Matahari telah berpamitan kala itu, bias oranye sudah benar-benar hilang, terpal biru tua tergelar di langit, lambat-lambat disibaknya warna yang lebih gelap, agar siap dikenakan oleh malam.

Di bawahnya, nampak seorang anak perempuan bertubuh kecil, nyaman bergelayut dikundang bapaknya. Punggung Bapak yang hangat dan lebar, berbau keringat bercampur aroma tanah dan rumput. 

"Hm.. Bapak bauu!!" serunya, namanya Seruni.

"Hahaha, ini aroma tubuh petani, Run. Aroma kerja keras Bapakmu." jawab bapak Seruni, bapak Rohim namanya.

"Iyaa... Bapak Seruni petani paling hebat, nomer wahid se Kampung Baruuu! Tak ada lawan!"

"Hahaha... Se bumi doong, biar paling keren Bapak mu ini, Run." jawab bapak semangat namun mulai terengah.

Langkah bapak mulai berat, ketika mereka  menyeberangi sungai setinggi pinggang.

"Bapak capek, ya? Nanti kalau Seruni sudah besar, gantian Seruni yang gendong Bapak di punggung." kata seruni menenangkan.

"Masyaallah... Baiknya anak Bapak, terimakasih, ya Run." bapak terharu. 

Seruni tersenyum bangga. Cahaya bulan dan temaram cahaya senter yang diikat di kepala Bapak, menjadi penerang perjalan pulang mereka ke rumah saat itu.

Azan maghrib telah usai, dari kejauhan bersahutan suara burung kedasih, sayup-sayup sinar lampu dari rumah penduduk di seberang sudah tampak. Sungguh waktu yang sunyi menjelang malam, namun waktu yang begitu hangat dalam ikatan kasih sayang seorang bapak dan putrinya.

.

.

.

#tantanganmenulishari6