Navigasi Web

RUMAH NOMOR 77

Sore itu cuaca tidak begitu panas, aku memacu motorku dengan kecepatan sedang sambil sekali - sekali melirik hamparan padi yang mulai menguning di sepanjang jalan dari sekolah menuju desa kelahiranku. Sudah hampir satu minggu ini aku tidak mengunjungi orang tuaku karena beberapa kesibukan di sekolah yang mengharuskanku pulang lebih lama dari hari - hari biasanya.

Saat ini kedua orang tuaku hanya tinggal berdua saja di kampung sejak kami semua anak - anak beliau menamatkan pendidikannya dan masing - masing memiliki keluarga sendiri. Dulu semasa kami sekolah keluarga kami tinggal di kota dimana ayah mencari nafkah untuk kehidupan kami semua. Tak terasa 10 menit sudah aku memacu sepeda motorku. Tepat di depan sebuah rumah besar bewarna orange bernomor 77 aku menghentikan motorku.

“Assalamuaikum” aku mengucapkan salam sambil mengetuk pintu.

Ibu adalah seorang perempuan sederhana. Beliau sudah berumur lebih dari delapan pukuh tahun, perempuan tangguh yang rela bekerja keras demi pendidikan anak-anak nya. Walaupun beliau tidak sempat menamatkan sekolah menengahnya karena biaya, beliau sangat peduli dengan pendidikan kami anak-anaknya. Ibu beliau juga bukan perempuan yang suka menghabiskan waktunya hanya untuk sekedar berkumpul-kumpul dengan ibu-ibu yang lain seperti yang banyak terlihat di kampung kami. Beliau selalu menyibukan diri dengan kegiatan di ladang ataupun di sawah.

“Assalamualikum” aku ulangi mengucapkan salam karena belum adasahutan dari dalam rumah. ,

“ waalaummussalam” Seorang perempuan tua yang tak lain adalah ibuku membukakan pintu dan menjawab salamku .

Dengan sedikit kaget melihat kehadiranku yang tidak beliau duga sama sekali “ Dari mana ? sudah pulang dari sekolah?” ibu bertanya untuk menghilangkan rasa penasarannya akan kehadiranku yang masih berpakainan kerja.

“Sudah Bu” jawabku

“ Tadi kami melihat kawan sakit yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari sini, makanya aku langsung mampir kesini” aku menjelaskan pada ibu karena jarang sekali aku ke rumah ibu sendirian. Kalau aku datang berkunjung, aku selalu bersama anak dan suamiku. Paling tidak dengan salah satu putriku.

“Siapa yang datang Bu?” terdengar suara ayah menanyakan kehadiranku.

“Rani Yah” jawab ibu.

“Bisa antar ayah ke rumah dokter sore ini nak?” Terdengar suara ayah dari ruang keluarga.

“Kenapa Yah. Apa nya yang sakit? Sejak kapan ayah sakit?” Aku menghampiri beliau sambil menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.

Benar, aku tidak tau kalau ayah sakit, karena aku memang tidak tinggal bersama kedua orang tuaku. Sebenarnya tidak tega membiarkan mereka tinggal berdua saja. Ayah dan ibu sudah berumur lebih dari delapan puluh tahun. Apalagi ayah sering sakit-sakitan. Boleh di katakan hampir setiap bulan beliau keluar masuk rumah sakit. Aku dan saudara- saudaraku yang lain tinggal di tempat yang berbeda. Aku tinggal bersama suami dan anak-anaku di sebuah kompleks perumahan yang sederhana, satu orang kakakku tinggal di kota yang tidak begitu jauh dari kediaman orang tuaku sekarang sedangkan tiga orang kakakku lainnya tinggal di kota yang berbeda dari kami. Sebernarnya rumahku tidak terlalu jauh , hanya karena kesibukanku sebagi seorang PNS aku tidak bisa mengunjungi mereka setiap hari. Hari ini kebetulan aku pulang lebih awal dari sekolah, aku tidak lansung pulang ke rumah tapi mampir dulu ke rumah orang tuaku. Kebetulan aku mengajar di sebuah sekolah menengah yang tidak terlalu jauh jaraknya dari rumah orang tuaku, di kota kelahiranku.

“Apanya yang sakit Yah?” aku mengulangi pertanyaanku sambil meraba kepala ayah yang penuh dengan rambut yang sudah memutih karena usia. Aku duduk di sebelah lelaki tua yang selalu rindu dengan kehadiran anak- anak dan cucu - cucunya. Lelaki tua yang menghabiskan hampir sebagian hari tuanya untuk bolak balik ke rumah sakit dengan berbagai macam penyakit yang di deritanya. Ku perhatikan juga ibu yang duduk di hadapanku, yang bergitu setia mendampingi suaminya lebih dari setengah abad lamanya. Ibu yang tidak pernah lelah bekerja untuk memenuhi kebutuhan kami. Dulu, dengan keadaan keuangan ayah dari hasil menjahit rasanya tak mungkin mereka mampu menyekolahkan kami sampai ke perguruan tinggi. Dengan keyakinan yang sangat besar dari kedua orang tuaku alhamdulillah satu persatu anak-anaknya menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Aku banyak belajar dari kesetiaan mereka. Walaupun ibu terlihat lebih keras dan cuek aku yakin mereka saling menyayangi. Pernah suatu hari ketika ibu sedang membersihkan makam keluarga yang berada di seberang mesjid depan rumah, tiba tiba sebuah kelapa yang sudah tidak berisi lagi karena sudah dimakan tupai (mumbang) jatuh dari pohonya mengenai pelipis ibu, ayah tiba-tiba saja menangis menanyakan keadan ibu dan segera membawanya ke puskesmas. Alhamdulillah keadaan ibu waktu itu tidak apa-apa, hanya luka sedikit pada pelipis. Luka nya tidak di jahit, hanya di bersihkan dan di beri obat oleh dokter yang menangani. Aku lihat ayah begitu lega saat mengetahui keadaan ibu saat itu.

