yulia fatmianeri

Seorang guru yang harus banyak belajar. Tertarik dengan hal-hal baru yang bermanfaat. Motto : Sertakan Allah dalam setiap tindakan. Mengajar di MTsN 2 Pasaman s...

Selengkapnya
Navigasi Web
Tentang Rasa (Bagian 4 End)

Tentang Rasa (Bagian 4 End)

Aku mulai khusuk mendengarkan ceramah ustadz. Posisi ustadz berada di depan bagian tengah jama’ah laki-laki dan perempuan. Ada hijab yang membagi keduanya. Aku duduk bagian kanan mesjid paling belakang agak pojokan. Aku sengaja duduk disana agak jauh dari ustadz itu agar bisa fokus mendengarkan ceramahnya.

Mulailah ustadz itu berceramah, “Berdasarkan Firman Allah dalam surat Albaqoroh ayat 157 yang berbunyi ‘Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar’. Seorang beriman itu seharunya gak ada betenya. Tidak ada istilah ’Kayaknya hari ini bukan hari keburuntungan gua nih!’ Gak ada.” Ustadz itu berceramah dengan penuh semangat.

“Varian ujian yang diberikan Allah itu ada tiga, yang terdapat pada surat albaqoroh 214 : Ba’sa (fisik), dharra’(harta), zulzilu (parasaan). Nah ujian dalam perasaan itu seperi diputusin sama… atau yang kita tuju sudah kedahuluan orang lain” Ustadz itu berhenti sambil tersenyum. Ditemani riuh tertawa para jama’ah yang mayoritas muda-mudi.

Dia melanjutkan “Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999).” Para hadirinpun tampak khusu' mendengarkan ceramah Ustadz.

Aku berkaca-kaca mendengarkan ceramahnya. Kita hidup tidak lepas dari nikmat dan ujian. Kalau kita berpikir mana yang lebih besar nikmat atau ujian yang kita terima? Sungguh nikmat yang diberikanNya tak bisa kita ukur dengan apa pun.

Sampailah sesi tanya jawab. Beberapa jama'ah bertanya kepada Ustadz. Aku malah menggunakan kesempatan bertanya kepada ibu separo baya yang ada di sampingku. Aku mencodongkan badanku mengarah kepada Ibu tersebut.

“Maaf Bu, boleh saya bertanya?” Aku mulai gugup. “Ya Nak boleh, tanya saja!” Ibu itu pun tersenyum. Aku diam sejenak, “Berarti ustadz ini sepupuan dengan ustadz Ahmad ya Bu? Maaf ya Buk saya bertanya.” Kataku yang tidak tahu mulai bertanya dari mana. “Iya Nak…hmm kamu baru ya disini?” Ibuk itu berbicara dengan lirih. Aku mengangguk. “Yang biasa mengisi pengajian disini setiap Jum’at sore itu adalah Ustadz Ahmad. Nah dua minggu kemaren Ustadz Ahmad ada kepentingan lain di luar kota. Pengajian digantikan oleh Ustadz Yusuf. Kudratullah, Yusuf anak saya itu sedang berada disini.”

“Oo…!” Saya pun nyengir, tidak tahu apa lagi yang mau saya tanyakan. “Ada pertanyaan lagi?” Kata Ibuk itu, seolah-olah dia tahu apa yang sedang saya rasakan. “Nanti balik lagi ke Khairo, Buk? Trus keluarganya juga balik ke sana?” Aku memberanikan diri bertanya, meskipun badanku sudah mulai panas dingin.

Ibuk itu hanya menjawab dengan senyuman. Aku memandangnya dan mencerna makna dibalik senyuman Ibu itu. "Oh berarti dia sudah berkeluarga" Aku berkata dalam hati. Aku kembali meluruskan badan menghadap ke depan. Aku merasakan ada kepingan hati yang retak, menyembuhkan luka lagi, menghilangkan semua rasa, harapan, dan sebagainya. Tapi aku masih ingat pesan ustadz tadi. Ini semua ujian. Ujian perasaan. Jika kita mendapatkan ujian kita harus bersabar. Aku berusaha menenangkan diri. Semua akan baik-baik saja.

Lama aku terdiam, Ibuk itu bertanya lagi “Namamu siapa, Nak?”

Aku tersentak. “Sa..saya Aisya Buk.” Aku memaksakan diri untuk tersenyum.

“Anak saya itu belum menikah!” Kata ibu itu.

“Yang benar Bu!” Aku menanggapi denngan penuh semangat. Ibu itu tersenyum. Aku menjadi malu sendiri.

“Kamu kuliah di mana, Nak?”

