Harap dan Cemas
Harap dan Cemas
Derasnya pertanyaan-pertanyaan itu berhasil mengusir rasa kantukku malam ini. Saat ini sudah waktunya jam tidur. Aku mencoba merebahkan badanku di tempat tidur.
Aku pura-pura memejamkan mata, karena biasanya ayahku sesekali masuk ke kamarku untuk memastikan apakah aku sudah tertidur ataukah masih terjaga. Memang, malam ini terasa sangat mengangguku.
Entah darimana datangnya, saat mata ini pura-pura terpejam, terlintas dalam benakku "Aku harus perjuangkan perasaan ini. Akan aku tunjukkan kepada ayahku, walaupun aku pacaran, aku bisa tetap mempertahankan semangat belajarku dan tetap berprestasi". Kalau dipikir-pikir sih, pede sekali ya aku, baru juga kenalan, belum tentu juga dia mau jadi pacarku, tapi aku mikirnya sudah kejauhan, hehe...
Setelah malam itu, aku sangat semangat untuk pergi ke sekolah. Aku seakan-akan memiliki sebuah kekuatan baru. Ibarat seorang prajurit yang akan pergi ke medan pertempuran, pergi untuk bertugas dengan harapan memperoleh sebuah kemenangan. Saat ini aku akan memperjuangkan dua hal yang sangat berarti dalam hidupku.
Pertama, bagaimana caranya agar aku bisa mengungkapkan seluruh isi hatiku kepada Ina, gadis cantik nan lugu yang sangat aku idam-idamkan sejak pertama kali bertemu.
Kedua, aku harus bisa tetap fokus dengan belajarku dan mempertahankan prestasiku, agar ayahku tetap bangga kepadaku. Akan kujadikan perasaan yang tak biasa ini sebagai motivasi terbesarku untuk mewujudkan harapan ayahku.
Hari-hari pun telah berganti, aku mulai mencari-cari informasi mengenai Ina layaknya seorang detektif. Eli dan Dea adalah sahabat baik Ina. Melaui kedua sahabatnya inilah aku dapat mengetahui banyak hal. Kedua sahabat ini pula yang memberikan jalan kepadaku untuk melakukan PDKT dengan Ina.
Aku terkadang membuat janji ketemu dengan Ina melalui salah satu sahabatnya. Walaupun saat ketemuan dengan Ina, aku terkadang kebingungan untuk memulai sebuah obrolan.
Kami masih canggung satu sama lain. Terkadang kami banyak terdiam, bingung menentukan topik pembicaraan. Pokoknya "salting abis deh" kalau sudah ketemuan, tapi aku suka. Justru momen-momen seperti ini yang tidak pernah bisa aku lupakan. Seiring berjalannya waktu, kami sudah tidak begitu canggung lagi saat bertemu.
Ina sebenarnya anak yang asik diajak ngobrol, sesekali dia juga suka bercanda. Senyum simpul dan lesung pipinya menambah pesona kecantikannya yang alami.
Tidak terasa sudah satu bulan aku mengenal Ina. Hari demi hari telah kulalui bersamanya. Setiap aku berada di sampingnya, aku menemukan kebahagiaan yang tiada tara. Saat jauh darinya, ada kerinduan yang sulit untuk ku tepiskan. Ingin rasanya aku selalu berada di sampingnya dan menghabiskan sisa waktuku bersamanya.
Sejujurnya, rasa ini semakin tidak bisa terbendung lagi. Mungkin sudah saatnya aku mengutarakan rasa cinta ini kepadanya. "Tapi..., apakah Ina juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan?" aku mulai gelisah saat memikirkan hal itu. "Bagaimana jika nanti perasaan ini tidak bersambut?" pikirku.
Terus terang hati ini pun gundah-gulana memikirkannya. Sampai tiba hari ini, Sabtu tanggal 22 Agustus aku memutuskan untuk mengungkapkan semua perasaanku kepada Ina.
Bel istirahat pertama pun berbunyi. Aku bergegas menemui Eli untuk menyampaikan sebuah pesan kepada Ina. "El, tolong sampaikan pesanku kepada Ina, nanti siang jangan pulang dulu ya, ada yang mau aku omongin?" begitu tuturku.
"Baik, nanti akan aku sampaikan" jawab Eli dengan tatapan penuh pertanyaan terhadapku.
Akhirnya waktu yang dinanti telah tiba. Aku mengumpulkan seluruh energi yang tersisa siang itu. Butuh keberanian untuk dapat mengungkapkan semua perasaan ini kepadanya.
Kedua sahabatku juga turut mendampingi dan memberikan suport terbaiknya.
"Kamu harus tenang, Ren" kata Sandi.
"Iya, santai saja" tambah Rizal.
"Aku takut ditolak, San" tuturku dengan suara pelan.
"Lebih baik di tolak hari ini, daripada menyesal seumur hidup karena tidak jujur dengan perasaan sendiri!" kata-kata bijak keluar dari mulut Sandi dengan begitu tegas dan jelas. "Tapi perkataan Sandi ada benarnya juga" ucapku dalam hati.
