Kuluk kuluk kuluk

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
“Ngangsu Kawruh” dan “Meguru” (Belajar di Era Digital 1)
https://2v1ta542ibfg4a6kno4dr2ri-wpengine.netdna-ssl.com/wp-content/uploads/2013/07/Learning-disabilities1.jpg

“Ngangsu Kawruh” dan “Meguru” (Belajar di Era Digital 1)

Dahulu, manusia belajar dari alam. Mereka juga belajar dari orang-orang di sekelilingnya. Awalnya seorang anak akan belajar dari orang tuanya, paman-pamannya, ataupun kakak-kakaknya. Sangat mungkin pula mereka belajar dari kakek-kakeknya. Ya, mereka berlajar dari orang terdekatnya.

Belajar dalam kondisi seperti ini berjalan secara alamiah. Belajar bisa dilakukan dengan cara menirukan atau bertanya tentang hal-hal yang ada di sekitar lingkungannya. Karena dalam kehidupan yang masih sangat sederhana itu masih berupa usaha untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang hanya bisa didapat dari alam, maka proses belajar berkaitan dengan perolehan keterampilan bertahan hidup.

Seorang anak akan belajar atau diajari mengenai berbagai makanan yang bisa diperoleh dari lingkungannya. Selanjutnya, mereka akan belajar cara memperoleh makanan itu. Mereka belajar mencarimakanan di hutan, belajar menanam di dekat tempat tinggalnya, belajar mencari ikan, belajar bdan puncaknya belajar berburu dan menjinakkan hewan.

Selanjutnya, karena kebutuhan manusia itu tidak bisa dicukupi melalui usaha sendiri, mereka mulai berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil masyarakat yang saling mengisi. Mereka mulai saling berbagi bahan makanan. Mereka juga mulai saling bertukar makanan. Sebagai mahluk sosial, manusia harus berkelompok untuk bisa bertahan hidup. Mereka juga harus mulai bekerja sama dan sekaligus berbagi tugas sesuai dengan kemampuannya.

Semakin besar jumlah warga sebuah komunitas, maka harus semakin spesifik kemampuan atau keterampilan yang dimiliki. Namun pada saat yang sma mereka harus saling bekerja sama.

Pada saat ini, para lelaki muda akan menetapkan diri sebagai pemburu. Mereka mengasah keterampilan dalam berburu. Mereka akan menetapkan diri dalamlingkungannya sesuai keterampilan dan bakatnya. Mereka mulai mereka-reka perkakas yang bisa dibuat untuk mempermudah usaha perburuan.

Mereka mulai dengan menggunakan batu untuk melempar binatang buruan. Untuk yang seperti ini, mereka melatih keterampilan melempar dengan efektif dan efisien. Mereka juga mulai belajar mengembangkan alat pemukul untuk membunuh binatang hasil buruan. Selanjutnya, mereka merekayasa alat untuk memotong daging binatang hasil buruan karena gigi manusia tidak cukup kuat untuk mengiris daging.

Di antara binatang buruan yang berhasil mereka bunuh, tentu ada mahluk kecil yang tertinggal. Ya, anaknya. Karena masih kecil, anak-anak binatang itu akan dibawa pulang untuk dipelihara hingga besar untuk kemudian dijadikan bahan makanan juga. Mereka belajar mengambangbiakkan binatang buruan itu.

Keterampilan-keterampilan dalam perburuan hingga pemeliharaan ternak itu, dilakukan melalui tahapan-tahapan belajar secara alamiah. Keretampilan-keterampilan itu juga dikembangkan melalui proses berbagi di antara warga. Pada tahap berbagi keterampilan inilah proses belajar sedang berjalan. Proses belajar yang seperti ini masih berlanjut hingga saat ini dan muncul dengan istilah peer teaching.

Pada saat yang sama, para perempuan memperhatikan keadaan di sekitar mereka. Mereka melihat fakta bahwa sisa-sisa makanan mereka yang berupa biji-bijian dan batang tanaman di sekitar mereka mulai tumbuh. Awalnya mereka tidak peduli. Tetapi semakin lama mereka mulai peduli karena merasakan bahwa mencari umbi-umbian dan buah-buahan semakin sulit.