“Perut ayah agak kurang enak, rasanya kembung dan malas untuk di ajak makan” kata ayah.

Kalimat ayah membuyarkan lamunanku akan perjuangan mereka dalam mendidik dan membesarkan kami.

“Aku buatkan bubur?” Aku menawarkan diri untuk membuat bubur putih dari beras kesukaanya.

“Ngak usah, tadi ibu sudah membuatkannya untuk ayah” kata beliau.

“Iya nanti sore kita kedokter” kataku sambil memijit - mijit kaki beliau .

Setelah berbincang-bincang sebentar dengan ayah dan ibu sambil menanyakan keadaan mereka aku pamit pulang kerumah.

“Aku pulang ke rumah dulu ya Yah” aku pamit pulang.

“Aku ganti baju dulu, sore nanti aku ke sini lagi” aku menjelaskan tujuanku pulang sebentar. Karena tidak mungkin aku ke dokter dengan berpakaian seperti ini. Lagipula aku harus mengabari dan meminta suamiku untuk pulang lebih awal dari kantor untuk mengantar dan menemani kami ke dokter.

Akhirnya sebelum ashar suamiku sudah sampai di rumah. Selalu setiap kali mengantar ayah berobat aku memintanya untuk izin dan pulang lebih awal karena tidak mungkin membawa ayah dengan menggunakan motor. Alhamdulillah suamiku selalu bersedia dan tidak pernah menolak setiap kali aku memintanya untuk menemani dan mengantar ayah berobat.

Sekitar pukul empat sore aku dan ibu mengantar ayah ke dokter, yang kebetulan letak kliniknya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal kedua orang tuaku. Setelah mendaftar kami menunggu antrian untuk di periksa.

Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya tiba giliran ayah untuk di periksa.

Aku dan ibu membimbing ayah memasuki ruang pemeriksaan. Ayah duduk di kursi yang berada di depan meja kerja dokter di temani ibu. Sedangkan aku berdiri di belakang ayah .

“Sejak kapan bapak merasakan sakit di perut?” dokter bertanya pada Ayah.

“Tidak tahu Dok, tapi sudah beberapa hari ini sakitnya sering kambuh” jawab ayah.

“mari Pak, mari kita periksa dulu.” Dokter mempersilakan ayah untuk naik ke tempat tidur yang tersedia untuk melakukan pemeriksaan awal.

Aku duduk di depan meja kerja dokter sambil memperhatikan dokter yang sedang memeriksa ayah. Dokter wanita spesialis penyakit dalam ini adalah langganan ayah berobat. Sebelumnya beliau hanya asisten dokter penyakit dalam langganan ayah sebelumnya. Karena dokter sebelumnya pindah ke kota lain, entah karena sudah merasa cocok atau mungkin karena dokternya ramah dan beliau juga mendirikan klinik sendiri akhirnya ayah memilih dokter ini sebagai pengganti dokter sebelumnya untuk berobat.

“Ada apa dengan perut ayah dok?” tanyaku setelah dokter menyelesaikan pemeriksaannya. Aku membimbing ayah untuk duduk kembali.

“Ada kemungkinan usus buntu, tapi minggu depan di bawa ke rumah sakit saja untuk pemeriksaan lebih lanjut” kata dokter.

Aku, ayah dan ibu sangat kaget mendengar hal ini. Penyakit yang belum pernah terdiaknosa sebelumnya.

“Apakah akan di operasi Dok?” Ayah ngak sabar untuk bertanya tentang peyakitnya.

“Kita tunggu pemeriksaan lanjutannya dan hasil labor dulu pak, untuk beberapa hari ini bapak cukup minum obat ini dulu, minggu depan silahkan bapak melanjukan pemeriksaan di rumah sakit” kata dokter menjelaskan.

Setelah menerima resep dari dokter akhirnya kami pulang. Di dalam mobil menuju rumah suasana di dalam mobil hening, tidak ada yang berbicara. Semua mungkin sedang memikirkan penyakit ayah, tapi tidak seorangpun yang berani berkommentar. Sampai di rumah , aku bimbing ayah untuk masuk ke dalam rumah dan meminta beliau untuk beristirahat di kamar. Selang beberapa saat setelah berbincang - bincang sebentar dan mengingatkan ibu untuk memberikan obat untuk ayah aku pamit pulang ke rumahku .

Setelah satu minggu, aku dan ibu kembali menemani ayah ke rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut penyakit ayah sesuai dengan saran dokter. Setelah menunggu cukup lama pemeriksaan dokter, alhamdulillah setelah hasil pemeriksaan keluar ternyata ayah hanya mengindap penyakit mag bukan usus buntu seperti diagnosa dokter sebelumnya.

Hari ini hari sabtu, keluar dari kelas terakhir tempat aku mengajar hari ini, aku melihat ada panggilan tak terjawab di handpon, dari kakak prempuanku. Kebetulan hari ini jadwal mengajarku agak padat, sehingga aku tidak sempat memegang hp walaupun itu hanya sekedar melihat informasi. Karena penasaran aku langsung telepon balik untuk mengetahui apa yang ingin di sampaikannya. Karena tidak biasa, sudah ada 5 kali panggilan tak terjawab. Fikiranku langsung teringat pada ayah, karena saat sekarang kondisi ayah juga kurang sehat.

