yudi hendra

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Berbekalah dalam Hidup

Berbekalah dalam Hidup

Ketika Ia Datang

Kematian itu datang kapan ia mau. Siapa yang bisa menolaknya, tak ada. Kau siapa? Semua orang takut, segan, dan hormat dengan hebat dan besarnya kuasamu. Maut tidak peduli itu. Ia sambar kehidupan yang kaumiliki lalu ia bawa pergi.

Maut sibuk, terus sibuk. Sungguh banyak antrean menuju alam barzakh; menuju apa yang selama ini manusia lari darinya; apa yang selama ini manusia selalu mengingkarinya, tak mau percaya.

Aku? Aku pandangi maut sebagaimana kebanyakan manusia memandangnya: penuh takut, penuh keinginan melupakannya. Ingin aku lupa bahwa sebenarnya maut itu tak pernah ada. Toh buktinya sampai hari ini aku masih ada. Tapi, fakta berbicara lain. Kemarin aku datang menengok kawan yang suaminya mati.

Apakah aku percaya bahwa aku akan mati? Semua tahu jawabannya. Semua orang tahu itu. Ketika kusakit kengerian kematian itu seakan sangat dekat. Seakan ia ingin berteman denganku. Ia seakan menyapaku, menanyakan bahwa apa aku siap untuk dibawanya ke suatu tempat yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya.

Aku pasti mati. Haruskah aku selalu ingat akan kematian itu. Tiap langkahku lalu kuucap bahwa aku harus selalu siap untuk mati, kapan saja sang raja maut datang menjemput.

Ketika kumati.

Tubuhku terbujur kaku. Apakah bisa aku seperti matinya para syuhada Palestina, tersenyum, santai, tidak kaku, tidak membuat takut siapa yang melihatnya. Sedang masih hidup saja aku telah membuat orang takut dan sakit hati, bagaimana pula saat aku telah mati, tentu aku lebih menakutkan: kaku, pucat, dan meninggalkan bias kengerian saat ruh melepas diri.

Tentu aku ingin seperti matinya para syuhada. Bagaimana bisa. Mereka sang syuhada Palestina, alangkah beruntung mereka, hidup di negeri yang mulia yang terus bergolak dalam perjuangan tiada henti yang penuh darah, air mata, dan pengorbanan tiada tara. Aku, ya aku, di sini, di rumah mungilku yang rimbun pepohonan ini, lebih banyak aku habiskan waktu dalam ketenangan, kenyamanan, dan tanpa masalah. Dari sisi mana aku bisa menyamakan diriku dengan mereka, para syuhada yang mati tersenyum.

Kegembiraan melihat tempat tinggalnya di surga menyunggingkan senyum di bibir sang syahid.

Apa yang harus aku lakukan agar aku bisa mati tersenyum.

Kuingat dosa-dosaku. Telah tiga puluh tiga tahun aku hidup di muka bumi. Aku baligh umur lima belas, katakanlah begitu. Berarti aku telah mulai menanggung dosa selama delapan belas tahun. Dalam sehari 24 jam, aku pakai tidur selama delapan jam, sisa enam belas jam. Enam belas jam itulah masa aku berbuat dosa. Kalau separuh, delapan jam, aku berbuat dosa dalam sehari, berarti seminggu 48 jam. Sebulan 192 jam. Setahun 2304 jam. Delapan belas tahun: 41.472 jam. Bagaimana caraku mempertanggungjawabkannya kepada Sang Maha Pencipta.

Tentu.. tentu, aku takut, sangat takut dengan azab dari Mungkar dan Nangkir di dalam kubur. Alangkah lama penantian hari kiamat sambil menikmati azab yang ganas dari MN. Plus ditemani teman yang mengerikan: sang amal keburukan.

Tentu.. tentu aku tak mau yang seperti itu. Tentu.. tentu aku mau di dalam kubur aku terjauh dari azab, dapat santai menikmati istirahat sambil memandangi tempatku di surga dengan ditemani seorang teman yang tampan dan harum: si amal soleh.

Tentu..tentu….

Tapi… di mana amal solehku. Apa.. apa amal solehku yang aku bisa mengatakan diriku pantas tidak di azab, pantas beristirahat dengan tenang sambil tersenyum memandangi surga. Apaaa…!!!

Apaa….

Jajaran dosa, maksiat, kelalaian, kemubaziran, kesia-siaan, antre ingin diakui sebagai salah satu di antara jajaran kesalahan yang aku lakukan.

Lalu apakah aku akan mati, lalu aku didera derita panjang. Aku tidak mau. Alangkah celaka diriku kalau begitu. Alangkah lebih baik kalau dulu aku tidak pernah diciptakan.

Lalu aku dimandikan, dikafani. Anak-anak dan istriku terus memandangi sepuasnya untuk terakhir kali. Mereka tentu sedih. Teringat segala kebaikan yang mungkin pernah aku lakukan untuk mereka. Sanak saudaraku tentu sedih. Bagaimanapun aku adalah saudara mereka. Teman-temanku yang tidak seberapa tentu sedih, teringat nostalgia yang mungkin pernah dilewati bersama.

Aku disolatkan. Aku diarak menuju tempatku akan dimasukkan ke dalam kubur, ke dalam tanah, berasal dari tanah kembali ke tanah.

Gelap.

**

Aku pasti mati.

Aku pasti mati.

Aku yakin itu.

Semua orang juga yakin.

Adakah huruf yang kurangkai jadi kata ini menggugahmu. Jika ada maka doakan agar tiap huruf ini bernilai kebaikan bagiku setelah aku mati, ditimbang dengan timbangan yang berat.

Amiin.

**

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post