CARI JODOH
Peserta seminar sudah berdatangan dan mengisi hampir seluruh kursi yang tersedia. Aku menebar pandangan, depan belakang, mencari kursi yang masih kosong. Itu dia, ada satu dekat pintu menuju toilet. Ah tidak apa-apa. Toilet hotel bintang mana ada yang bau. Segera aku datangi kursi diujung barisan itu dan keletakkan bokongku. Srr... angin dari AC segera menerpa keras. Oh, pantas mengapa kursi ini dihindari. Ah, untunglah jaket sepeda motor kubawa. Nantilah kalau sudah kedinginan, baru aku pakai. Maklum jaket itu terlalu kontras kumalnya dibandingkan semua peserta seminar ini. Ya, ini adalah seminar Peningkatan Penanganan Penderita Gawat Darurat. Sebetulnya tidak ada hubungannya denganku sama sekali. Ide ikut seminar ini datang dari Rina, sahabatku waktu di SMA dulu.
Tiba-tiba lelaki disebelahku bertanya
”Dingin ya? Mau tukar tempat duduk?”
”Belum. Belum terlalu dingin. Mungkin nanti. Terimakasih.”
“Oh ya, kenalkan nama saya dokter Hartono. Dari RSUP,” senyumnya ramah sambil mengulurkan tangan.
“Nia,” sambil menyebut namaku kusambut uluran tangannya.
”Dari rumah sakit mana?” tanyanya lanjut. Aku gelagapan. Aku harus menjawab apa? Aku bukan dokter ataupun perawat seperti semua peserta seminar ini.
”Mmm, saya bukan utusan rumah sakit.” jawabku.
”Klinik?” tanyanya lagi.
”Bukan juga,” ini lho rasanya kalau tidak biasa berbohong.
”Rumah bersalin?” desaknya. Sementara pembawa acara sudah mulai dengan pembukaan.
”Bukan.”
”lalu?” alisnya terangkat kebingungan.
”Apa kasus gawat darurat ada kecenderungan meningkat?” tanyaku
”Rumah sakit bukan. Klinik bukan. Rumah bersalin bukan. Puskesmas barangkali?” dia mengerutkan keningnya, tidak menjawabku.
”Tren kegawat daruratan medis apa yang sekarang meningkat?” aku kembali bertanya.
”Pengamat kesehatan ya. Ini profesi baru yang menarik lho,” dia tetap dengan persangkaannya.
”Apa kecelakaan lalu lintas masih tinggi? Kayaknya gegar otak sudah tidak mendominasi ya. Kan kesadaran orang untuk memakai helm sudah baik,” aku bertahan dengan topik yang kutanyakan.
”Sebetulnya anda dari mana, kok saya jadi penasaran?” diapun bertahan dengan pikirannya. Dulu ketika kuliah bahasa, aku tahu istilah meaningful conversation. Tapi kelihatannya saat ini tidak berjalan.
“Kalau saya katakana terus terang, janji ya, dokter tidak tertawa.” Dia memandangiku. Mengangkat alisnya lagi. Kemudian mengangguk, hmm.
”Saya Cuma pingin ikut kok. Saya bukan utusan dari mana-mana. Saya utusan diri sendiri.” Dia ketawa kecil, tidak memenuhi janjinya.
”Lalu tujuannya apa ikut seminar begini. Ini kan seminar praktis SOP untuk penderita gawat darurat,” jelasnya.
”Tujuan saya?” tanyaku padanya, ”saya sedang cari jodoh. Saya pingin punya suami seorang dokter.” jawabku membuat tawanya pecah, terpingkal-pingkal. Beberapa orang disekeliling kami menolehkan pandangan. Aku diam saja, menundukkan kepala, tidak beraksi.
”Memangnya bisa?” tanyanya dengan wajah kemerahan menahan geli.
”Memangnya tidak bisa?” tanyaku balik.