“Kaki kanan ayah tiba - tiba saja tidak bisa di gerakan Ran !” kata kakakku di telepon.

Rupanya sepulang kontrol dari rumah sakit ayah singgah ke rumah kakak yang kebetulan tidak jauh dari rumah sakit. Itu selalu mereka lakukan setiap kali ayah atau ibu pergi berobat atau sekedar kontrol ke rumah sakit.

‘Kenapa bisa begitu, dimana Ayah sekarang “tanyaku khawatir.

“Ada di dalam, sedang istirahat. Bagaimana sebaiknya Ran?” kata kakakku di seberang sana.

“Kita langsung bawa ke Rumah sakit , rumah sakit stroke” kataku. Keputusan itu ku ambil karena aku pernah dengar bahwa orang yang kena stroke masih bisa di selamatkan dan kembali ke keadaan normal jika dapat penanganan dokter dalam rentang waktu enam jam. Entah kenapa aku langsung berfikiran kalau ayh kena stroke. Mungkin karena ciri-ciri yang di sampaikan kakak dan aku tidak mau terlambat untuk hal ini.

Tanpa pikir panjang ku temui kepala sekolah di ruangannya dan menyampaikan khabar ini. Untungnya kepala sekolahku seorang yang cukup baik dan punya rasa empati yang besar. Beliau memberiku izin untuk pulang lebih awal dan memintaku untuk sabar dan berhati - hati dalam perjalanan ke rumah sakit.

Sambil menuju tempat parkir ku telpon kakak laki - lakiku satu satunya dan juga anak laki laki satu satunya di keluarga kami untuk menyampaikan hal ini sekaligus mengabari dan meminta izin untuk membawa ayah ke rumah sakit. Aku juga telepon suamiku untuk memintanya agar lebih cepat pulang dari kantor dan menggantarkan kami ke Bukittinggi, satu - satunya tempat rumah sakit yang khusus menangani penyakit sroke. Jarak bukittinggi dari tempat kami sekitar satu setengah jam perjalanan, sekitar 40 Km dari kota kelahiranku.

Setelah menelpon kakak dan suamiku, aku bergegas menuju rumah untuk mempersiapkan segala keperluan yang akan di bawa ke rumah sakit. Sambil menunggu suamiku dari kantor aku mengemasi segala sesuatu yang rasa - rasanya nanti di butukan. Kebetulan jjarak dari kantor kerumah sekitar satu jam perjalanan. Sekitar jam tiga sore kami berangkat ke Bukittinggi.

Alhamdullilah ayah mendapat penangganan yang cepat . Dokter dan perawat sangat sigap menyambut kedatangan kami. Mereka langsung mengambil alih dan membawa ayah ke ruangan dan dengan cekatan melakukan penanganan. Alhamdulilllah dokter memberikan kami kesempatan untuk mendampingi selama penanganan. Aku perhatikan cara mereka menangani pasien dan sekali sekali menjawab pertanyaan yang di ajukan.

“Alhamdulillah bu, untung belum terlambat sehingga kondisi bapak insyaalah masih bisa di tangani” salah seorang dokter menyampaikan kepadaku setelah mereka selsai menangani ayah.

“Kalau terlambat setengah jam lagi kondisi bapak sulit di pulihkan” lanjutnya.

Aku mendengarkan dengan seksama apa yang di sampaikan oleh dokter.

“Alhamdulillah, terima kasih dok” kataku menyampaikan rasa terima kasih pada dokter yang sudah memberikan pertolongan pada ayah.

“Terima kasih tuhan, Alhamdulillah atas perlolongganMu” batinku. mengucapkan syukur atas apa yang sudah terjadi hari ini. Tuhan masih memeberikan ayah kesembuhan .

“Walaupun demikian bapak tetap harus menjalani perawatan di sisni bu” dokter menyampaikan bahwa untuk melihat kondisi ayah selanjutnya beliau harus di opnami.

“Tidak apa-apa dok” kakakku mengiyakan apa yang di sampaikan dokter.

Sambil menunggu pihak rumah sakit menyiapkan kamar untuk ayah kami, aku, ibu, suami dan anak –anaku yang ikut mengantar kakek mereka kerumah sakit menunggu di ruangan tunggu. Kami juga mengabari saudara-saudaraku yang lain tentang hal ini. Hampir dua jam lamanya kami menunggu sampai akhirnya ayah di pindahkan ke ruang perawatan di kelas I. Alhamdulillah ayah hanya sendirian di rungan sehingga beliau bisa beristirahat dengan tenang tanpa terganggu oleh pasien yang lain. Setelah ayah di ruangan sekitar jam sepuluh aku, suami dan anak-anak kembali pulang ke rumah, karena besoknya kami harus bekerja dan anak anak - sekolah. Lagian di rumah sakit tidak boleh terlalu banyak keluarga pasien.

Sudah seminggu ayah di rumah sakit. Hari ini sudah di perbolehkan pulang meskipun belum terlalu kuat. Kata dokter sudah bisa istirahat di rumah. Aku dan kakak - kakakku menjemput ayah dari rumah sakit. Untuk kali ini kami sepakat untuk membawa ayah langsung ke rumah ku dengan begitu aku bisa mengawasinya secara langsung. Alhamdulillah ayah ataupun ibu tidak ada yang menolak. Biasanya mereka tidak mau kalau berlama lama di rumah kami karena tidak mau meninggalkan rumah mereka .

