Kado Impian Nayra (Part 23)
Tantangan menulis 60 hari (hari ke-36)
#tantanganGurusiana
Kado Impian Nayra (Part 23)
“Pulanglah Pak Arya. Kau sudah dua belas hari di sini. Jika kau rindu kepada anak-anakmu cukuplah kau videocall dengan mereka. Rafa, Kemal dan Arif bisa kau hubungi. Kelak kalau kau berkunjung, ku harap kau tak lagi memancing keributan dengan aku dan keluargaku. Mari kita hidup damai dengan saling menghargai demi anak-anak. Kau bahagialah di sana bersama istrimu. Aku juga akan bahagia.” Demikianlah ucapan Laras saat berpapasan dengannya di halaman. Wanita itu akan mengantar anak-anaknya ke rumah sakit. Ya, hari ini Naura dan Rafa harus tranfusi. Ia hanya bisa menatap ketika Laras berlalu dan membawa kedua anaknya dengan sepeda motor.
Devi menyuruhnya segera pulang. Sudah cukup lama ia meninggalkan rumah. Hampir setengah bulan. Apapun alasan yang Arya kemukakan ternyata hanya membuat Devi semakin gusar. Istrinya minta ia pulang hari ini juga bahkan Devi telah menyiapkan tiket untuknya. Ditatapnya tiket pesawat terbang yang dikirim Devi lewat whatshaap. Penerbangan pukul 12.20 nanti. Tadi ia masih berharap bisa membawa Nayra untuk bermain bersama. Sayang sekali ternyata hari ini adalah jadwal gadis kecil itu ke rumah sakit. Mungkin pukul dua sore baru selesai tranfusi. Artinya saat Nayra pulang, Arya sudah tiba di Ketapang. Pupus sudah harapannya untuk bermain dengan Nayra.
Tak ada lagi yang ditunggunya di rumah ini. Meskipun sekarang Mbah Ti dan Mbah Kung menemaninya duduk tapi ia merasa tak nyaman. Masih terngiang di telinganya pesan Laras saat berpapasan tadi. Kalimat-kalimat Laras sangat jelas maknanya. Suara Laras yang setengah berbisik saat bicara tadi merupakan kode bahwa wanita itu tahu pembicaraannya dengan Mbah Ti dua hari lalu. Dengan sungkan Arya berpamitan pulang begitu ojek online yang dipesannya datang. Dari rumah Laras, ia langsung mampir ke tempatnya menginap untuk mengambil ranselnya lalu menuju bandara.
***
Setibanya di rumah, Devi meminta Arya segera mandi dan berganti pakaian. Tak ingin ribut dengan sang istri, Arya pun melakukannya. Sambil mandi ia tak hentinya berpikir. Lelaki itu masih bingung mencari cara untuk menceritakan masalah mobilnya apabila Devi bertanya. Cepat atau lambat Devi pasti curiga dengan alasannya meninggalkan mobil di bengkel. Bagaimana mungkin mobil baru bisa masuk bengkel karena gangguan mesin?
Arya sudah mengganti pakaiannya. Celana pendek dan kaos kutang. ada yang terasa aneh dengan penciumannya. Diendusnya kaos yang dipakainya. Berbau asap.
“Kenapa baju ini bau asap ya?” tanyanya heran.
“Mungkin itu penciuman abang saja,” sahut Devi tak acuh.
“Tidak. Ini memang bau asap.”
Arya membuka lemari dan berniat mengganti bajunya. Lelaki itu kembali mengendus. Sekejap kemudian ia kembali menutupnya.
“Semua pakaian dalamku yang ada di dalam lemari ini berbau asap. Aku heran, padahal waktu itu aku sendiri yang mencucinya. Aku tak pernah menjemur pakaian dalam di luar rumah. Kenapa bisa bau asap ya?”
Devi merasa jantungnya berdebar cepat. Ia takut sekali. Andai Arya menatap wajahnya yang pucat, lelaki itu akan mengetahui apa yang telah Devi lakukan terhadap pakaian-pakaian dalam itu. Ia memilih diam daripada membuat Arya semakin curiga. Pelan-pelan ditinggalkannya Arya sendirian di kamar. Lalu berpura-pura sibuk menyiapkan makan siang untuk suaminya. Dalam hatinya, ia kagum dengan ketajaman penciuman Arya.
“Bang, kita makan yuk,” ajaknya mengalihkan perhatian.
“Iya, Abang memang belum makan tadi,” jawab Arya sambil mengikuti istrinya menuju meja makan.
Hari ini Devi sudah menyiapkan sayur kesukaan Arya. Jantung pisang yang dimasak dengan santan. Sambal udang tempoyak dan ikan kembung goreng menjadi lauknya. Pastilah Arya akan makan dengan lahap. Dugaan Devi tidak meleset. Arya memang melahap semua masakannya dan melupakan masalah pakaiannya yang berbau asap tadi. Tidak banyak hal yang mereka perbincangkan. Mereka larut dengan pikirannya masing-masing.
