Wildah Rahmi

Hanya seorang ibu rumah tangga yang mendapatkan amanah menjadi seorang guru dan hobi menulis. Menulis apa saja. Asal bisa berbagi manfaat, dan meninggalk...

Selengkapnya
Navigasi Web
Adiva (part 1)

Adiva (part 1)

Adakah seseorang di luar sana yang merasakan hal yang sama dengan ku? Merasakan sikap sang mama yang tak mampu berdamai dengannya walau hanya sehari? Ah, aku harap tidak ada. Biarkan itu hanya aku yang merasakannya. Entah, ini terjadi sejak dulu aku masih kecilkah, atau hanya sejak aku berusia enam tahun, hingga saat ini, saat usiaku memasuki angka sembilan belas tahun, sikap mama tak berubah. Dingin. Seperti ada dinding es yang membatasi aku dengan mama. Masih terlihat seolah tidak mengharapkan kehadiranku. Atau memang sebenarnya mama tidak mengharapkan ku? Hhhh, hingga rasanya aku ingin berteriak di samping mama Ma, berhentilah seperti itu! Aku mohon berdamailah denganku! tapi, apakah itu akan merubah keadaan secepat membalikkan telapak tangan? Aku rasa tidak. Jujur, aku lelah. Lelah dengan tak inginnya mama berdamai denganku. Segala cara dan segala sikap terbaik sudah kulakukan kepada mama, namun hasilnya tetap sama. Tak ada yang berubah dari mama. Aku tetap tak dilihat oleh mama di rumah ini. Ah, Ma, siapakah aku ini sebenarnya? Mungkinkah aku bukan anakmu? Jika iya, kenapa aku harus ada dirumah ini? Atau memang aku ini anakmu? Tapi kenapa sikap mama selalu dingin dan seolah tak ingin melihat ku ada di sini? Aku ingin kita berdamai. Aku ingin merasakan layaknya seorang anak perempuan yang dekat dengan mamanya.

Allahku, Engkau Maha tau segalanya. Bantu aku menemukan jawaban atas semua tanya ini.

Jakarta, juni 2016.

Adiva mengakhiri tulisan diarynya. Ia letakkan buku diary kesayangannya di meja samping kasur. Setiap malam, menulis diary menjadi agenda wajib bagi Adiva. Karena dengan begitu ia akan merasa sedikit lebih tenang dan lebih lega karena sudah menumpahkan semua yang ia rasa di atas buku diarynya.

Malam semakin larut. Adiva pun merebahkan badannya. Hari sabtu kali ini sungguh melelahkan sekali baginya karena ada kegiatan bakti sosial di kampus yang melibatkan dirinya menjadi panitia. Lelahnya semakin bertambah saat ia pulang disambut dengan ketusnya mama.

Adiva menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Seolah ia ingin membuang segala penat dan lelah yang dirasanya hari itu. Adiva memejamkan mata. Merefleksikan dirinya. Sekaligus ingin memperluas rasa sabarnya. Rasa sabar yang tak ingin ia beri batas hingga kapanpun, dalam kondisi seperti apapun.

Aku yakin, suatu saat Mama akan berubah. Pasti akan ada masanya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bukan? Aku percaya, Allah selalu mendengar segala doaku, dan akan mengabulkannya suatu saat. Batin Adiva sambil menatap langit-langit kamarnya.

Adiva berniat, esok jika ada waktu luang ia akan membicarakan terkait sikap Mama ini kepada Papa. Ia ingin segera menemukan jawaban di balik ketusnya sikap Mama yang tak berkesudahan. Ia tidak ingin melawan. Tidak juga ingin memberontak. Walau terkadang bisikkan itu menghampiri hatinya. Namun, Adiva tetap memilih untuk diam. Menerima, juga mencoba menikmati ritme sikap mama yang seperti itu. Karena baginya, apapun yang diucapkan dan dilakukan mama kepadanya, tetap, Mama adalah Mamanya. Orang yang memiliki tiga keutamaan yang harus dihormati sebelum Papanya.

