Memberdayakan Bukan Memperdayakan
Rupert C. Lodge menyatakan bahwa “Life is education, and education is life”. Saya sering berujar pada diri sendiri tentang pendidikan yang lebih bermakna. Pendidikan yang memberdayakan bukan memperdayakan. Beda tipis istilahnya namun artinya bertolak belakang.
Pendidikan yang memberdayakan adalah life is education dan education is life yang dimaksud Lodge. Membuat orang dan lingkungan dalam pendidikan itu berdaya. Banyak pertanyaan. Apakah bisa terjadi? Bagaimana bisa diaplikasikan? Siapa yang menggerakkan? Kapan dimulai? Di mana saja bisa diterapkan?
Alhamdulillah proses panjang Sekolah Alam Indonesia bisa disebarluaskan. Hampir 20 tahun berjalan, menguatkan tentang pendidikan yang memberdayakan. Salah satu kegiatannya adalah story telling dari orang tua kepada kelas anaknya. Secara bergilir para ayah menjadi guru tamu di acara “bercerita” setiap pekannya. Menggandeng orang tua tetap bertanggung jawab terhadap proses pendidikan itu secara langsung. Berjuang bersama buat mempersiapkan anak-anak untuk hidup di masanya.
Nah berbicara tentang masa depan menjadi pembahasan hangat bagi pemerhati pendidikan. Sudah waktunya harus berpikir panjang. Kompetensi apa yang harus dikuasai anak di 20 tahun kemudian. Jangan-jangan dunia sudah sangat berbeda di waktu itu. Pola pendidikannya berubah. Tidak perlu menghadirkan guru di hadapan siswanya secara langsung. Guru bisa dari siapapun tergantung tingkat expertise-nya. Siswa yang berminat dengan jembatan misalnya, perlu digiring untuk bertemu dengan ahli jembatan terkemuka dunia jika perlu. Guru yang dimaksud, bertindak sebagai fasilitator atas kebutuhan siswa terhadap minat belajarnya.
Kembali pada kegiatan story telling, maka orang tua pun khususnya ayah akan terlibat langsung. Pengalamannya berbeda-beda sekali diantara mereka. Semua energinya disiapkan. Ada yang berlatih semalam suntuk. Ada yang menyiapkan hadiah-hadiah kecil. Itu semua untuk mengurangi grogi di hadapan siswa dan guru anaknya.
Kesannya, ternyata menjadi guru hebat itu luar biasa. Lelah dan membutuhkan energi yang tidak sedikit. Walau hanya mengawal 20 anak-anak namun harus mengenal semuanya secara baik. Memetakan potensi masing-masing anak. Bukan pekerjaan biasa bukan?
Akhirnya orang tua menyadari betapa membangun peradaban untuk calon penerus bangsa tidak lagi urusan guru semata. Kerja bersama orang tua dan guru adalah kerja besar dan harus bersinergi.
Kang Yudha
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sip,
Siap bu.
Great program Pa. Asking parents to share story to kids. It is very brilliant.
Thank you bu for your support.
memang guru hebat bapak ini
Terlalu memuji pak Hasim. Hanya belajar dari pengalaman saja. Berbagi buat guru-guru hebat di gurusiana. Semoga bermanfaat.
Judulnya provokatif nih.
Tidak bermaksud provokatif. Cuma membandingkan agar ada peebedaan nyata.
T O p banget kang Yudha...
Terima kasih bu Umul sudah mampir.
Saya suka dengan kalimat penutupnya. Keren.
Terima kaaih. Swmoga bermanfaat.
Peran yang sinergis.. ! Sip pak.
Siap pak.
Anak saat ini untuk hidup di masa mendatang. Mantab
Terima kasih mas Ali
Mantabb Luar biasa Kang Yudha
Terima kasih bu Suprapti. Ditunggu juga tulisannya.
jadi inspirasi, thanks
Terima kasih bu. Sudah support.
satu kata, "keren"
Terima kasih bu Endah sudah memberi support.
Gilak.. tulisannya bagus bagus.. posternya juga.. semangat pak.
Terima kasih bu Endah. Semoga bermanfaat.