”Hmm, seminar ini tigaratus ribu lho. Kenapa nggak cari di kontak jodoh saja? Lebih murah kan?” dia menggeleng-gelengkan kepala.
”Yah, kalau di kontak jodoh, kan belum tentu dokter.”
”Serius pingin dapat jodoh dokter?” tanyanya mengerling. Aku menganggukkan kepala mantap.
”Kenapa tertarik dengan dokter. Kan ada yang lain yang lebih kaya?”
”Nggak tahu. Pingin saja. Kayaknya asyik dapat gelar nyonya dokter,” jawabanku membuat dia tertawa lagi.
”Saya belum punya istri.” Matanya nakal menatapku. Aku diam saja. Memandang layar LCD yang mulai menayangkan statistic kegawatdaruratan medik lima tahun terakhir. Juga golongan kasus gawat darurat. Kasus gawat darurat terbagi menjadi beberapa yaitu : kasus gawat tidak darurat, kasus darurat tidak gawat dan kasus gawat darurat itu sendiri. Patah kaki dengan luka terbuka itu kasus darurat tapi tidak gawat. Gagal ginjal itu contoh kasus gawat tapi tidak darurat. Hmm, pengetahuanku jadi bertambah.
”Konsen banget. Ini pura-pura apa sungguh-sungguh?” tiba-tiba dia berkomentar. Aku tersenyum.
”Dua-duanya.Aku pura-pura paham dan sungguh-sungguh tak mengerti,” jawabku. Dia tertawa lagi.
”Serius cari jodoh ya?” Pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya. Aku mengangguk mantap.
”Saya belum punya istri.” Keterangan ini juga untuk kedua kalinya.
Sesi pertama selesai. Aku paham apa ya? Hmm. Dari begitu panjang penjelasan narasumber tadi berapa persen kira-kira yang terserap peserta? Kan ada kopi makalahnya. Ha, siapa suka baca? Enakan dengerin sambil memberi komentar ini itu atau bahkan ngobrol hal lain seperti aku dan dokter disebelahku tadi.
Coffe break ini aku melebur dengan peserta lain. Sambil menikmati kue-kue dan kopi krim aku mendengarkan berbagai komentar dan pembicaraan mereka. Sungguh aku benar-benar tidak tahu istilah-istilah kedokteran. Dari mulai pengobatan, begitu yang tertangkap di telingaku, sampai berapa menit seseorang dinyatakan meninggal setelah tidak bereaksi terhadap resusitasi. Wah, apa pula ini. Begitu seru pembicaraan mereka, dan begitu seru aku tak paham.
”Utusan dari mana?” tiba-tiba seorang laki-laki yang berdiri di sampingku bertanya.
”Dari.. mm... dari pabrik obat.” Sekali-kali aku berbohong ah.
”O.., detailer?” tebaknya.
”Ya.. begitulah,” jawabku.
”Pabrik obat apa tadi?” tanyanya seakan-akan aku pernah memberikan keterangan. Asal saja kusebut sebuah nama pabrik obat yangpernah kubaca brosurnya.
”Ada obat baru?” tanyanya.
”Mm..masih produk lama?” aku asal menjawab.
”Anti biotik atau untuk jantungnya?” tanyanya lagi.
”Dua-duanya ada,” aku bertahan berbohong. Biasa, satu kebohongan tidak bisa berdiri sendiri, dia akan diikuti kebahongan berikutnya. Dan inilah yang terjadi.
”Beta bloker-nya ada yang baru, ngga?” apa itu, hek, tenggorokanku tercekat.
”Ada suplemen baru untuk mempercepat penyembuhan luka, kan. Apa itu namanya, kelihatannya produk pabrik anda.” Aku mulai blingsatan, tidak tahu lagi harus menjawab apa.
”Ada... ada, nanti saya berikan brosurnya. Oh ya, maaf ya, itu ada teman saya yang nunggu.” Aku segera menjauh darinya, takut kalau dikejar pertanyaan lagi. Antibiotik? Obat? Hah? Aku paling anti. Kalau belum kesakitan sekali tidak bakal ada obat yang kuijinkan masuk mulut.
