Yessy Eria, S.Pd

Guru SMAS Muhammadiyah 2 Medan. Belajar adalah sebuah keharusan dan belajar adalah ibadah. ...

Selengkapnya
Navigasi Web

Ramadhan Pertamaku

#Tantangan Gurusiana

#Hari ke 23

Apa yang bisa kuceritakan mengenai Ramadhan pertamaku padamu duhai sahabat? Aku pun tidak tahu harus memulainya dari mana. Bercerita mengenai Ramadhan pertama itu artinya aku harus membuka lembaran-lembaran kenangan di masa dulu.

Sementara kenangan itu begitu indah dan syahdu di hatiku. Aku sebenarnya enggan berbagi kisah ini. Takut bila yang membaca atau mendengar kisahku ini jadi baperan. Tapi di satu sisi tak baik juga menyimpan kenangan itu sendiri. Alangkah eloknya bila dibagi. inilah kisah Ramadhan pertamaku yang mungkin juga mirip dengan yang lainnya.

Hampir sama dengan cerita anak-anak di era tahun 80-an tepatnya tahun 1989, kala itu aku duduk di bangku kelas 1 SD. Bersamaan dengan itu dimulai pulalah kisah ramadhan pertamaku.

Bulan ramadhan itu identik dengan puasa, shalat tarawih bukan?

Umurku masih enam tahun kala itu. Puasa dengan umur segitu bagiku amat sangat berat. Bayangkan saja. Puasa itukan menahan haus dan lapar. Sementara aku sendiri rasa-rasanya belumlah kuat

Aku sempat bertanya pada ayah kenapa kita mesti berpuasa. Ayah bilang bahwa orang Islam itu cirinya yang pertama bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan naik haji bagi yang mampu. “Naaah kalau kita mengaku beragama Islam lakukanlah itu.” ujar ayah.

Lalu abangku bertanya pula mengenai seberapa penting puasa. Nah ayah katakan bahwa puasa itu mengajarkan bagaimana kita dapat merasakan haus dan lapar sebagaimana di rasakan oleh orang yang mungkin setiap harinya ada yang tidak makan.

Aku dan abangku yang beda umurnya cuma sebelas bulan itu manggut-manggut pertanda mulai mengerti akan hal di atas.

Tapi yang namanya anak kecil tetap saja aku dan abangku menjadikan puasa sebagai ajang taruhan. Taruhannya siapa yang puasanya banyak bolong, ia nantinya harus bersiap-siap menjadi pelayan.

“Diak” begitu abangku memanggilku. Diak itu artinya sama dengan adek. Katanya “ Diak, nanti kalau abang puasanya full sementara kamu tidak , kamu harus siap-siap abang suruh ke sana ke mari ya, atau nanti THRmu harus kamu kasih ke abang sebanyak berapa yang bolongnya. Satuannya seribu aja. Misal kalau kamu bolong satu berarti bayar ke abang seribu, kalau dua, dua ribu dan seterusnya. Gimana. Sanggup gak?” sambil berbisik ia memberiku penawaran.

Sebenarnya aku males dan sedikit gengsi untuk tidak menerima tawarannya itu. Apalagi aku tahu bagaiman abangku. Ia sebelas dua belas denganku. Paling dia juga ga kuat puasa penuh. Maka dari itu kuterima tantangannya.

Mau tahu hasilnya?

Aku full selama satu bulan itu hampir tak pernah penuh puasanya. Paling kuat aku sampai jam dua, jam dua belas bahkan jam sembilan saja cacing-cicing di perutku sudah berdendang ria.

Abangku? Uh...jangan ditanya, tadikan sudah kubilang sebelas dua belas kami. Ga kuat!

Aku di awal ngumpet makan di bawah tempat tidur. Lalu di hari ke dua di belakang kursi. Trus di kamar mandi juga pernah. Pas aku makan goreng ayam di balik pintu kamar katahuan sama abangku.

Sejak itu aku berusaha mengintai abangku. Alhasil dia juga ketahuan olehku mengemut roti marie. Akhirnya kami seri. Saling ketahuan satu sama lain.

Kami berhenti dari makan diam-diam itu, ketika ibuk bilang mengenai puasa yang tidak hanya sekedar menahan haus dan lapar, tapi juga mengajarakan pentingnya untuk jujur.

Semenjak itu, aku dan abang tidak mau lagi berbohong mengenai puasa. Ga kuat ya bilang ga kuat, kalau masih sanggup menahan ya dilanjutkan.

Tapi aku salut dengan kawanku. Namanya Nurmalasari. Aku memanggilnya “Sar”. Itu puasanya hampir tidak pernah bolong. Aku kalau setiap bermain denganya selalu nanya.

“Kamu kuat puasanya Sar?”

“Kuat!” katanya enteng.

Sungguh ada rasa malau di hati. Tapi mau gimana lagi. Kalau lapar mungkin aku masih bisa tahan. Haus yang aku gak kuat. Kerongkongan terasa sangat kering dan lengket-lengket.

Aku jangan di tanya kapan bisa full puasa. Sssst...! Kelas lima SD baru penuh puasanya. Kelas dua SD aku puasanya cuma lima hari. Lumayan ada peningkatankan? Nah begitu seterusnya hingga puasaku penuh. Itu merupakan pencapaian yang luar biasa bagiku.

Bagaimana dengan tarawihku?

Nah...pada shalat tarawih aku, abang dan juga beberapa anak-anak lainnya di kampungku sudah datang meramaikan surau. Jumlah rakaat shalat tarawih di kampungku ada 23 rakat dengan dua belas kali salam. Sepuluh kali salam untuk tarawih dan dua kali salam untuk shalat witir.

Shalat tarawih dimulai pukul delapan dan selasai sekitar jam sembilan. Imam favoritnya bagi kami yang anak-anak kurasa “Ungku Labai” Bacaan sholatnya ngebut seperti motor GP di sircuit. Ngeeeng...!

Tenangnya kami hingga shalat Isya aja. Tarawih ada yang bubar dan ada yang bercanda. Karena aku perempuan, paling aku ikut tertawa saja melihat perangai anak-anak seusiaku atau malah ada yang lebih besar dariku yang kerjanya di surau menjahilin kami.

Ada yang mengikat mukena, kain ketika sujud. Ada yang saling senggol kaki, bokong atau ada yang menyembunyikan sendal. Parahnya di surau itu ada yang kentuuut. Kentuknya mana ada yang bau telur busuk. Rasa mau muntah, tapi kami tetap riang dan hampir tidak pernah absen untuk shalat berjamaah di surau.

Kami sering jadi sasaran kemarahan para orang tua, nenek-nenek bahkan guru ngaji. Diam kami hanya sebentar, tapi dasar anak-anak ya ribut lagi.

Sebulan penuh Ramadhan ada-ada saja yang menjadi bahan obrolan aku dan abang sepulang dari surau. Bahkan hingga hari ini aku masih terkenang dengan satu nenek-nenek yang kerjanya asyiiik memantau kami saja.

“Bukannya berdoa seusai shalat, tapi sibuk mengejar anak-anak yang ribut” protesku kukatakan ke abang.

“Iya dasar nenek-nenek. Tahu aja dia siapa yang ribut. Kali waktu shalat ia ga baca ayat tapi baca nama orang-orang yang pada ribut. Hahahah...” balas abangku

“Parahnya lagikan bang, itu nenek-nenek pas sujud lampu mati ia bangun dan bilang wooooi....lampu mati malah sujud lagi!” gila ga tuh bang”

“Hahahah....”

Tapi ups bukan puasa dan shalat tarawih saja! Ada lagi. Lilin. Ya lilin! Lilin yang di hari biasa aku temukan hanya satu warna, yaitu putih. Tapi di bulan puasa aku akan menjumpai aneka lilin penuh warna. Bentuknya kecil-kecil. Belinya ga bisa satuan, mesti satu bungkus. Isinya ada 12 buah

Warnanya ada hijau, kuning, biru, putih, merah, abu-abu, dongker. Duuuuh senangnya aku akan warna-warna itu. bila lilin itu sudah ada di tanganku, maka aku akan berharap siang untuk segera pergi. Biar kunyalakan lilin-lilinku di sekeliling pagar rumah. Aku akan mematikan lampu-lampu teras rumahku

Lilin-lilin yang kuperlukan bukan hanya sebungkus, dua bungkus tapi bisa berbungkus-bungkus. sepuluh bungkus ada. Untuk menyiasatin itu, aku dan abangku biasanya patungan untuk bisa membeli lilin-lilin itu.

Penjaga warung senang padaku juga abang. Gimana tidak senang coba? Setiap persediaan lilin-lilinnya ada selalu diinfokannya ke pada kami.

Warung dulu di kampungku juga tidak banyak. Cuma ada dua. Yang satu letaknya di sebelah kanan rumahku. Pak lampam nama pemiliknya. Warung satunya lagi letaknya agak lima rumah dari rumahku. Pak Kanak nama pemiliknya. Warungnya lebih lengkap dibandingkan dengan yang di samping rumahku. Tapi ke dua pemilik warung itu akrab dengan kami lantaran sering membeli lilin-lilin mereka.

Aku dan abang asyik memasang lilin-lilin yang kami beli itu di sekitar pagar rumah. Sedangkan temanku ada yang memasang lilin itu di atas pohon atau di mana saja yang bisa membuat rumah mereka jadi gemerlap dengan cahaya lilin. Biasanya anak-anak di kampungku ramai-ramai memasang lilin penuh warna warni itu di malam ke 27.

Paginya bekas lilin-lilin yang mencair itu kami kumpulkan di sebuah kaleng susu cap ENAAK, lalu kami buatkan tungkunya dan kami masak bersama-sama di sebuah riumah kosong atau tempatnya kami gilir. Bisa satu hari di rumahku dan lain hari di rumah yang lain.

Begitulah ramadhan pertama kulalui hingga TV masuk ke kampungku. Lalu anak-anaknya satu persatu sudah asyik dengannya dan meninggalkan secara pelan-pelan permainan yang penuh dengan kerjasama itu.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Indahnya kenangan masa kecil. Salam literasi bi

15 May
Balas

Salam literasi kembali Bu Gismawarni

15 May

Hahaha.. Masa kecil yang bahagia itu bund... Tak terulang sekarang ya...

16 May
Balas

Ada anak bertanya pada bapaknya untuk apa berlapar lapar puasa...

15 May
Balas

Bimbooo..Mksh bunda Rita

15 May

Ah..masa kecil yang lucu,.mantab ceritanya

15 May
Balas

Berarti Ibu kalah dengan anak saya umur 5 tahun waktu TK bolong puasanya 6 hari SD umur 6 tahun full puasanya.

15 May
Balas

Alhamdulillah, keren anak ibuk

15 May



search

New Post