Malam kian larut, Adiva mulai melantunkan dzikir. Rutinitas yang selalu ia lakukan sebelum tidur setelah menulis diary. Hingga akhirnya ia terlelap berselimutkan lantunan dzikir.

Keesokkan harinya, setelah Adiva melaksanakan solat subuh, ia mendengar dari dalam kamarnya bahwa Mama mengajak Adrian dan Kinan - kedua orang kakaknya- untuk lari pagi mengelilingi komplek. Pasti aku tidak akan dipanggil dan diajak oleh Mama, batin hati Adiva. Benar saja, setelah mendengar jawaban setuju dari Adrian dan Kinan tak terdengar suara apapun lagi dari Mama. Ah, sudah biasa! Batin Adiva lagi sambil tersenyum getir.

Walau rasa lelah sisa kemarin kegiatan di kampusnya belum betul-betul hilang, Adiva tetap memilih merapihkan kamarnya dan kemudian keluar untuk melakukan rutinitas tiap pagi. Bersih-bersih rumah. Tidak peduli hari ini libur kuliah atau tidak, untuk bagian bersih-bersih rumah ia harus lakukan tiap pagi, sebelum pergi ke kampus, atau sebelum melakukan kegiatan apapun jika di hari libur. Karena dengan begitu, akan meminimalisir keketusan Mama kepada dirinya. Telat saja sedikit ia mengambil sapu, maka sindirian yang dilontarkan sang Mama tak akan berhenti hingga malam sebelum ia tertidur.

Loh, kamu enggak ikut lari pagi? Tanya Papa yang baru keluar kamar dan heran saat melihat Adiva sedang membersihkan meja ruang tamu. Adiva menggeleng sambil tersenyum ke arah Papa.

Papa sendiri enggak ikut? Tanya Adiva.

Enggak. Minggu ini mau santai aja di rumah. Jawab Papa sambil berjalan ke ruang keluarga dan kemudian menyalakan tivi untuk melihat berita pagi. Tidak lama kemudian, Adrian dan Kinan keluar kamar masing-masing dengan pakaian olahraganya.

Kamu enggak ikut lari pagi, De? pertanyaan yang sama dengan Papa kini dilontarkan Kinan.

Enggak Ka, mau di rumah aja. Jawab Adiva yang baru mulai menyapu ruang tamu.

Ikut aja de! Hari libur ini, beberes agak siang juga gak apa, kan? kata Adrian kemudian.

Biarin dia beberes aja dirumah! Walau hari libur juga rumah tetap harus bersih! Kalau dia ikut enggak ada yang bersih-bersih rumah nanti! Kini Mama yang menjawab.

Ma, masih pagi nih! kata Papa menyahuti. Mama pun diam. Tak lama, Mama beserta Adrian dan Kinan pamit kepada Papa dan meninggalkan rumah. Sedangkan Adiva tetap melanjutkan bebersih rumah.

Sejam kemudian, semua kerjaan rumah selesai sudah dikerjakan oleh Adiva. Mulai dari menyapu rumah, membersihkan meja-meja, hingga mencuci piring semua tuntas ia kerjakan. Ia pun kemudian menghampiri Papa yang masih berada di ruang keluarga sambil membawa secangkir kopi untuk Papa.

Pa, boleh Diva tanya sesuatu? Tanya Adiva setelah meletakkan kopi yang dibawanya di atas meja dan duduk di samping kiri Papa.

Papa menoleh kearahnya, memberikan isyarat membolehkan.

Kenapa sikap Mama ke aku beda banget dibandingkan dengan sikap Mama ke bang Adri dan kak Kinan?

Akhirnya pertanyaan itu yang sudah disiapkan oleh Adiva sejak lama kini terucap juga. Papa pun langsung membuang pandangannya. Papa Tidak berani menatap Adiva.