Dengan kaki gemetar aku kembali ke ruang seminar. Tak tahu kenapa, tiba-tiba percaya diriku menguap. Sementara aku berusaha menghilangkan rasa gemetaran, ada suara mengagetkan
”Hai, darimana saja?” sapa dokter Hartono dengan senyum kembangnya.
”Ngemil sambil ngopi,” kataku. Kemudian ada seorang laki-laki mendekati kami, matanya menatapku jenaka. Itu dia, laki-laki yang tadi menanyaiku, oh bukan, tepatnya menginterogasiku. Hatiku berdebar-debar.
”Oh ya, ini dokter Hendra. Kenalkan. Kebetulan kami teman kuliah dulu.”
”Hendra.” Dia mengulurkan tangan.
”Nia.” Aku menyambutnya.
”Oh ya, Mbak Nia boleh minta brosur obatnya?” katanya. Hendra dan Hartono saling berpandangan kemudian keduanya tertawa-tawa. Uh, sebal sekali. Apa mungkin ya mereka bersekongkol? Aku mati kutu.
”Ada brosur kriteria calon suami? Ha...ha..” Hartono menambahi, keduanya terbahak-bahak lagi. Tapi, meskipun sebal entah kenapa aku tak ingin beranjak. Justru aku merasa asyik disamping mereka. Di situasai tidak ada seorangpun yang kukenal, kehadiran mereka memberi rasa nyaman dihatiku. Lalu, mereka terlibat obrolan asyik tentang pekerjaan. Sedang aku bertahan duduk mendengarkan nara sumber yang entah bicara tentang apa.
Break untuk lunch tepat pukul duabelas. Perut yang keruyukan membuatku bergegas menuju jajaran menu. Antrean panjang, hampir empat ratus peserta.
Sop, udang goreng tepung, tepayaki, oseng jamur jagung muda kutata rapi di piringku. Nah, ini cukup. Nanti bisa ditutup dengan eskrim buah. Kucari kursi kosong. Makan sambil berdiri, mana enaknya? Baru saja aku duduk, tiba-tiba Hartono muncul.
”Yuuuu... huuu!! Makannya banyak sekali.” Mukaku langsung kemerahan. Porsi yang aku ambil memang melebihi ukuran wajar.
”Oh ya, boleh aku minta nomor telponmu. Barangkali nanti ada yang berminat, bisa aku sambungkan.” aku membelalakan mata.
”Lho, katanya serius. Aku dapat berapa kalau berhasil jadi mak comblang?” lanjutnya. Mulutku penuh, jadi aku tak bisa menanggapi, hanya mengangguk-angguk.
”Hendra juga masih single. Cuma dia suka ganti-ganti aja. Kayak pakai baju ya. Jadi dia kayaknya tidak cocok untukmu,” katanya sambil berakting dengan muka jenaka. Aku tetap mengagguk-angguk dengan mulut penuh. Udang goreng ini enak sekali, sayang kalau dilewatkan. Pingin nambah.
”Biasa makan banyak, ya? Nggak takut gemuk?” Aku geleng-geleng kepala.
”Nggak hamil aja makannya segitu. Kalau hamil gimana?” dia terus berkata. Aku mempertahankan kunyahan udang dimulutku. Mmm, enak sekali. Hartono memandangiku, tepatnya memandangi mulutku, yang kini kubuat-buat lucu gerakannya.
”Nggak takut alergi?” tanyanya sambil mengangkat alis.
”Mmmh.” Jawabku masih tetap dengan menggeleng-gelengkan kepala. Kubuat seolah-olah mulutku penuh dengan udang gede.
”Harusnya bukan udang yang dimulutmu itu... tapi....” suaranya berbisilk sambil ngeloyor. Aku melotot, tercekik ekor udang.
Pukul 4.30 seminar selesai. Semua berdiri berbaris mengantri sertifikat, secarik kertas berharga tigaratus limapuluh ribu rupiah itu. Aku geli melihat namaku, tertera di sana, dr. Tatiania. Ah, apa gunanya sertifikat ini untukku. Sambil berjalan keluar, aku coretkan dua huruf didepannya, Ny. Aku tertawa pelan, sendiri.
”Naik apa pulangnya?” tiba-tiba Hendra dan Hartono sudah berjalan disampingku. Cepat-cepat kuselipkan sertifikat itu kedalam tasku.
”Angkot. Uangnya habis untuk bayar seminar,” jawabku sambil lalu.
”Hen, antar dong. Masak seminar tigaratusan ribu, pulang naik angkot sih.” Lalu keduanya terbahak-bahak.
”Ya, siap. Kita mampir ke pabrikmu dulu ya, aku mau pesan obat ha...ha.. .” Keduanya makin terbahak-bahak. Entah apa warna mukaku saat itu. Mungkin seperti udang rebus.
Tiga minggu kemudian hp-ku bergetar.
”Hai, udah dapat jodohnya?” Sebuah pesan masuk. Siapa ini ya? Kernyitku. Oh, pasti kalau tidak Hendra ya Hartono. Siapa lagi yang tahu tentang perjodohan? Entah kenapa, aku tak bisa memutuskan apakah aku harus membalas atau tidak. Aku ragu-ragu, hatiku berdebar-debar sampai dua hari aku tidak merespon. Datang lagi sms berikutnya.
”Menikah sama aku saja yok? Kalau mau, balas ya.” Hatiku semakin tak karuan. Hari ke-empat sms datang lagi.
”Kok nggak dibalas. Deg-degan ya :).”
Akhirnya, dengan tangan gemetar aku balas.
”Maaf, ini siapa? Tidak melayani sms iseng.” Menunggu tiga hari ternyata membuatku kelimpungan tidak bisa tidur. Telepon ... tidak ... telepon ... tidak. Ah tidak saja. Memangnya aku perempuan apaan. Hari kelima sms-nya datang lagi.
”Aku serius. Tapi aku tidak bisa membawakanmu bunga. Kebetulan alergi sama putiknya. Balas.” Ah, kenapa tidak nekat saja. Gemetaran aku menuliskan alamatku. Terakhir kutulis, ”Aku nanti sudah pakai kebaya.” Geli kubaca sekali lagi. Entahlah, betapa berkecamuknya hatiku, gado-gado rasanya.
”Malam minggu besok seluruh keluargaku datang. Tidak perlu repot-repot menyiapkan macam-macam. Ibuku pandai masak.” balasannya.
Rasanya aku hampir pingsan, ketika sore itu tepatnya pukul lima, tiga mobil beriringan parkir didepan rumahku yang sempit, sebuah perumahan tipe 36. Aku masih mengenakan daster, sesudah bersih-bersih rumah.
”Siapa, Nia?” tanya ibu keheranan.
”Tidak tahu,” kataku tergagap-gagap. Aku memang tidak pernah bercerita sedikitpun tentang peristiwa ini. Cepat-cepat aku masuk rumah mengganti bajuku dengan kebaya seragam perkawinan salah seorang temanku dulu, jaritnya sudah dimodif seperti span panjang. Bedak, eyeshadow, lipstik seperti berkejaran menempel di mukaku. Sementara kudengar ibuku, dengan suara kikuk mempersilakan tamu-tamunya masuk. Segera kugantikan ibu yang sedang kebingungan, untuk berdandan ala kadarnya.
Beberapa orang tamu tersebut dengan cekatan mengatur meja, menghidangkan aneka macam cemilan dan minuman, seakan-akan mereka sudah hapal betul dengan rumah ini. Tamu-tamu itu, begitu ceria, saling canda, tidak memperdulikan aku yang terbengong-bengong. Jangan-jangan ini acara reality show di TV. Hartono!! Seperti biasa dengan senyum kembangnya yang renyah dan jenaka.
“Calonku, perkenalkan ini Ibuku.” Wanita cantik itu mengulurkan tangan dan mencium pipiku. Aku jadi jengah. Ramah nian dan begitu menerima, padahal ini pertemuan pertama kami. Sepertinya yakin betul kalau aku akan jadi menantunya.
“Bu, ini Nia. Tatiania. Yang kita lihat di TV itu.” Wanita itu mengangguk-angguk sambil tersenyum. Senyum seperti miliknya Hartono. Di TV? Kapan aku masuk TV?
”Oh, ya Nia, sebentar lagi di depan namamu bisa kamu tulis N dan Y kayak disertifikat waktu keluar dari ruang seminar dulu itu,” kata hartono sambil mengerling. Deg! Jantungku tercekat! Jadi dia tahu? Dari mana?
Tampaknya ’calon mertuaku’ itu sudah siap dengan segalanya, berbincang dengan ibu yang masih terkaget-kaget. Aku hampir tidak bisa bicara terus memutar otak dan mencubiti kulitku sendiri. Samar-samar kudengar ’calon mertuaku’ berkata pada ibu.
”Saya senang sekali, lho Jeng, Hartono akhirnya mau menikah. Kurang apa lagi dia, pekerjaan ada, umur sudah hampir tigalima. Aduh, saya tu ketir-ketir saja. Sampai-sampai saya bilang, wis kamu pilih siapa saja, ibu pasti setuju. Ibu siapkan segalanya.”
Tiga bulan berlalu, aku telah resmi menyandang gelar nyonya dokter Tatiania Hartono, seperti keinginanku. Sungguh, betapa bersyukurnya aku. Hartono periang, seakan tidak ada masalah didunia terpikir keras olehnya. Dia memberiku hadiah yang sangat istimewa, yang membuatku paham mengapa dia menjatuhkan pilihan hidupnya padaku.
Ia memutarkan film. Judulnya ’Nia Mencari Jodoh’. Tayangan pertama ketika aku berada di ruang seminar, aku makan udang. Aku ditengah-tengah peserta seminar, klihatan benar wajahku kebingungan. Berikutnya, ketika Hendra menginterogasiku, ketika aku dengan gugup memasukkan sertifikat ditasku, kemudian kegiatanku dikantor, dirumah ketika memakai daster. Tayangan terakhir, Rina, sahabatku berkata, ”Maaf ya, Nia. Aku tahu kamu sangat ingin punya suami dokter. Kebetulan sepupuku dokter juga lagi cari istri, dia sih orangnya pemilih banget. Persis kayak kamu. Aku sungguh-sungguh pingin nolong kamu juga nolong Hartono. Aku sampai sholat tahajud lho, supaya kalian jadian. Aku bilang sama Hartono, kalo jadi suaminya jangan nyakitin hatinya ya. Nia tuh lembut banget, enggak suka macam-macam. Awalnya aku bingung gimana caranya ya. Untung kamu ngikutin saranku join di seminar. Gila kali ya, guru disuruh ikut seminar gawat darurat. Yah, namanya jodoh. Hi.hi...kena deh. Pokonya sekarang, baik-baik semua ya. Saling menjaga. Moga rukun-rukun aja kayak aku sama Hendra. Sini sayang...” Tayangan berikutnya Hendra mencium gemas istrinya yang lagi hamil anak kedua.
Aku merasakan lengan Hartono merangkul pundakku. Kemudian napasnya terasa hangat dirambutku. Aku peluk lengannya.
”Nyonya dokter, I love you, my ordinary girl,” bisiknya.
”Yes, my silly doctor, I love you, too,” balasku sambil mencium pipinya. Haru, bangga dan bahagia memenuhi ruang hatiku.
Dasarnya adalah keinginan yang kuat. Dan jalanpun terbuka.
Sebuah catatan tahun 2010.
#TantanganGurusiana (hari ke 55)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar