagi tendensius atas sebuah aspek materiil dalam muatan sertifikasi.
Lantas apa urgensi Pendidikan Pancasila dengan PPK bilamana P4 benar-benar menjadi keharusan bagi seluruh jenjang pendidikan? Penulis akan menjelaskannya dibagian kedua dari tulisan ini.(Bersambung)***
#TantanganGurusiana-05
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar