Oleh: Yesi Arisanti

Sore kemarin saya berhenti di perempatan lampu merah. Walaupun jalanan sepi, saya tetap patuh pada peraturan. Saat lampu merah menyala berarti kendaraan kita disuruh berhenti.

Tiba-tiba ada angkutan kota (angkot) yang melaju dan menerobos lampu merah dengan kecepatan tinggi. Saya kaget, istigfar, dan hanya menggelengkan kepala. Ya, seperti itulah faktanya. Apa yang mereka kejar kita juga tidak tahu. Yang pastinya kalau memang rezeki kita tak akan lari ke mana.

Saya langsung teringat kejadian di Makkah akhir tahun lalu. Jika berkendara di negara ini, para sopir tidak cuma harus punya surat-surat kendaraan yang lengkap. Kecepatan berkendaraan menjadi perhatian penuh. Lewat dari batas kecepatan maksimum yang telah ditetapkan, sopir pasti kena tilang.

Peraturan ini dibuat untuk mengurangi kecelakaan lalu lintas yang sangat tinggi di Arab Saudi. Sehingga di jalan raya, dipasang kamera yang menangkap kecepatan pengendara. Jangankan menerobos lampu merah, kecepatan bus yang melewati batas kecepatan saja langsung tampak kilatan cahaya seperti blitz kamera di sisi jalan raya.

Foto dari bus yang melewati batas kecepatan di jalan raya langsung dikirim ke perusahaan. Sehingga saat itu juga gaji sopir dari bus yang kami tumpangi langsung dipotong 300 rial atau Rp1.200.000,00. Saat itu 1 rial sama dengan Rp4 rb. Astagfirullah al-'azim.

Saya ke sekolah menggunakan sepeda motor. Hal inilah yang paling saya takuti, berselisih dengan angkot. Padahal untuk ke lokasi sekolah saya juga banyak truk di jalan raya. Tapi angkot dan truk sangat berbeda. Angkot bisa berhenti mendadak saja di depan kita, sedangkan truk tidak.

Melihat kenyataan ini, saya mengendarai sepeda motor hanya untuk ke sekolah saja. Untuk pergi ke mana pun saya diantarkan atau dengan angkot. Garis nasib memang sudah ditakdirkan, tapi saya memilih yang aman dan nyaman menurut saya.

Padang, 25 September 2020