Navigasi Web
Uswah Kartiniku
Tantangan 90 Hari Berkarya (Hari Ke-67)

Uswah Kartiniku

 

Azan Asar berkumandang. Saat itu, aku baru selesai mengajar. Tiba-tiba, gawai berbunyi, sederet kalimat pun tayang "Mamah pingsan, cepat ke sini" Kata Yuli, adik bungsuku.

Tanpa berpikir panjang, kuraih tas di meja dan bergegas pergi menghentikan taxi.

Di perjalanan menuju rumah Mamah, air mata mengalir deras. Hatiku ciut, pikiranku kalut. Sederet potret pilu menari dalam benakku.

Alangkah terkejutnya aku, ketika melihat Mamah sudah terbaring tak sadarkan diri.

Sontak sekita itu, kupeluk erat Mamah, kuelus pipinya, kucium keningnya. Berharap, ini bukanlah awal dari mimpi buruk dalam hidupku.

Selang beberapa menit kemudian. Yeyet, adik ketigaku datang, wajahnya merah, matanya nanar. "Mamaaaaah", teriaknya sambil menangis memeluk Mamah.

Tak ingin melihat adikku larut dalam sedih. Kuajak ia mengaji. Kubimbing ia membaca kalam Illahi. Surat Ar-Rahman. Surat yang selalu Bapak bacakan dulu, ketika aku terbaring sakit. Surat yang memberiku kekuatan, saat dunia melumpuhkan. Surat yang menghadirkan damai, dikala badai.

Ketika khusyuk membaca. Tiba-tiba Mamah membuka matanya, lalu menatap kami sambil tersenyum. Kusapa ia dengan wajah sumringah. Hamdallah. Maha Suci Allah, Zat yang Ditangannyalah segala kuasa.

Melihat Mamah siuman. Yeyet, adikku, pamit pulang untuk mengerjakan beberapa pekerjaan rumah. Aku meng-iyakan.

Selang 30 menit, setelah adikku pamit, Mamah kembali tak sadarkan diri.

Panik. Refleks kupegang pergelangan tangan Mamah. "Alhamdulillah, denyut nadinya masih normal", ucapku lirih.

Satu dari banyak kenangan yang aku ingat tentang sosok Mamah adalah kebersihan. Meskipun sedang sakit, Mamah tidak mau tercium bau. Mamah tetap ingin terlihat segar bak orang sehat pada umumnya. Kasurnya harus selalu rapi, bantal dan gulingnya harus selalu wangi "biar nyaman", katanya.

Karena itulah, kami menyiasati keinginan Mamah itu dengan merawatnya secara bergiliran. Saat aku berhalangan menjaga, adikku yang lain akan berusaha ada. Ketika satu tidak bisa, maka yang lain harus ada.

Azan Magrib berkumandang. Kudirikan salat, di pinggir tempat tidur Mamah. Tak ada yang aku inginkan saat itu, kecuali kesembuhan Mamah.

Waktu salam selesai salat, aku kembali melihat Mamah tersenyum. Tapi kali ini, aku membiarkan ia menikmati senyumannya, pura-pura tidak melihat.

Kulanjutkan dengan zikir dan kuakhiri dengan membaca surat Ar-Rahman. Ketika dibacakan ayat terakhir 78:

تَبَارَكَ اسْمُ رَبِّكَ ذِي الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

"Maha Agung nama Tuhanmu Yang Mempunyai Kebesaran dan Karunia"

Mamah tersenyum lagi, kupeluk ia sambil berbisik "maafkan Teteh, ya Mah".

Mamah kembali tak sadarkan diri, kulanjutkan kembali tilawahku dengan membaca Surat Ar-Ra'd kemudian Surat Yassin, hingga aku tertidur pulas di sampingnya.

Pukul 01.00 WIB aku terbangun mendengar Mamah batuk. Segera aku mengambil air minum, tapi tak sesendok pun air bisa masuk, kuambil pipet untuk meneteskan air, berharap mamah dapat meminumnya, tapi ternyata tetap tidak bisa. Akhirnya, air itu hanya kuoleskan di bibir mamah.

Aku mulai panik, segera aku mengambil air wudu, kemudian salat, lalu berdoa memohon yang terbaik untuk Mamah.

Hingga Adan Subuh menggema, aku masih tetap setia terjaga, di atas sajadah kuharap keajaiban itu ada.

Tiba-tiba, terdengar Mamah kembali batuk. Segera kuhampiri ia, suhu tubuhnya naik, badanya panas, seketika itu juga aku langsung mengompresnya.

Rona mentari mulai nampak. Embun dedaunan menyapa selamat pagi.

Kuniatkan pagi itu, untuk mencari "ultra flu" obat yang biasa Mamah minum saat flu.

