Wahyu Barokah

Lahir di Cilacap, pada 1 September 1991 Seorang pendidik salah satu SMP di Jakarta Timur. Instagram @webe_1991...

Selengkapnya
Navigasi Web
Dilemaku (bukan) Dilemamu Bagian 3

Dilemaku (bukan) Dilemamu Bagian 3

Bagian #3

          Aku mencium aroma yang khas banget. Kayanya sih ini kas UKS banget. Ya aku merasa mencium aroma minyak kayu putih menyengat sekali di hidungku. Perlahan aku membuka mata. Aku melihat lampu dan sudut plapon sebuah ruangan.

          “Kok di ruang UKS”, batinku.

          Ternyata saat aku berhalusinasi aku pingsan. Mungkin. Aku berusaha bangun dan duduk di tempat tidur. Ada suara perempuan, tapi aku juga tak tahu betul itu suara siapa. Tapi di antara kedua suara itu aku kenal betul suara khas bu Nur, wali kelasku. Wali kelasku memiliki suara khas Jawa Timur jadi khas banget.

          “Kamu tahu rumah Sherly? Dari pertigaan pangkalan ojek masuknya jauh tidak?” tanya bu Nur ke seorang perempuan. Aku rasa sih perempuan itu Rara.

          “Saya belum pernah main ke rumah Sherly bu, selama ini kita seringnya di rumah Nuri kalo main”, perempuan itu menjawab pelan.

          Tak salah lagi pasti itu Rara. Aku mencoba turun dari tempat tidur, karena lumayan tinggi dan sedikit bunyi akhirnya bu Nur dan Rara mengetahui jika aku sudah siuman. Mereka menghampiriku dan mencoba untuk ajak ngobrol sambil memberikan aku segelas teh manis.

          “Kamu sudah makan atau belum Sher? Kalo belum biar Rara membelikan makanan ke kantin belakang, atau kamu bawa bekal? Kalo kamu bawa nanti saya minta Rara ambilkan di tas kamu”, bu Nur bertanya kepadaku.

          Aku hanya mengangguk dan memjamkan mata sebagai tanda bahwa aku sudah sarapan. Aku bingung mau bicara apa sama mereka. Rara hanya berdiri di samping tempat tidur, sambil sesekali menjawab pertanyaan bu Nur. Aku melihat raut kebingungan di wajah bu Nur.

          Setelah berbicara beberapa hal dan memastikan aku sudah membaik Rara diizinkan untuk masuk kelas dan mengikuti belajar seperti biasa. Tinggallah aku dan bu Nur di ruang UKS. Nampaknya bu Nur tahu aku ingin berbicaraprivasi dengan beliau. Walaupun galak, judes, tapi beliau sama seperti ibu-ibu yang lain bisa mengkondisikan hati.

          Aku pun bercerita banyak hal tentang Nuri dan Suci. Beliau menyimak dengan sangat serius. Mungkin beliau tahu perasaanku sebagai teman dekat, pikiranku kacau.

          “Aku ngerasa bersalah banget bu sama Nuri, aku gak tau bakalan kaya gini jadinya, “ aku tertunduk dan meneteskan air mata.

          Bagi orang lain yang gak sedekat kita mungkin biasa saja. Tapi kita bertiga sudah seperti keluarga, meskipun aku beda kepercayaan. Kita tidak memandang agama, tapi kita bisa menjadi teman, sahabat, keluaga, kakak, dan adik yang selalu saling mengingatkan. Nuri jago matiematika, aku sering diajarin sampe bener-bener bisa. Suci pinter bahasa Inggris, akupun bisa sedikit-sedikit bahasa Inggris karena ketekunan Suci. Tapi kini sudah gak ada.

          Tak sadar bu Nur pun ikut meneteskan air mata. Aku rasanya pengin teriak sekuat tenaga. Oh Tuhan maafkan aku. Aku yang tak tahu diri. Setelah aku tenang, bu Nur pun menawarkan untuk mengantar aku pulang, tapi aku menolak. Dalam hati aku ingin menemui Nuri apapun yang terjadi. Aku gak mau untuk kedua kalinya sahabatku dalam masa terpuruk merasakannya sendiri. Bu Nur mengatakan Nuri sampai sekarang masih di ICU dan belum sadar. Aku pikir setelah ini aku harus menelpon Tante Mira tanpa sepengetahuan bu Nur.

          Aku harus meyakinkan bu Nur kalo aku sudah stabil dan baik-baik saja. Tapi iku minta untuk pulang dan berisitirahat. Semoga beliau mengizinkan. Tanpa basa-basi aku langsung mengungkapkan keinginan aku ke bu Nur untuk izin pulang sendiri.

          “Kamu kan naik angkot Sher. Ibu gak mau disalahkan jika terjadi sesuatu dengan kamu,” keluh bu Nur dengan serius.