Saat ini kondisi ayah sudah mulai pulih walaupun masih agak lemah. Sabtu ini kami berencana untuk mengkontrol penyakit ayah ke klinik dokter yang menangani ayah waktu di rumah sakit. Setelah pemeriksaan dokter menyarankan ayah untuk kembali berobat ke rumah sakit dan kalau bisa di rawat kembali disana agar dokter yang tadinya memeriksa ayah bisa mengontrol dan mengawasi kondisi ayah dengan lebih baik karena kebetulan beliau juga bekerja disana. Kami tidak tau kenapa dokter menyarankan hal tersebut, walaupun beliau sudah menyampaikannya, namun karena istilah medisnya agak sulit kami menerima saran beliau.

Setelah berobat kami kembali pulang kerumah. Setelah berembuk akmi memutuskan untuk kembali memeriksakan ayah ke rumah sakit dengan membawa surat rujukan dari dokter yang sebelumnya memeriksa dan menyarankan ayah untuk berobat kembali ke rumah sakit.

Setelah berkemas dan menyiapkan keperluan untuk di bawa kami langsung berangkat. Seperti biasa suamiku yang mengantar kami. Anak - anak juga ikut. Jadilah aku, ibu, kakak perempuanku dan kedua anakku ikut mengantarkan ayah kerumah sakit.

Dengan membawa surat rujukan dari dokter Gatot, urusan di rumah sakit menjadi lebih mudah. Kali ini kami meminta pada pihak rumah sakit untuk bisa menggunakan layanan VIP, walaupun jatah dari pihak BPJS hanya kelas I, dengan syarat kami harus menambah biaya karena menggunakan layanan yang berbeda. Hal ini sudah kami pikirkan, selalu setiap ayah di rawat kami selalu mengusahakan untuk mendapatkan pelayan VIP karena ingin selama di rumah sakit ayah dan yang menemani ayah di rumah sakit dapat beristirahat dengan nyaman .

Sudah dua hari ayah di rumah sakit. Kondisi ayah dari hari ke hari mulai menurun. Ayah sudah mulai tidak mau makan. Kondisi ayah yang makin hari makin lemah menjadi fikiran bagi ibu yang akhirnya membuat kesehatan ibu juga menjadi terganggu. Akhirnya ibu juga jatuh sakit dan di rawat di rumah sakit yang sama tapi di ruangan yang berbeda. Di hari kedua kami mengajukan permohonan pemindahan ruang rawat ibu ke layanan VIP di sebelah kamar ayah yang kebetulan penghuni sebelumnya pulang siang harinya. Jadilah kami menggunakan dua ruangan di lantai yang sama di rumah sakit ini, di gedung VIP lantai II kamar I dan IV. Setelah berkonsultasi dengan dokter dan perawat yang menangani ayah, mereka juga mengizinkan ayah dan ibu di tempatkan di dalam satu kamar agar kami lebih bisa memperhatikannya secara bersamaan. Walaupun kami tetap akan membayar dua kamar nantinya. Namun demikian hal itu menjadi lebih baik. Selama tiga hari di rawat aku merasa pelayanan yang mereka berikan sangat baik. Jam berapaun kita butuh mereka siap melayani dengan ikhlas dan dengan ramah. Aku malah pernah membangunkan mereka untuk Menganti infus ayah yang habis di tengah malam, sekitar jam dua belas ataupun jam satu dinni hari. Dengan sangat ramah tanpa merasa terganggu, mereka melaksanakan tugasnya dengan baik.

Walaupun ayah sudah bisa berjalan seperti biasa, kami belum di perbolehkan pulang. Ayah masih harus menjalani pemeriksaan lebih lanjut. Tiga hari di rumah sakit entah kenapa sepertinya ayah kehilangan semangatnya. Beliau lebih banyak diam dari hari biasanya.

Sore itu hari kamis, hari kelima sejak ayah di rawat keadaan ayah sudah mulai membaik di bandingkan hari sebelumnya. Ayah sudah mau makan dan meminum susu.

Karena sudah tiga hari meninggalkan sekolah, dan melihat keadaan ayah sudah mulai membaik, aku minta izin ke ayah untuk pulang sebentar ke rumah segaligus untuk minta izin secara langsung kepada kepala sekolah, dan berjanji untuk kembali lagi pada hari sabtunya.

“Aku pulang ke rumah sebentar ya Yah, hari sabtu sepulang sekolah aku kembali lagi ke sini” kataku.

“Ayah juga pulang sabtu” kata Ayah .

“ Kalau begitu sabtu aku kembali kesini untuk menjemput ayah” kataku.

“Iya” kata ayah sambil memegang tangganku dan menanyakan keberadaan putriku.

“Mana Nabila” kata ayah menanyakan anakku yang paling kecil. Ayah memang paling dekat dengan anakku yang paling kecil di bandingkan cucu - cucunya yang lain. Karena ketika aku bekerja , anakku Nabila sejak dari bayi kutinggalkan bersama ayah.

“Ada” kataku sambil memanggil kedua putriku dan memintanya untuk menyalami ayah karena kami akan pulang.

Sebenarnya aku berat meninggalkan ayah. Karena semua orang tahu kalau ayah lebih menurut padaku. Ayah selalu mengerjakan apa yang aku minta. Makan , minum susu ataupun makan obat. Beliau tak pernah menolakku. Tidak seperti dengan saudara saudaraku yang lain.