Tiba-tiba rasa khawatir hadir. Berat rasanya, harus meninggalkan Mamah sendirian walau sebentar.

Tapi, kondisi Mamah yang terus-menerus batuk, membuatku nekad untuk meninggalkan mamah membeli obat ke warung terdekat.

Aku berlari secepat mungkin dengan rasa khawatir yang makin menjadi "apakah Mamah baik-baik saja? Bagaimana jika..." dengan cepat aku menepis pikiran buruk itu.

Hamdallah. Setibanya di rumah, adik keduaku, Yedi sudah siaga menemani.

Mamah sudah tertidur lelap sekali. Obat yang kubeli masih kupegang. Tak tega bila harus membangunkan Mamah untuk meminum obat.

Pikirku, nanti saja sebelum pulang akan kutitipkan obatnya pada Yuli, adik bungsuku.

Suamiku menjemput. Aku bersiap-siap pulang untuk pergi ke sekolah.

Tapi, firasatku mengatakan lain. Keanehan terjadi, saat aku pamit, kembali perasan tidak tega membangunkan Mamah menyeruak di hatiku. Alhasil, aku hanya menatap Mamah lekat dari ruang tengah.

Tepat pukul tujuh. Bel masuk berbunyi. Aku membuka laptop dan menyalakan infocus.

Tiba-tiba gawai berdering, kulihat, suamiku memanggil. Aku meminta izin untuk mengangkat telepon.

"Innalillahi wa inna illahi raaji'uun", jawabku.

Andi yang sedang berdiri tepat di belakangku, kaget dan bertanya

"Ibu kenapa?"

"Mamah Ibu meninggal", jawabku.

Semua siswa serentak mengucapkan "Innalillahi wa inna illahi rajiun"

"Ibu pulang saja, tapi?"

"Sudah, Bu pulang saja", jawab Agil.

"Baiklah kalau begitu, ini tugasnya tolong kerjakan yaa", kataku.

Di rumah, Mamah telah terbujur kaku. Kuingat "Ultra Flu" untuk Mamah yang masih tersimpan di dompet.

Selembar ultra flu jadi bingkisan pilu tak berbingkai waktu di detik terakhir ke pergianmu, Kartiniku. Hari itu tepatnya 2 November 2015. Mamah telah berpulang menemui cinta sejatinya.Tapi Uswah Kartiniku tetap terukir di kedalaman nurani, bertahta indah di memori.

  Kartiniku, Berhati jannah Mengajariku taat perintah Hanya pada-Nya harus berserah

 

Kartiniku, Mengajariku bahasa cinta Hingga subur mengakar dalam sukma Jadi tameng baja silang sengketa

 

Kartiniku, Anggun rupawan Selalu mengajariku untuk dermawan Karena hidup tak selamanya di atas awan

 

Kartiniku, Sangat bersaharja Mengajariku semangat yang membaja Meski hidup berhias tanda tanya

 

Kartiniku selalu senyum sumbringah Mengajariku teguh memegang amanah Dalam menepis prahara yang membuncah

 

Kartini itu, ibuku Guruku mengajariku aneka ilmu Matahariku selalu ikhlas tak pernah cemas Malaikatku melindungiku tanpa ragu

 

Kartiniku Kini telah tiada Berselimut doa yang tak mengenal jeda Kubidik surga untukmu di sana Dari hati yang merindu cintamu yang bertahta

 

Ya, Robb Kami yakin Rahman Rahim-Mu lebih sempurna buat Mamah tercinta , maka kami titipkan Mamah dan Bapak tercinta di keabadian. Jadikanlah mereka sebagai sepasang mempelai di Raudhatul Jannah-Mu.

 

Kota Resik, 210420 #Izhatunnajah_721017

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alfatihah buat ibunda terduga, smg beliau tenang di Jannah-Nya, Barakallahu bunda

22 Apr
Balas

Semoga Ibunda dengan segala kebaikan dan ketulusannya mendapatkan segala rida dan magfirah-Nya hingga tiba di surga-Nya.

22 Apr
Balas

Doa terbaik utk beliau semoga ditempatkan di jannah

22 Apr
Balas

Semoga almarhumah ibu husnul khatimah..Kartini yg banyak mengajarkan kebaikan pada anak2nya

21 Apr
Balas

Doa terbaik utk ibunda tersayang. Semoga turut melapangkan perjalanan panjangnya... Aamiin

21 Apr
Balas

Aamiin ya Rabb...Semoga ayah & ibu sudah tenang & damai di alam sana Bu Yis. Hari Kartini mengingatkan kita tentang sosok wanita paling berjasa dalam kehidupan kita, yaitu Ibu. Baarakallaahu Bu Yis. Semoga sehat & sukses selalu.Aamiin...

22 Apr
Balas



search

New Post