Kamu sangat terganggu dengan sikap Mamamu? Papa balik bertanya sebelum kemudian akhirnya Papa berani menatap Adiva kembali. Adiva tersenyum pahit. Menghela napas, dan kemudian menjawab,

Yaa gitu deh, Pa! terganggu sih enggak. Hanya heran aja, kenapa cuma ke aku Mama bersikap beda begitu?

Papa menghela napas berat, dan kemudian merangkul Adiva. Tidak ada jawaban sekatapun dari Papa. Adiva melepaskan rangkulan Papa, dan kemudian melihat wajah Papa yang terlihat sedang memikirkan sesuatu.

Pa, pertanyaan Diva mengganggu ya?

Enggak. Sama sekali enggak! Hanya saja jawab Papa dengan tatapan mata menerawang.

Udah, Pa. Lupain aja pertanyaan Diva. Anggap aja Diva enggak pernah tanya ini ke Papa, ya? kata Adiva memotong ucapan Papa. Dalam hati kecilnya, Adiva tahu sang Papa sedang menyembunyikan suatu hal.

Papa mengangkat alisnya sambil tersenyum sebagai tanda menyetujui permintaan putri bungsunya.

Tidak lama kemudian, Mama beserta Adrian dan Kinan kembali ke rumah. Adiva bersyukur karena telah mengakhiri pertanyaan tentang sikap sang Mama sebelum Mamanya datang.

Papa yang masih duduk di bangku ruang tamu bersama Adiva, dapat melihat jelas perubahan raut wajah Mama saat menatap Adiva.

Ambilin Mama minum, sana! Enggak liat Mama baru dateng?? kata Mama dengan nada ketusnya sesaat setelah duduk di samping kanan Papa. Adiva yang berada di samping kiri Papa langsung berdiri dan bersiap ke dapur untuk mengambilkan air minum.

Ma, bisakan bicaranya baik-baik? bisik Papa menegur sikap Mama.

Adrian dan Kinan yang duduk di lantai sambil meluruskan kaki dan membiarkan keringat membanjiri wajah mereka, hanya menggeleng melihat sikap Mama yang masih saja seperti itu.

Bang Adri dan Ka Kinan mau sekalian diambilin minum? Adiva menawarkan sebelum melangkahkan kakinya.

Kalau emang niat ya ambilin aja! Enggak usah ditanya segala!! celetuk Mama masih dengan ketusnya, sebelum Adrian dan Kinan menjawab penawaran Adiva.

Ma, udah dong! Kenapa sih Mama ketus mulu sama Diva? Protes Kinan akhirnya yang tidak suka dengan perlakuan Mama kepada adik satu-satunya itu. Mama diam. Namun dari air mukanya terlihat rasa tidak suka dengan ucapan Kinan yang membela Adiva.

Bikin minum buat Mama aja, De. Abang sama Kinan entar bisa ambil sendiri Jawab Adrian kemudian. Adiva pun langsung meninggalkan ruang tamu, dan langsunng menuju dapur.

Tidak lama Adiva kembali lagi dengan membawa nampan dan tiga gelas berisi sirup dingin di atasnya. Lalu meletakkan nampan itu di atas meja. Papa memperhatikan setiap gerak Adiva. Dalam hatinya Papa menjerit menahan sakit melihat putri bungsunya diperlakukan seperti itu oleh istrinya sendiri. Tapi Papa hanya bisa diam. Diam memendam rasa kecewa.

Kenapa cuma tiga? Buat Papamu enggak dibuatkan juga? Tanya Mama setelah Adiva duduk di samping Adrian. Masih dengan sikap tak bersahabatnya.

Enggak usah, tadi Diva sudah buatkan Papa kopi. Ini juga masih ada kopinya. Kini Papa yang menjawab langsung. Adiva tersenyum dalam hati. Ia bahagia, karena pagi ini tak ada satupun yang berpihak pada sikap Mama. Walau memang hari-hari biasapun tak pernah ada yang sepaham dengan sikap Mama kepada Adiva. Namun pagi ini Adiva lebih bahagia mungkin lantaran Papa terang-terangan membela Adiva.