"Aku harus berani menerima apapun keputusannya" tegasku dalam hati.
Dengan perasaan yang tak menentu, aku bersama kedua sahabatku pergi ke kelas II-5. Disana Ina dan juga kedua sahabatnya sedang duduk di bangku kelasnya menunggu kedatangan ku. Aku menyuruh kedua sahabatku untuk menjaga jarak dariku. "Tenang saja, kalo kamu pingsan, kami siap gotong kok", begitu kata Rizal sambil tertawa terbahak-bahak menentawakan tingkahku saat itu.
Akhirnya aku pun mencoba mendekati kelas II-5 seorang diri. Bersandar pada sebuah tiang depan kelas, tiang yang begitu kokoh. Aku berharap agar keberanianku saat ini sama kokohnya dengan tiang tersebut.
Dengan melambaikan tangan aku memanggil Ina agar mau menghampiriku. Sambil tersenyum tersipu malu Ina pun mau menghampiriku seorang diri. Kedua sahabat Ina pun di dalam kelas terlihat tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan kanan, mungkin menertawakan tingkah kami berdua yang saat itu benar-benar sangat aneh. Ina membuka pembicaraan,
"Ada apa a...?"
"Ah tidak..., sebenarnya sih ada yang mau Aa omongin sama kamu"
aku menjawab dengan sedikit canggung.
"Mau ngomong apa?" lanjut Ina.
"Mau ngomong aja, Ina pasti tau kan Aa mau ngomong apa?" jawabku.
"Ih..., Aa mah aneh. Ina nggak tau a..?" jawab Ina sambil tersenyum.
Terus terang saat itu aku bingung, masa sih aku harus dengan vulgarnya bilang "I Love You", aku tidak cukup berani melakukannya. Jadi aku mencari cara lain untuk
mengungkapkan perasaanku.
"Na, coba tebak ya. Aa mau ngomong 3 kata saja sama Ina, kira-kira menurut Ina, Aa mau ngomong apa?"
hatiku dag dig dug tak karuan.
"Semoga saja dia bisa menebak 3 kata itu" gumamku dalam hati.
Sepertinya Ina juga tahu apa yang sebenarnya akan aku katakan, tapi dia pura-pura tidak tahu. Sambil menggelengkan kepalanya Ina menjawab,
"Tidak tahu a..."
"Habis deh aku" ucapku dalam hati.
Mesti dengan cara apa lagi aku harus mengutarakan perasaan ku ini. Gadis ini memang sangat pintar, dia tidak mudah terjebak dengan pertanyaan-pertanyaan yang aku berikan. Akhirnya dengan cepat aku katakan, "Aa sayang Ina". Jika kulit mukaku putih, mungkin saat itu mukaku merah seperti apel yang sudah matang. Tapi untungnya kulitku sawo matang, jadi matangnya samar-samar, bahkan hampir tak kasat mata, hehe.
"Gimana, Ina mau jadi pacar Aa..?" sambil ku tatap mata indahnya itu.
Aku berharap jawaban darinya adalah "Iya", tapi hal yang tidak diduga keluar dari bibirnya dengan lembut,
"Ina pikir-pikir dulu ya a..., nanti pas masuk sekolah minggu depan baru Ina kasih tahu jawabannya ya...".
Seketika itu aku kaget bukan main,
"Ayo dong Na, jawab aja sekarang, iya atau tidak? Besok kan Minggu, terus hari Seninnya kan kita libur, guru-guru mau ada rapat. Jadi Aa harus nunggu jawaban dari Ina
sampai hari Selasa?"
aku memberikan banyak argumen untuk meyakinkannya, siapa tahu pikirannya berubah saat itu juga. Tapi, dengan santainya dia menjawab,
"Nanti saja hari Selasa jawabannya ya a... Aa bisa nunggu kan?".
Yah, walaupun agak lemas sih, tapi aku harus terima keputusannya,
"Ya udah, Aa tunggu hari Selasa ya. Jangankan Selasa, sampai tahun depan juga Aa siap kok nunggu jawaban dari Ina".
Aku berkata seperti itu tadinya agar dapat mencairkan suasana, tidak terlalu mencekam.
Tapi...,"Ya udah, kalo begitu jawabannya tahun depan aja ya a..." jawab Ina sambil tersenyum.
Serentak aku bilang, "Jangan-jangan dong, Aa cuma bercanda kok, Na".
Senjata makan tuan nih, hehe.
Akhirnya aku pun pamit undur diri dengan membawa sebuah rasa penasaran yang begitu mendalam. Aku menceritakan kepada kedua sahabatku, bahwa aku harus menunggu jawaban darinya sampai hari Selasa minggu depan. Artinya tiga hari akan aku lalui dengan penuh harap dan cemas, semoga indah pada waktunya.
***
-------------------------
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Masih nunggu jawaban, hehe.
Iya Bu, hehe