Sabtu sepulang sekolah aku bersiap untuk berangkat ke rumah sakit. Semua sudah di persiapkan termasuk makanan kesukaan ayah. Ngak sabar rasanya aku ingin cepat cepat sampai di rumah sakit. Aku ingin lihat keadaan ayah. Entah kenapa aku takut kalau terjadi sesuatu padanya, karena saat aku tinggalkan ayah tidak mau makan nasi ataupun minum susu. Kata kakakku yang menemani ayah di rumah sakit , untuk bisa memasukan susu atau makanan ke lambungya ayah harus di pasangkan alat bantu (sonde). Tak terbayang olehku rasa sakit yang di derita ayah saat memasukan sonde dari hidung menuju lambungnya.

Sekitar setengah empat sore, setelah selesai melaksanakan sholat ashar aku bersama suami bersiap untuk berangkat. Sebagian barang yang akan di bawa sudah di naikan ke atas mobil. Saat mengambil minuman didapur, teleponku berdering. Ternyata dari kakakku di Bukittinggi.

“ Hallo Rani?, sudah sampai dimana? Kata kakakku dari seberang sana seolah tak terjadi apa apa.

“Sudah mau jalan ” kataku.

“ Langsung saja ke kampung, ngak usah ke rumah sakit, ayah sudah tiada, ayah sudah pergi meninggalkan kita “ kata kakakku dari seberang sana. Kudengar ia berusaha untuk menahan tanggisnya.

“Apa? kapan?” kataku. Suamiku yang berada di sampingku juga kaget.

“Ada apa?” katanya. Tanpa menjawab aku menyerahkan telepon genggamku padanya. Aku tersandar di pintu dapur rumahku. Air mata mengalir deras dari mataku. Berbagai macam fikiran tentang muncul di kepalaku. Apa ini yang ingin di sampaikan ayah kalau ia akan pulang hari sabtu ini seperti katanya saat aku pulang Kamis lalu. Sejenak aku tak bisa berfikir apa apa. Anak anak yang tadinya sudah di dalam mobil berlari menghampiriku sambil menanggis.

Seminggu sudah ayah di rumah sakit sebelum akhirnya beliau menghembuskan nafasnya yang terkhir. Tak pernah ku bayangkan kalau hari kamis itu adalah hari terakhir aku bersama ayah. Aku menyesal kenapa aku harus meninggalkannya. Tak bissa melepas kepergiannya dengan doaku.

“Rani, ada teman teman dari sekolahmu” tiba tiba panggilan ibu yang duduk di sampingku membuyarkan lamunanku. Ayah sudah meninggalkan kami dengan segala kenangan terutama buatku dan juga anak - anaku, karena dari sekian banyak anak dan cucu ayah, aku dan anak anakulah yang paling dekat dengan beliau. Sekali lagi kupandangi wajah pucat yang di tutupi kain putih di hadapanku. Penyakit terakhir yang deritanya membawa ayah menghadap sang pencipta dan aku tidak menemaninya di saat – saat terkahirnya.

Aku masih ingat di setiap sakitnya ayah selalu menurut apa saja yang aku katakan. Dengan yang lain beliau mungkin bisa menolak jika di minta makan atau minum obat, tapi jika aku yang menyuruh beliau tidak pernah menolak. Seperti waktu di rumah sakit sebelum pulang aku minta ayah untuk memasang pambers agar beliau tidak usah sering sering turun dari tempat tidur karena kondisinya yang sulit untuk berdiri beliau dengan senang hati bersedia untuk melakukannya. Tapi ketika orang lain ia selalu menolak.

Selamat jalan Ayah. Terima kasih sudah menjadi ayah terbaik buat kami anak anakmu. Kakek yang selalu di rindukan oleh cucu - cucunya. Hanya doa yang bisa kami persembahkan untuk mengiringi kepergianmu. Semoga Allah menempatkanmu di tempat yang paling indah di surgaNya.

Dua tahun kemudian

Hari itu sore terlihat begitu cerah meskipun hari sudah menunjukkan pukul 5 petang. Seperti nya matahari enggan untuk meninggalkan bumi. Cuaca masih cerah karena sebelumnya turun hujan dan di iringi muncul nya pelangi cantik di balik bukit di sebuah desa yang indah dan damai

Sebuah rumah besar berwarna orange berdiri kokoh di depan sebuah mesjid. Ada sebuah sekolah juga di depan rumah besar itu, tepatnya sebuah sekolah taman kanak-kanak ,TK Babussalam namanya.

Di depan rumah besar bernomor 77 tersebut terlihat seorang perempuan tua duduk di depan teras rumahnya seorang diri. Perempuan tua yang biasa di panggil mama oleh orang- orang di kampungnya tersebut memang tinggal sendiri.. Sudah dua tahun ini sejak ayah meninggal dunia karena sakit dan usia lanjut. Tapi walaupun perempuan tua itu sudah berumur lebih dari 80 tahun, beliau masih terlihat sehat dan Bugar. Terlihat beliau juga belum pikun karena sesekali terlihat beliau menegur orang orang yang lewat di depan rumahnya. Perempuan tua itu tak lain adalah ibuku.

Benar , sejak Ayah meninggal dunia dua tahun yang lalu, ibu tinggal sendiri. Semua anaknya, aku dan empat kakakku yang lain sudah sering mengajak ibu untuk tinggal bersama kami, tapi beliau selalu menolak. Tidak mungkin meninggalkan rumah , karena rumah kami memang agak terisah dari rumah penduduk lainya, hal yang selalu menjadi alasannya. Dulu Ayah dan ibu dulu membuat rumah di sini dengan alasan dekat dengan surau dan masjid walalupun agak jauh dari rumah - rumah lainnya.