***

Minggu berganti minggu, namun pertanyaan itu belum juga menemukan jawabannya. Adiva berniat akan mencoba memberanikan diri untuk bertanya langsung kepada sang Mama. Namun, rasa takut masih saja lebih menguasai. Ia takut, jika pertanyaan yang akan dilontarkannya justru akan semakin memperkeruh hubungannya dengan Mama. Maka hingga saat ini Adiva memilih untuk tetap diam, tetap bersikap baik dan hormat kepada sang Mama. Karena ia yakin suatu saat, segala sikap baik yang ia lakukan kepada sang Mama, dengan diiringi rasa sabar yang tak ia beri batas, maka kelak akan mendatangkan senyum kebahagiaan baginya. Ia selalu yakin Allah Maha Melihat dan Maha Membalas. Maka Adiva pun yakin, tak akan pernah ada yang sia-sia dari apa yang telah ia lakukan selama ini.

Adiva berniat, minggu ini akan pergi ke toko buku untuk mencari beberapa keperluan kuliahnya. Adiva meminta Kinan menemaninya. Dengan senang hati Kinan menerima ajakan Adiva.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi, Kinan sudah rapih lebih dulu. Ia pun memanggil Adiva yang masih berada dikamarnya.

Sebentar ya, Kak. Dikit lagi rapih nih! kata Adiva setelah menyilahkan Kinan masuk kedalam kamarnya. Adiva pun segera mungkin merapihkan jilbab yang dikenakannya.

Kakak tunggu depan ya, de. Sekalian nyalain mobil dulu. Kata Kinan yang beranjak dari duduknya dan meninggalkan kamar setelah mendengar jawaban oke dari Adiva.

Tidak sampai lima menit, Adiva pun sudah siap untuk berangkat. Ia berniat akan pamit terlebih dahulu kepada Papa dan Mama. Sebelum keluar rumah, langkahnya pun berhenti di depan kamar Papa dan Mama.

Ma, kenapa sih kamu masih saja bersikap seperti ini ke Adiva? terdengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Papa tepat saat ia berada di depan kamar Papa dan Mama dengan pintu yang sedikit terbuka. Dengan hati sedikit berdebar karena mendengar pertanyaan itu terlontar dari mulut Papa kepada Mama, Adiva menggeser kakinya, dan berdiri di samping kamar Papa dan Mama. Agar Papa dan Mama tidak mengetahui bahwa dirinya ada di sana.

Kamu masih menanyakan kenapa aku begini, Mas? kata Mama balik bertanya.

Ma, tolonglah, berdamailah sedikit kepada Adiva. Bagaimanapun dia anak kita juga!

Ingat ya, Mas! Dia hanya anak kamu! A-N-A-K K-A-M-U! Bukan anakku! jawab Mama begitu tegas juga dengan nada sedikit lebih tinggi. Sehingga Adiva dapat dengan jelas mendengarnya.

Adiva tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia seperti mendengar gelegar petir di tengah hari yang terik. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Hatinya sakit. Sakit luar biasa saat mendengar Mama berkata seperti itu. Segala pertanyaan tentang siapa ia sebenarnya di keluarga ini mulai menari-nari di dalam isi kepalanya. Ia ingin beranjak, namun kakinya seolah tak mampu menopang dirinya. Ia terduduk lemas di samping kamar Papa dan Mama. Ia masih meyakinkan diri bahwa apa yang telah didengarnya sungguh nyata.

Ma! Berapa kali lagi aku harus minta ke kamu untuk berhenti berpikir seperti itu, dan menerima Adiva sebagai anakmu juga?? suara Papa terdengar sedikit meninggi di telinga Adiva. Membalas ucapan Mama.