Sudah menjadi kebiasaan Arya jika selesai makan akan masuk kamar lalu tidur siang. Setelah mencuci piring, Devi berniat menyusul suaminya. Sebagai wanita yang sudah bersuami, ia merindukan kebersamaannya dengan Arya setelah dua belas hari tidak bertemu. Namun, alangkah kecewanya ia ketika memasuki kamar. Dilihatnya suaminya sudah tertidur pulas. Suara dengkurnya terdengar cukup keras. Wanita itu menghela napas. Pelan-pelan ditutupnya pintu kamar lalu bergegas ke beranda. Jemarinya menekan panggilan untuk Ida. Beberapa saat berselang Ida menjawab panggilan itu.
“Ida, abang curiga dengan bau asap yang ada dibajunya,” keluhnya membuka percakapan.
“Arya sudah pulang? kalau dia curiga, pandai-pandailah kau memberikan alasan, Vi,” suara Ida terdengar samar dari ujung sana.
“Aku takut, Da,” ucap Devi terus terang.
“Sekarang Arya di mana?” tanya Ida.
“Tidur. Benar manjur gak ya mantera Wak Andak Morsan ni? Kenapa Arya langsung tidur ya? padahal ia sudah memakai pakaian yang dimanterai itu,” keluhnya.
“Maksudmu apa, Vi?” suara Ida terdengar bingung.
“Begini Ida, paranormal itu mengatakan bahwa Arya hanya akan bergairah kepadaku jika mengenakan pakaian itu. Tapi sekarang Arya tidur, Da.” Devi menjelaskan keraguannya kepada Ida. Ia merasa tak perlu malu karena sejak awal Ida sudah tahu tujuan Devi mencari paranormal untuk menguna-gunai suaminya. Terdengar suara Ida tertawa kecil di ujung handphone.
“Yaaaah. Gak mungkin secepat itulah. Semua butuh proses Devi. Sabaaar. Kalau mendengar keluhanmu seperti ini, aku menjadi takut Arya akan tinggal tulang berbalut kulit karena harus menuruti hasratmu,” canda Ida.
Devi tersenyum kecut. Ia memang tidak sabar untuk segera mengetahui hasil perjuangannya. Cukup jauh perjalan mereka ke rumah Wak Andak Morsan di pedalaman Manjau tempo hari. Rasa sakit akibat jatuh setelah melompat dari tangga rumah paranormal itu pun terasa masih membekas di rusuk kirinya. Ia sangat berharap pengorbanannya akam memberikan hasil memuaskan tanpa harus mengulang pergi ke sana. Cukuplah sekali ia mengunjungi pondok itu. Ia bergidik mengingat pertemunnya dengan sang paranormal. Apalagi kepergiannya waktu itu tanpa sepengetahuan Emak maupun Arya. Jika harus mengulang apa yang akan ia katakana kepada mereka sebagai alasan?
“Vi, kau masih di sana?” suara Ida menyadarkannya.
“Iya, aku mendengarmu,” ucap Devi ketus.
“Sudahlah, Vi. Sebaiknya kau kembali ke kamar. Dekap suamimu. Bukankah kau merindukannya? Lalu kenapa pula kau masih gengsi dan malah menelpon aku. Udah ah, aku ada pekerjaan. Aku tutup ya.”
Ida sudah menutup panggilannya tanpa sempat Devi protes atas candanya. Benar juga kata Ida, Arya itu suaminya. ia halal melakukan apapun dengan lelaki yang dicintainya itu. Devi menatap gawainya lalu kembali ke kamar seperti yang disarankan Ida tadi. Kembali dibukanya pintu kamar dengan perlahan. Ia takut Arya terkejut mendengar suara daun pintu yang mulai berderit. Wanta itu merebahkan diri di samping suaminya.
Devi menatap wajah Arya yang tertidur. Wajah lelaki itu terlihat lelah. Rasanya tak sampai hati untuk menceritakan kepada Arya tentang kedatangan Bahar dan Nurdin ke kantornya waktu itu. Walaupun hatinya ingin sekali melihat reaksi suaminya jika ia menceritakan hal tersebut. Ia berhak tahu alasan Arya berhutang kepada Pak Rudi. Tapi semua rasa penasaran itu terlibas oleh rasa rindunya kepada lelaki ini. Di usapnya wajah lelaki di depannya dan sejurus kemudian ia sudah memeluk erat tubuh Arya dan menciuminya dengan penuh kerinduan.
***
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Bu. Ceritanya begitu mengalir. Salam hangat.
Terima kasih PAK