Navigasi Web
Hartini 2

Hartini 2

"Kau yang memulai menyalakan api cinta itu kembali dan kau pula yang mematikannya kembali. Kau seperti memberi harapan mas....."

Hartini mulai menyalahkan Farid sambil mengusap air matanya yang mulai membasahi pipinya yang merah sebam.

"Kau sepertinya salah memaknai kebaikanku...." Farid menghela nafas panjang... Membela diri. "Memang kita dulu pernah ada rasa, dan rasa itu sempurna. Hanya mungkin kesalahanku saja yang tak berterus terang denganmu. Ya... itu dulu. Hari ini tentu rasa itu haruslah kubuang jauh-jauh karena aku sudah menambatkan kuat-kuat cinta itu kepada istriku yang sangat mencintaiku, kepada anak-anakku yang menjadi penyejuk hati dan pengobat dahaga saat pulang kerja dan setelah seharian disengat panas patahari. Tapi....aku tetap masih menganggapmu sebagai teman... Ya sebagai teman. Lain tidak! Sebagai teman, aku hanya ingin sekedar membantu memberikan support, memotivasimu bahwa kehidupanmu hari ini adalah untuk perkembangan anakmu, Via! esok. Jika hari ini kamu putus asa atau tak lagi menyimpan semangat hidup, bagaimana dengan masa depan Via."

Rupanya teh panas itu belum dicicip pula, padahal sudah hampir satu jam berada didepannya. Sendok nikel yang semula panas akibat dari peristiwa konduksi, berangsur dingin, dan hanya diputar-putar seakan ingin melarutkan gula pada air teh yang memenuhi gelas panjang itu. Padahal keyakinanku, gula itu telah larut lama oleh panasnya air.

Hartini....! Farid mencoba membuka hati Hartini dengan motivasi-motivasi tentang hidup, tentang masa depan, tentang cita-cita, tentang semangat api yang pernah dia miliki dulu, tentang kemampuannya memecahkan problem temanya dulu... Tentang semua kelebihan yang pernah ia miliki.

"Ya mas....aku paham. Hari ini engkau bukan lagi Farid yang dulu masih sendiri. Engkau telah menjadi milik istrimu dan anak-anakmu. Aku faham itu. Tapi setidaknya bertemu denganmu, kendati hanya sesaat cukup bagiku untuk mengobati lukaku, luka yang aku buat sendiri. Karena sepenuhnya aku belum mampu melupakanmu." Ucap Hartini.

"Mungkin itu yang membuat suamimu bersikap seperti itu!" Farid menyadarkan Hartini agar melupakan masa lalu, dan hanya mencintai Nasrudin suaminya, ya suami pilihannya dan pilihan Tuhannya.

Hujan malam itu tampaknya membuat waktu tak terasa begitu cepat berjalan. Dam jam yang bertengger pada dinding cafe itu telah menunjukkan jarum ke-11. Artinya ia harus menyudahi pertemuan itu, mungkin juga dengan Hartini.

"Assalamu'alaikum.... " Ucap Farid.

"Wa'alaikum salam." Ja ab Hartini.

Rintik hujan itu malam itu mengantar keduanya pada tempatnya masing-masing.

Wrbpagi, 13 Agustus 2020

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post