Berapa kali juga aku harus mengingatkan kamu, Mas? Jangan pernah memaksaku untuk seperti yang kamu mau!! Kamu boleh meminta apapun dari aku, tapi enggak dengan satu hal itu!

Tapi Adiva hanya anak-anak, Ma. Dia tidak mengerti apa-apa. Tolong jangan bebankan dia dengan masa lalu itu. Semua itu kesalahan aku. Murni kesalahan aku. Bukan salah Adiva. Jadi salah besar jika kamu terus menerus membenci Adiva.

Pikiran Adiva semakin berkecamuk. Masa lalu? Ada apa dengan masa lalu Papa? Apa hubungannya denganku? Adiva kembali membatin. Dengan segenap keberanian dan kekuatan hati yang ia kumpulkan, ia memutuskan untuk masuk ke kamar Papa. Ia ingin meminta kejelasan atas semua yang telah ia dengar. Ia pun ingin semua tanya yang menari-nari dalam benaknya hari ini berhenti karena telah menemukan jawabannya. Walaupun jawabannya akan sangat menyakitkan. Tapi Adiva ingin mengetahui kebenarannya.

Pa, Ma. Boleh Adiva masuk? tanya Adiva sambil membuka pintu kamar Papa sedikit lebih lebar. Papa dan Mama terkejut bukan main saat tiba-tiba melihat Adiva sudah berada di depan kamarnya.

Mau apa kamu? tanya Mama dengan nada ketusnya. Seperti biasa.

Tanpa menunggu jawaban dari kedua orangtuanya, Adiva melangkah masuk ke dalam kamar. Terlihat Mama yang bangun dari duduknya dan siap meninggalkan kamar.

Maaf, Ma. Untuk kali ini, Adiva mohon tetaplah di sini. Diva mau Mama juga ada di sini. Kata Adiva mencoba menahan langkah Mama. Papa pun mencoba menahan Mama dengan memberikan isyarat untuk duduk kembali di samping Papa.

Ada apa, Diva? Sepertinya agak serius? tanya Papa kemudian.

Adiva menghela napas. Suaranya seolah tertahan di tenggorokan saat ia ingin bertanya banyak hal kepada kedua orangtuanya.

Mau ngomong apaan sih? Cepetan lah! Buang-buang waktu aja! kata Mama yang tidak sabar menunggu.

Maaf sebelumnya jika Diva kurang sopan sama Papa dan Mama. Enggak sengaja tadi Diva dengar pembicaraan Mama dan Papa. Adiva terdiam. Ia menghela napas berat. Mengatur segala emosi yang bergejolak dalam hatinya agar ia tetap terlihat tenang di depan Papa dan Mama.

Papa dan Mama pun terdiam. Mereka terkejut dengan apa yang baru saja Adiva katakan.

Adiva hanya ingin memastikan, apakah yang dikatakan Mama itu benar? tanya Adiva sambil menatap Mama yang berada di hadapannya.

Mama menghindari tatapan Adiva. Bersikap seolah tidak mendengar pertanyaan Adiva.

Ma, Diva mohon, jawab pertanyaan Diva. Kata Adiva sambil menyentuh tangan sang Mama. Namun Mama segera menepisnya.

Biar Papa yang jawab pertanyaan kamu. kata Papa mengambil alih keadaan.

Aku mohon Pa, ceritakan semua tentang siapa aku sebenarnya di keluarga ini. Pinta Adiva sambil menahan tetes air matanya.

Papa menghelas napas berat. Jika memang ini harus terungkap, semoga Adiva tidak membenciku setelah ini. Bisik hati Papa. Adiva menatap Papa. Menunggu dengan hati yang sangat berdebar. Menanti segala pertanyaannya segera terjawab.

---------

Bersambung.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Sip Lanjutkan Salam literasi

16 Jan
Balas

Seruuuu.... Ditunggu kelanjutannya bu

16 Jan
Balas



search

New Post