Di bulan pertama ayah meninggalkan kami, waktu itu beberapa hari di bulan puasa, menjelang Idul Fitri ibu memang tinggal di tempat kakakku yang tertua. Tapi itu tidak lama. Tidak sampai dua minggu beliau sudah minta di antar kembali ke rumah. Setelah itu beliau tidak mau lagi berlama - lama tinggal di tempat kami. Kalaupun berkunjung, sosrenya beliau minta langsung di antar kembali.

Hari semakin sore, terlihat sebuah mobil kijang Innova bewarna kuning muda berhenti persis di depan rumah besar tersebut. Nenek tersebut dengan seksama memperhatikan mobil yang parkir persis di gerbang masuk rumahnya. Seorang laki laki separuh baya dan seorang perempuan keluar dari mobil tersebut. Nenek bergegas berdiri setelah melihat siapa yang datang.

“Apa khabar bu” sapa laki laki itu sambil menciumi tangan ibu .Ternyata laki laki itu adalah anak laki - laki tertua si nenek sekaligus anak laki - laki satu satunya setelah seorang anak laki - laki bungsunya meninggal dunia saat duduk di bangku SMA.

“Kenapa duduk di luar bu” perempuan yang bersama lelaki separuh baya tersebut juga menyalami dan memeluk si nenek. “ Hari sudah sore , udara sore kurang baik untuk kesehatan ibu, sebaiknya kita masuk” kata perempuan itu.

“ Alhamdulillah sehat” jawab nenek . Perempuan itu adalah istri dari laki laki separuh baya tersebut. Nenek Mempersilahkan menantunya untuk naik dan masuk ke dalam rumah . Nenek dan menantunya beriringan masuk ke dalam rumah, sementara laki laki separuh baya itu masih berdiri di teras rumah sambil melihat ke arah lapangan dimana sedang berlangsung permainan olah raga bola volly antar pemuda di kampung itu.

Sebenarnya si nenek mempuyai lima orang anak yang masih hidup. Dari lima orang anak tersebut nenek punya 14 cucu dan 4 orang cicit. Tapi tak seorang pun dari anak anak dan cucunya yang tinggal bersama beliau , masing masing anaknya sudah memiliki rumah sendiri dan 3 di antaranya tinggal di kota yang berbeda.

Beberapa tahun yang lalu saat aku baru pindah tugas ke sini , aku sempat tinggal bersama ayah dan ibu, tapi setelah punya rumah sendiri, aku, suami dan anak –anak pindah ke rumah kami. Kami sekeluarga pindah walau tempat tinggalnya tidak terlalu jauh dari rumah ibu dan ayah. i. Aku memang sudah tinggal bersama suami dan anak anaku setelah kami bisa membeli sebuah rumah kecil di sebuah komplek perumahan sederhana yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah ibuku. Tapi aku masih sering mengunjungi beliau karena jaraknya tidak terlalu jauh . Sedangkan Kakak perempuan ku yang lain masih tinggal satu kota denganku tapi jaraknya cukup jauh yaitu sekitar 7 km dari rumahku.

“ Ibu ikut kami ke rumah ya? dari pada ibu di sini sendirian” menantunya menawarkan ibu untuk ikut mereka ke kota tempat mereka tinggal. Jaraknya memang sekitar dua jam perjalanan dari rumah ibu. “ ngak usah, ibu di sini saja, sebentar lagi akan datang yang menemani ibu tidur di sini” jawab ibu.

Sejak ayah meninggal ibu tidak mau meninggalkan rumah, walaupun ia harus hidup sendirian. Sebagai anak - anak beliau kami sebenarnya merasa kasihan dan serba salah. Setiap kali di ajak ke rumah salah satu anaknya beliau selalu menolak dengan berbagai alasan. Sementara kami juga punya kesibukan sendiri - sediri yang tidak memungkinkan tinggal bersama beliau di kampung.

Sebenarnya kami tidak tega melihat ibu menghabiskan hari tuannya sendirian. Tapi alhamdulillah ibu punya fisik yang kuat. Siang hari dia masih bisa pergi ke ladang sekedar mengisi waktu walaupun hanya sekedar untuk melihat - lihat. Sedangkan pada malam hari kebetulan ada yang menemani sehingga kami tidak begitu cemas meninggalkannya.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.00 wib, lelaki separuh baya yang tak lain adalah kakak ku terlihat keluar dari rumah bersama istrinya di ikuti oleh oleh ibu. Kakak bersama istrinya akan kembali kerumah mereka yang berada sekitar dua jam perjalanan dari sini. Setelah mobil kijang Inova kuning muda itu berlalu ibu masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, hening setelah lampu di rumah tersebut di padamkan, mungkin ibu sudah tertidur dan terbawa oleh mimpi nya.

Sore itu aku menerima telpon dari salah seorang keluargaku di kampung yang memberi khabar bahwa ibu sore kemarin badannya panas. Aku telpon suamiku yang ternyata masih dalam perjalanan pulang dari kantor nya. Ku sampaikan kepada suamiku tentang keadaan ibu. Setibanya suamiku di rumah, tanpa mengganti pakaian dan masuk ke dalam rumah aku dan suamiku langsung menjemput ibu untuk di bawa ke rumah kami. Biasanya kalau dalam keadaan seperti ini beliau tidak akan menolak untuk di ajak menginap di rumah kami. Kalau beliau dalam keadaan sehat beliau selalu punya seribu alasan untuk menolak di ajak tinggal bersama kami anak - anaknya.

Aku sampai di rumah ibu, ku pegang dahinya terasa panas .” kita kerumahku ya bu” kataku. Ibu diam tanda ia setuju. “ dari sini kita langsung ke dokter ya?” mengajak ibu untuk langsung berobat.