Para perempuan mulai belajar bahwa biji-bijian dan batang tanaman dapat tumbuh. Mereka mulai mengatur jarak pembuangan biji-bijian dan umbi-umbi tanaman sisa makanan mereka. Mereka belajar dari alam sekitarnya untuk memudahkan hidup mereka.

Sekelompok masyarakat yang besosialisasi, seperti halnya juga sebuah kelas, memiliki anggota komunitas yang mampu cepat belajar, tapi ada juga yang lambat belajar. Dalam keadaan seperti ini, anggota masyarakat yang lambat dalam belajar akan dibantu oleh temannya yang lebih cepat belajar.

Di sisi lain, para orang tua yang sudah tidak sanggup lagi berburu dan berkebun, tetap berada di kediaman mereka. Di kala senggang, beberapa orang tua mengumpulkan anak-anak mereka. Orang-orang tua itu akan bercerita tentang kehebatannya dalam berburu, atau hal-hal lain yang dianggap perlu. Beberapa orang tua yang cerdas melengkapi cerita mereka dengan khayalan.

Cerita-cerita dari orang tua yang disisipi cerita khayalan itu, tentu bukan tanpa maksud. Para orang tua ini menanamkan nilai-nilai positif yang berlaku di lingkungannya. Mereka menanamkan rasa kebersamaan, etika komunitas, keyakinan akan pencipta, atau yang lainnya yang bernilai luhur.

Sebagaimana saat ini, dulu juga ada orang yang dianggap pintar dan ada yang dianggap bodoh. Ada orang yang dianggap lebih cepat mengerti, namun ada juga orang yang lambat mengerti. Orang yang cepat mengerti akan dijadikan panutan oleh yang lain. Ini adalah proses awal munculnya istilah guru. Pada proses inilah istilah ngangsu kawruh muncul. Istilah ngangsu kawruh ini memiliki makna menimba pengetahuan. Para anak muda ini menimba pengetahun dari sumur yang ada.

Pada tahap berikutnya, perolehan ilmu dari anggota komunitas sendiri dianggap tidak mencukupi lagi. Sebagian anak muda yang kritis menginginkan pembuktian dari cerita-cerita yang didengarnya dari para orang tua mereka. Mereka ingin membuktikan kebenaran cerita-cerita khayalan yang mereka ketahui dari para orang tua.

Para anak muda cerdas ini mulai melakukan petualangan untuk menemukan sesuatu yang baru. Rasa ingin tahu dan keberaniannya yang lebih ketimbang pemuda yang lainnya mengantarkannya pada guru-guru dari komunitas lain. Para pemuda ini berkeliling dari satu komunitas ke komunitas lainnya untuk menghilangkan dahaga pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman dari luar komunitasnya.

Pada tahap ini, para pencari pengetahuan ini mungkin akan bertemu dengan komunitas lain yang memiliki pola kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan di komunitasnya. Mereka mungkin akan bertemu dengan komunitas nelayan. Mungkin juga mereka bertemu dengan komunitas yang lebih mau yang sudah mampu menjinakkan kuda. Munggkin juga mereka akan bertemu dengan kehidupan barter, pertukaran barang dengan barang yang sebelumnya tidak mereka kenal.

Di dunia luar komunitasnya, mereka akan bertemu dengan berbagai orang dengan bahasa yang berbeda. Saat ini mereka akan mulai belajar bahasa yang berbeda. Di sini juga mereka akan sekaligus belajar tata kehidupan di komunitas yang didatanginya. Di komunitas yang mereka datangi ini, mereka akan banyak bertanya dan bertukar pikiran mengenai hal-hal yang dilihatnya.