“Sa..saya di UM jurusan Pendidikan Fisika, mau semester akhir, Bu.”

“Hafalan qur’annya sudah berapa juz, Nak?” Ibuk itu bertanya lagi.

Saya terdiam sejenak, sambil nyengir. “Belum banyak Bu! Masih proses menghafal alqur’an di Rumah Qur’an.” Saya tertunduk malu. “Mau dibimbing menjadi Hamilul Qur’an? Tanya ibu tersebut.

“Apa itu Hamilul qur’an Bu?” Tanyaku.

“Istilah untuk penghafal al-Qur’an, Nak?” Ibu itu menanggapi dengan merangkul tangnaku.

“Insya Allah, Bu!” Jawabku.

Pembicaraan kami terhenti ketika ustadz Yusuf akan menutup pengajian dengan doa. Semua orang sudah mulai bubar. Aku pun bersiap-siap mengemasi catatanku. Ketika hendak pamitan, Ibu tadi menarik tanganku, “Sini dulu Nak. Mari kita lanjutkan pembicaraan!” Aku terdiam, aku mulai menebak-nebak apa yang akan dibicarakan ibu ini.

“Ke rumah Ibuk dulu ya, biar enak bicaranya!” Kata Ibu itu lagi.

Aku mengangguk, badanku panas dingin, serasa mendapatkan angin surga.

***************

Sampailah di rumah Ibu tersebut yang tidak jauh dari mesjid. Rumahnya besar dan asri. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamunya. Ibu itu menghidangkan segelas teh manis untukku. “Silahkan diminum Nak!”

“Terimakasih Bu!” Aku tersenyum, lalu menyeruput teh itu perlahan-lahan.

Ibu itu memandang aku lama. Aku pun menjadi salah tingkah.

Tidak lama kemudian datanglah seseorang dari luar mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam” Kami pun menjawab salamnya.

Jantungku berdebar kencang.. Ustadz itu datang. Ya Allah dia begitu dekat denganku! Aku berteriak dalam diam.

“Sudah pulang, Yusuf! Sini duduk di samping Ibu. Ibu itu mengarahkan ustadz duduk di samping kanannya, sementara aku sudah berada di samping kiri ibu tersebut.

“Pertama, Ibu mohon maaf pada nak Aisya terlebih dahulu, karena tiba-tiba saja membawa Aisya kesini. Ini permintaan Yusuf anak Ibuk lho.”

Aku terdiam dan terpana, dari mana ustadz itu tahu saya ya?

“Sejak minggu pertama Yusuf disini, dia membantu temannya menjadi guru hafidz di Rumah Qur’an. Nah, disitulah Yusuf ini tahu nak Aisya. Yusuf hendak berta’aruf dengan Aisya. Yusuf minta izin pada ibuk agar dipertemukan dengan Nak Aisya disini.”

Aku terperangah mendengarkannya, hatiku seperti mau meledak.

“Bagaimana Nak Aisya? Apakah kamu sudah siap, kira-kira seminggu lagi kami sekeluarga ke rumahmu untuk acara pelamaran?

Ini seperti mimpi di siang bolong ya Allah. Aku bertasbih berkali-kali, mataku pun berkaca.

“Bagaimana nak Aisya?” Ibu itu mengulangi pernyataannya karena tidak ada respon dariku.

“Insya Allah, si..siap Buk!” Aku gugup.

Alhamdulillah..!” Terdengar suara Ustadz lirih.

Kemudian Ustadz itu berkata, “Fabiayyi ‘aalaa’i Rabbikumaa Tukadzdzibaan, maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengutip hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah membacakan surat Ar Rahman di hadapan sahabat-sahabat beliau. Kemudian beliau bersabda: ‘Mengapa aku mendengar jin lebih baik jawabannya kepada Tuhannya daripada kalian?’ Kemudian mereka bertanya, ‘Bagaimana jawabannya, wahai Rasulullah?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam lantas bersabda: Tidak sekali-kali aku sampai pada firman-Nya, Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan melainkan jin menjawab, Tiada satu nikmat-Mu pun wahai Tuhan kami yang kami dustakan’, semoga kita menjadi hambaNya yang pandai bersyukur!’”

"Aamiin" Jawabku. Seknario Allah adalah yang terbaik.

Tamat ^_^

Malang, 01 Februari 2020

#TantanganGurusiana

#BelajarMenulis

Hari ke-8

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ya...Ada ujian perasaan yo ya.he..he

02 Feb
Balas

Adolah ni...

02 Feb

Subhanaalah semoga kelak cerita ini menjadi real

01 Feb
Balas

Aamiin.. Allahumma Aamiin..Syukran kak sayang...

01 Feb



search

New Post