“Ngak usah , ibu tadi sudah di beri obat oleh bidan puskesmas, katanya obatnya untuk tiga hari” ibu menjelaskan kepada ku bahwa tadi beliau sudah berobat ke puskesmas.

Setelah menyiapkan beberapa barang yang akan di bawa termasuk obat dari bidan desa, kami langsung membawa ibu pulang ke rumahku .Setelah makan dan minum obat aku minta ibu untuk beristirahat. Beberapa menit kemudian aku lihat ibu mulai tertidur. Kuraba lagi dahinya , Alhamdulillah demamnya sudah mulai berkurang dan ku lihat ibu tertidur dengan nyenyak. Akupun berangkat untuk istirahat karena besok harus bangun pagi dan sekolah .

Seperti biasa pagi - pagi aku, suami dan anak - anak sudah bangun karena aku harus mengajar, suamiku harus ke kantor dan anak - anak harus ke sekolah . Kulihat ibuku juga mulai berkemas, katanya beliau juga harus ke kampung karena ada saudara jauh kami yang akan menikahkan anaknya. Aku katakan untuk istirahat saja di rumah karena kebetulan hari ini hari Jumat tentu aku dan anak - anak lebih awal pulang dari sekolah dari pada hari - hari biasanya . Tapi seperti biasa beliau punya banyak alasan termasuk masih ada satu obat lagi yang belum di berikan oleh bidan desa waktu berobat kemaren karena stoknya habis.

“ Biar aku saja nanti yang menggambil obatnya bu” kataku masih berusaha menmbujuk ibu agar tidak usah pergi. Aku juga sampaikan akan menjemput obat tersebut di sela jam istirahat ku di santi. Tapi beliau tetap bersikeras untuk kembali ke kampung, akhirnya aku mengalah, suamiku mengantar kan ibu ke kampung sambil berangkat ke kantor dan anak anaku ke sekolah.

Jam istirahat pukul 10.10 WIB aku ingat harus menjemput obat ibu , tanpa izin dengan guru piket aku ambil kunci motor dan tancap gas menuju rumah ibu. Kebetulan jaraknya hanya sekitar 2 km dari sekolahku. . Sebelum ke puskesmas untuk mengambil obat aku singgah sebentar ke rumah melihat keadaan ibu. Aku kaget ternyata beliau sudah berada di dalam selimut, Badanya lebih panas dari tadi pagi saat berangkat dari rumahku. Aku bergegas menjemput obat yang masih kurang ke puskesmas dan kembali untuk meminumkan obat untuk ibu. Setelah minum obat dan menyiapkan semua kebutuhan sampai aku kembali aku izin untuk kembali ke sekolah., Karena masih ada jam pelajaran yang tersisa dan lagi tadi aku tidak belum izin di sekolah.

Sepulang sekolah aku bergegas ke rumah ibu. Sejak siang aku bingung bagaimana cara membawa ibu ke rumah kami, karena dalam keadaan begitu tIdak memungkinkan untuk membawanya dengan motor. Aku merasa kalau ibu berada di rumahku, maka aku dapat melayaninya dengan baik karena fikiranku tidak akan bercabang antara anak - anak dan ibu.

Sore ini Suamiku terlambat pulang. Ini bukan hal yang aneh karena setiap hari Jumat suamiku selalu pulang lebih lambat dari kantor dari hari - hari biasanya , ada hal yang harus di selesaikan setiap akhir pekan. Akhirnya selesai shalat magrib kami membawa ibu kembali kerumah kami. Malam hari demamnya agak tinggi , aku ingat yang di sampaikan bidan di desaku, jika sampai hari ketiga demamnya tidak turun, aku harus membawanya ke rumah sakit. Di hari kedua setelah di bawa ke rumahku damamnnya mulai turun

Hari ini hari Minggu. Hari ini tidak ada yang pergi kemana - mana semua libur, sehingga aku bisa memperhatikan keadaan ibuku sepanjang hari. Keadaan ibu juga sudah mulai membaik. Nasi putih dan gulai ikan kuning yang ku buat dimakannya dengan lahab. Siangnya ibu memanggilku.

“Rani, ada yang mau ibu sampaikan, ibu punya sejumlah uang dan uang itu di pinjam oleh seseorang,” ibu menyebutkan nama orang yang meminjam uangnya. Aku tak tau apa maksud ibu menyampaikan hal ini padaku.

“iya jawabku nanti kutanyakan “ kataku.

Beberapa hari setelah itu, di tengah malam tiba - tiba saja aku terbangun. Kebetulan ibu tidur di kamar putriku, karena ibu sakit aku juga tidur di kamar yang sama dengan mereka. Ibu di tempat tidur bersama putriku sedangkan aku tidur di bawah. Ku lihat ibu sudah berada di lantai bawah tempat tidur, seluruh pakaiannya basah.

Aku kaget “ Ada apa bu? Kenapa duduk di bawah ? “ kataku. Ternyata beliau mau ke kamar kecil, namun tiba tiba saja kakinya tidak bisa di gerakan. Aku mencoba mengangkatnya ke tempat tidur. Setelah membersihkannya dengan air hangat dan menganti pakaiannya.

Esok harinya demam ibu semakin tinggi. Aku ingat pesan yang di sampaikan Bidan di desaku. Aku telpon kakak k -akakku mengabari keadaan ibu sekalian meminta izin untuk membawa ibu ke rumah sakit.