Pada kesempatan seperti ini, mungkin mereka akan menetap beberapa hari untuk menggali keterampilan, pengetahuan sederhana, atau cerita-cerita dari para orang tua di komunitas baru ini. Pada saat yang sama, sebagai pendatang, diapun akan diminta oleh orang-orang di sini untuk bercerita mengenai komunitasnya. Terjadilah pertukaran ilmu saat ini. Selama bertukar pengetahuan dan keterampilan ini, si pemuda akan menentukan seorang tokoh yang dianggap mumpuni untuk dijadikan sumber pengetahuan.

Bagi pemuda yang kemudian melakukan perjalanan pulang pergi dari komunitasnya ke komunitas lainnya untuk menemui nara sumber ini disebut meguru atau berguru. Bila pemuda yang berguru mencapai jumlah yang cukup banyak, maka akan lahirlah konsep “perguruan” yang mempunyai arti tempat berguru. Inilah cikal bakal bentuk sekolah modern.

Pada saat yang bersamaan, ada seorang atau sekelompok orang yang bertualang dari satu komunitas ke komunitas lain juga mengajari anak-anak muda yang ditemuinya. Mereka mengajari anak-anak muda yang ditemuinya melalui cerita-cerita yang dikuasainya. Pada saat ini muncul istilah tukang cerita. Tukang cerita ini sebenarnya adalah guru yang menyampaikan pendidikan karakter melalui cerita-ceritanya yang bernilai didik.

Dalam kondisi tertentu, mungkin saja tukang cerita ini menyampaikan cerita-cerita lucu. Pada masa ini berkembang cerita rakyat dengan bebagai variasinya. Ada cerita rakyat yang berbentuk fabel, mite, maupun legenda.

Fabel, yang berisi dongeng dengan tokoh-tokoh binatang, bukanlah cerita tentang binatang. Binatang dalam tokoh fabel ini adalah penggambaran watak manusia yang sesungguhnya. Tokoh binatang dipakai dalam fabel bertujuan untuk penghormatan atas nama yang dipakai manusia. Pada saat itu, penggambaran watak buruk seperti suka mencuri, tidak digambarkan sebagai watak manusia, melainkan watak kera.

Fabel bagi orang yang lebih dewasa adalah berisi pelajaran tentang kejujuran. Sedangkan bagi anak-anak kecil, fabel adalah sebuah hiburan. Kita tahu, semua anak pasti menyukai fabel karena kelucuannya. Meski begitu secara perlahan anak-anak itu akan mampu menangkap pesannya. Apalagi dalam pembawaan cerita, bisanya tukang cerita akan menyampaikan pesannya secara langsung.

Tukang cerita ini mungkin pada suatu saat menemui sekelompok orang yang sedang mengalami kedukaan. Tukang cerita yang pandai akan memahami situasi seperti ini dengan meyampaikan cerita-cerita yang menghibur untuk menghilangkan duka anak-anak muda yang didatanginya. Saat seperti ini, tukang cerita akan diberi julukan “pelipur lara” atau “penglipur lara”.

Sebagai seorang penglipur lara, tentu saja tukang cerita atau pendongeng ini harus pintar mengemas nilai-nilai luhur kemasyarakatan melalui cerita-cerita lucu. Tujuan cerita-cerita lucu diasmpaikan adalah agar sekelompok orang yang sedang berduka itu bisa melupakan kesedihannya dan merasa terhibur.

Untuk menghilangkan rasa bosan karena bekerja sehari-hari, dan untuk melatih kekuatan otot serta kerjasama, maka dilahirkanlah bentuk aktivitas di lapangan berupa permainan. Aktivitas yang melibatkan gerak kasar, gerak halus, kecepatan, kekuatan, dan kerjasama ini melahirkan berbagai jenis permainan. Ada permainan untuk anak-anak, ada juga permainan untuk remaja, bahkan untuk orang dewasa. Ada juga permainan yang khusus untuk laki-laki dan ada yang khusus untuk perempuan. Semua permainan itu melibatkan segala kemampuan diri dan membutuhkan kerjasama antarpemainnya.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Alhamdulillah, kalau dudah dimulai membaca, susah untuk berhentinya. Di sini kita mendapatkan istilah peer teaching, guru, dan tukang cerita/ pelipur lara. Hebat Mas.

20 May
Balas



search

New Post