yuniakbar

Ternyata menulis itu menyehatkan jiwa. Ia menjadi jejak bahwa kita pernah ada. Karena kita akan tiada. Tulisan dari hari akan bertemu hati pembaca. Alumni S2 A...

Selengkapnya
Navigasi Web
NAIK ANGKOT
sumber: koranmadura.com

NAIK ANGKOT

Apa istimewanya? Bagi saya, naik angkot itu istimewa sekali karena saya jarang sekali naik angkot. Sok banget ya? Tidak. Ini jujur. Naik angkot hanya sesekali. Sebulan sekali saja belum tentu. Ya, saya lebih suka naik kendaraan sendiri atau pesan jek-on (ojek online) dengan alasan kenyamanan dan kecepatan.

Dipinggir jalan saya menunggu angkot jurusan yang saya tuju. Sepuluh menit kemudian datang dai-ha-tsu. Sayapun naik. Duduk sendiri dibelakang. Angkot tidak segera jalan. Pak Sopir berhenti menunggu kalau-kalau ada penumpang lain. Kemudian naik dua siswi SMK duduk dihadapan saya. Pak Sopir masih menunggu barangkali ada yang mau naik lagi. Sopirnya sudah tua, mungkin sudah lebih enampuluh. Dari tempat saya duduk, tampak pipi bagian kirinya sudah sangat keriput. Saya tidak tahu apakah pipi kanannya juga. Rambut sudah menipis tersisa uban. Untungnya Pak Sopir tidak merokok. Jadi saya nyaman tanpa gangguan asap. Pak Sopir melongok-longokan kepalanya keluar jendela masih berharap penumpangnya bertambah. Sayapun ikut melongok-longokkan kepala, juga berharap ada penumbang lagi. Betul, saya ingin ada penumpang lagi seperti harapan Pak Sopir. Jadi kepala saya dan kepala Pak Sopir bergerak-gerak seperti kepala kura-kura keluar dari tempurungnya. Ingin rasanya saya memanggil semua orang yang sedang berjalan di trotoar itu, kalau perlu saya paksa, untuk naik memenuhi angkot ini. Lho kalau bukan jurusannya bagaimana? Tidak apa-apa, yang penting naik saja. Lima meter kemudian turun lagi kan tidak masalah. Yang penting sudah bisa membuat Pak Sopir bahagia. Dan membahagiakan orang itu sedekah. Halah, lebay! Sepuluh menit kemudian tanpa tambahan penumpang angkotpun bergerak maju dengan tiga penumpang gadis. Oh, bukan! Dua yang gadis, satunya bukan gadis lagi.

Karena saya tidak tahu ongkos angkot saya bertanya pada siswi dihadapan saya, “Dik, sampai Pand’s bayarnya brapa?”

“Dua ribu,” salah satu menjawab.

“Itu untuk pelajar apa umum?” tanya saya lagi.

“Oh, iya, ding. Kalau umum tiga ribu.” Jawab salah satunya. Tujuh menit kemudian saya sampai ke tujuan. Karena tidak ada uang pas saya ulurkan lembar bergambar Frans Kaisiepo. Sementara Pak Sopir mencari-cari kembalian saya segera menghilang. Bukan masuk ke mesin waktu. Bukan. Saya masuk toko.

Pulang dari bebelian (membeli ini itu alias belanja) saya naik angkot lagi. Sama seperti angkot yang saya tumpangi tadi, kali ini saya menjadi penumpang tunggal. Sopirnya juga tunggal dan sudah tua seperti tadi. Diam tanpa senyum dan sapa seperti sopir yang tadi. Meski Cuma satu penumpang, angkot ini tidak ngetem. Pak Sopirnya tidak merokok. Dua kombinasi perbuatan mulia yang saya suka. Tidak ngetem dan tidak merokok. Semoga Allah memberikan pahala yang besar atas dua perbuatannya yang mulia ini. Mengampuni segala dosanya dan memasukkannya dalam golongan penduduk surga. Amiin. Lhoo….

Sendirian saya duduk dibelakang, serasa angkot pribadi. Tapi meskipun kosong saya tidak menselonjorkan kaki atau tidura-tiduran apalagi senam yoga didalamnya. Sama seperti posisi duduk saya di angkot sebelumnya. Saya melihat Pak Sopir tampak dari sepertiga belakang. Maksudnya, posisi saya diagonal dengan posisi sopir. Jadi saya hanya bisa melihat pipi kirinya yang keriput. Saya tidak tahu apa pipi kanannya juga sama. Lehernya dan hidungnya kurus. Hati saya tiba-tiba tertekan. Sedih atau semacam itu. Bagaimana sopir-sopir semacam bapak ini mengatur pendapatannya kalau penumpangnya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali. Mereka toh tetap harus mengeluarkan bensin dan makan. Belum kalau harus membayar setoran, kalau ada kerusakan, kalau kena tilang kalau ini dan itu. Berapa yang harus dibawa pulang untuk nafkah keluarga. Mungkin anaknya satu, dua atau lebih. Sedih saya bertambah-tambah. Sebetulnya saya ingin ngobrol sama Pak Sopir bertanya ini itu apa pendapatnya di keadaan yang tidak mudah ini, tapi tampaknya bapaknya sedang tidak ingin bicara. Dia diam mengarahkan angkotnya. Angkot bisa tiba-tiba ke kiri karena sopirnya mengira ada calon penumpang. Lalu ke tengah lagi mengikuti arus. Tiba-tiba ke kiri lagi sambil berharap. Kemudian ke tengah lagi. Begitu seterusnya. Menguji kesabaran kendaraan dibelakangnya. Ini bukan perbuatan mulia. Tapi, syukurlah doa saya tadi sudah berisi permohonan ampun, jadi perbuatan ini juga termasuk didalamnya.

Sampai depan toko Merbabu saya turun. Saya ulurkan lembar biru bergambar Ir. H. Djuanda. Kemudian saya cepat-cepat menyeberang. Angkotpun bergerak menjauh. Kira-kira seratus meter kemudian, saya lihat angkot tiba-tiba berhenti. Kepala Pak Sopir nongol dari jendela seakan-akan mencari sesuatu. Ya, seperti kepala kura-kura keluar dari tempurungnya, memanjang bergerak ke kiri ke kanan. Saya mempercepat langkah. Sambil berpayung rendah menyembunyikan kepala, saya terus berjalan ke arah yang berlawanan. Beberapa saat kemudian, ada suara berteriak-teriak. “Bu…!!! Bu….!! Saya antar…!! Bu… !! Bu…!!” Saya menoleh dan angkot itu sudah dibelakang saya tapi di seberang jalan sana.

“Tidak usah, Pak. Maturnuwun!! Sudah dekat, kok,” sayapun balas berteriak.

“Saya antar ya Bu…!!!” teriaknya lagi.

“Tidak usah Pak, maturnuwun!!” teriak saya. Ya kami saling berteriak bukan karena bermarahan tapi karena lalulintas ramai dan posisi kami berseberangan jalan. Pak Sopir menghentikan angkotnya sambil menatap kearah mana saya berjalan. Saya memperpelan langkah, tidak ingin Pak Sopir melihat kemana saya berbelok. Beberapa saat kemudian, saya intip dari balik payung saya, oh, angkotnya sudah pergi. Lalu saya cepat-cepat masuk gerbang tempat saya mengajar.

Kalau ditanya kenapa saya memberi demikian banyak untuk jarak yang lumayan dekat? Saya jawab, saya tidak tahu. Tiba-tiba dorongan itu muncul ketika saya merasakan keprihatinan yang dalam saat sendirian dalam angkot yang kosong. Hanya saya penumpangnya. Itu saja. Kesedihan saya sebetulnya sudah mulai muncul sewaktu naik angkot yang pertama tadi, mulai menguat setelah naik angkot yang ini. Saya yakin, banyak diantara kita melakukan hal yang sama karena merasakan empati yang sama. Apakah itu diniatkan sedekah atau yang lain, bisa saja, terserah yang melakukannya. Dorongan itu memang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata yang sangat terbatas maknanya. Itu perbuatan hati yang bisa dipahami hanya dengan hati. Dan sekarang saya bercerita, karena saya yakin banyak yang melakukannya. Semoga semakin banyak yang melakukannya. Tentu ada yang berkata, rejeki sudah ada yang mengatur. Ya, saya percaya itu. Maka saya berdoa semoga kita dijadikan sarana, sesuai kapasitas kita yang sangat sederhana, dalam sistem pengaturan tersebut. Saya sungguh berharap semoga tulisan ini tidak dianggap pamer amal.

#TantanganGurusiana (hari ke-11)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post