Hari ini minggu , hari kelima ibu di rumah sakit, alhamdullilah keadaannya sudah mulai membaik, demamnya sudah mulai turun. Ia sudah makan apa saja yang di berikan padanya walaupun baru sedikit sedikit. Setelah selesai melmbersihkan badan ibu dengan air hangat dan menggantikan pakaiannya, aku menyuapi ibu bubur putih yang di berikan perawat sore itu.

“ Kenapa semua makanan di berikan pada ibu “ ibu bertanya padaku saat aku memberinya jeruk beberapa saat setelah makan bubur.

“ Supaya ibu cepat pulih, cepat sehat, dan kita bisa cepat pulang dari rumah sakit ini “ kataku menjelaskan. Ibu diam tampa berkata lagi.

Tak lama setelah ibu selesai makan salah seorang dari kakak iparku, kakak dari suamiku datang menjenguk bersama suaminya

“ Bagaimana keadaan ibu” katanya.

“ alhamdulillah” jawab ibu “ sudah lumayan” katanya. Setelah berbincang bincang sebentar karena hari sudah sore, merekapun pamit.

“ Titip salam sama ibu ya Nen, sampaikan maaf yang sebesar besarnya, tidak bisa menjenguk ibu di rumah” pesan ibu kepada kakak iparku agar menyampaian maafnya kepada mertuaku yang kebetulan waktu itu juga dalam keadaan sakit di rumah.

Setelah kakak iparku pergi aku meminta ibu untuk beristirahat. “Sekarang ibu boleh istirahat dulu “kataku. “nanti aku bangunkan untuk makan obat kalau obatnya sudah datang”

Jam enam sore, salah seorang perawat mengantarkan obat. Kudekati tempat tidur , ku perhatikan ibu, sepertinya beliau sedang tidur dengan nyenyak. Aku tidak sampai hati membanggunkannya untuk meminum obat. Pukul setengah delapan kakakku yang dari Solok datang, aku sampaikan bahwa ibu belum minum obat untuk malam. Ibu tidak bisa di bangunkan, sepertinya tidurnya sangat nyenyak.

Malam makin kelam, Suasana di rumah sakitpun mulai hening. Waktu berkunjung pun sudah habis. Ibu belum bangun padahal hari sudah menunjukan pukul sembilan malam. Kalau ku hitung bearti ibu sudah tidur sekitar tiga setengah jam lamanya. Padahal beliau belum makan obat yang di berikan perawat tadi sore

Karena keadaan ibu tidak berubah, kakakku melaporkan kondisi ini kepada dokter jaga. Dari hasil pemeriksaan dokter ternyata ibu tidak tidur tapi dalam keadaan pingsan atau entah apa namanya kata dokter. Dan keadaan tersebut berlangsung sampai pagi hari.

Sebelumnya aku juga sudah konsultasi dengan dokter yang kebetulan adalah temanku waktu SMA dulu. Setelah mendengarkan saran Dr .Nanny Paginya setelah mendapatkan izin dari kami anak anaknya, karena keadaan tidak berubah ibu di pindahkan ke ruang ICU. Ibu dinyatakan koma .

Sampai siang semua anak anak, menantu dan cucu sudah berkumpul di rumah sakit. Kami semua khawatir dengan keadaan ibu. Apalagi ibu termasuk orang yang jarang sekali sakit. Tepat pukul empat sore dalam keadaan tenang ibu menghembuskan nafasnya yang terakhit, meninggalkan kami semua.

Air mata mengiringi kepergian orang yang menjadi kebanggaan keluarga, orang yang sederhana dalam mejalani hidup, yang tidak pernah mengeluh walau seberat apapun perjuangangan dalam menghidupi dan membesarkan anak anaknya.

Aku dan saudara saudaraku, menantu beserta cucu cucu ibu bergerak meninggalkan lokasi pemakaman keluarga tempat peristirahatan ibu yang yang terakhir. Ibu tak pernah lagi bangun sejak tidur sore itu. Meninggalkan semua kenangan dan kesedihan bagi kami semua. Aku tak pernah menyangka pembicaraan tentang uang ibu yang di pinjam seseorang adalah pesan terakhirnya untuku. Maaf yang di sampaikan kepada mertuaku adalah permohonan maaf terakhirnya. Selamat jalan bunda, semoga kau tenang di alam sana . Doa kami akan selalu mengiringi tidur panjangmu.

Aku memandangi rumah besar yang berdiri kokoh di hadapanku. Rumah dimana kami di besarkan. Rumah yang penuh dengan keceriaan .Rumah yang selama ini selalu memanggil kami pulang . Rumah bewarna oranye bernomor 77. Aku tidak tahu kenapa rumah tersebut bernomor 77 .Setahuku rumah ini dibangun oleh orang tuaku di tahun 1977. Tidak pernah bertukar warna. Dari tahun ke tahun punya warna yang sama.

Tidak ada lagi kehidupan di rumah besar itu. Di rumah yang sederha ini semua kegembiraan ada di dalamnya, sejuk, tenang dan damai, tidak ada kata mewah. Sejak kedua orang tuaku meninggal rumah tersebut tidak ada yang menghuninya, sunyi.

Tak terasa air mata mengalir di sudut pipikuku. Semua kenangan itu tak akan pernah hilang. Akan selalu mengisi setiap relung hatiku.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ikut merasakan kalau ditinggal orang tua. semoga husnul khotimah ya bun. Sukses dan salam literasi

09 Mar
Balas

Amiin. Terima Kasih bu.

09 Mar

Sukses selalu bu

09 Mar
Balas

Terima kasih bu. Baru belajar

09 Mar

Terima kasih bu. Baru belajar

09 Mar



search

New Post