          Setelah bebrapa saat akhirnya bu Nur bisa yakin dengan aku. Beliau akhirnya minta tolong ke Rara untuk membereskan barang-barangku. Kemudian Rara membawanya ke ruang UKS. Tak lupa aku juga minta tolong ke Rara untuk memberi kabar jika ada tugas dari guru via wa. Sebagai tanda terima kasihku, cemilan yang belum aku buka sama sekali, satu kantong aku berikan ke Rara. Awalnya Rara tidak mau menerima, tapi setelah aku paksa akhirnya mau menerima, dan kembali ke kelas. Aku pun beranjak ke luar gerbang setelah mendapatkan surat izin bertanda tangan guru piket dan wali kelas.

          Langkahku sedikit terburu-buru. Dalam hati, sebelum naik angkot aku harus menghubungi tante Mira, minta info Nuri dan di rawat di mana. Setelah aku mendapatkan info pasti dari tante Mira aku langsung bergeas ke rumah sakit Nuri dirawat. Di sepanjang perjalanan aku hanya melihat ke arah jendela dan tanpa sepatah kata pun. Kebetulan angkot yang aku tumpangi sepi, hanya dua penumpang itu pun termasuk aku.

          Aku turun pas di depan pintu masuk rumah sakit. Kebetulan Rumah Sakit Keluarga strategis, jadi gampang dijangkau. aku langsung mengarah ke meja iformasi dan menanyakan keluarga Om Yono. Kebetulan sekali Om Yono tenaga medis di rumah sakit itu, jadi akses untuk masuk lebih mudah.

          “Sherly, kamu kenapa di sini?” tanya seorang perempuan yang tiba-tiba memanggilku dari samping.

          Ternyata tante Mira. Kebetulan aku mau nmenuju ke lantai 3 dan bertemu dengan tante Mira, kemudian mengajakku untuk duduk di kursi sebuah lorong. Di tangannya ada selembaran, hatiku berkata itu resep dokter yang harus dibelikan obat untuk Nuri.

          “Maafin aku Tan, aku gak tahu bakalan kaya gini”, tangisku pecah disusul pelukan tante Mira.

          “Sudah, sudah, ini sudah jalan Allah. Kita harus jalani”, timpal tente Mira sembari menenangkanku.

          Kita mengobrol cukup lama. Tante Mira menceritakan kronologi kenapa Nuri bisa ngedrop dan tidak sadarkan diri. Dia menjelaskan kondisi Nuri setelah pulang sekolah, sejak aku telepon tante Mira mengurung diri di kamar sampai malam. Secara tidak sengaja, Nuri keluar kamar dalam keadaan panik karena telepon dan menghubungi aku tidak ada respon. Namun, saat itu tante Mira dan om Yono sedang membicarakan Nuri dan Suci, nahwa mereka anak kembar dan Suci pagi tadi meninggal dunia. Dalam keadaan menangis lirih, ternyata Nuri mendengar dan langsung tidak sadarkan diri sampai sekarang.

          “Tante, Sherly boleh gak ketemu Nuri sebentar saja, aku pengin minta maaf,” kataku sambil memgang tangan tante Mira.

          “Sebenarnya Nuri tidak bisa ditemui oleh siapa-siapa, maafkan tante ya Sher”, jawabnya ragu-ragu.

          Entah kenapa aku sedikit memaksa, akhirnya tante Mira menelpon suaminya, om Yono, dan aku diperbolehkan bertemu tapi paling lama 20 menit saja. Akupun mengiayakan. Puji Tuhan, terima kasih. Akupun diajak tante Mira untuk ke apotik terlebih dahulu, karena siang ini Nuri harus minum obat. Kebetulan obat-obatan yang diperlukan Nuri tersedia di rumah sakit.

Tak berapa lama kamupun menuju lantai 3 dengan hati yang masih merasa bersalah. Aku terus mengikuti langkah tante Mira. Sampai tiba di sebuah ruangan, tante Mira menunjuk ke sebuah jendela, dan di sana terlihat Nuri terbaring, terpejam, dengan dibantu banyak alak bantu.

Aku hanya bisa memandang melalui jendela, “Ya Tuhan ini semua gara-gara aku, andai saja aku angkat telepon Nuri, mungkin dia gak akan kaya gini”, air mataku tak tertahan membasahi pipi. Tante mira memeluk, “Sudah, sudah, kamu jangan nagis, kamu harus tegar. Lihat om Yono, dia tegar melihat Nuri,” sambil membalikkan badanku ke arah omYono.

“Yah, ini Sherly teman dekatnya Nuri dan Suci, anak kita,” ucap tante Mira.

Aku tersenyum, lalu menyium tangan om Yono. “Om, aku pengin biacara dengan Nuri, aku pengin minta maaf, boleh ya?” tanyaku.

Om Yono tampak bigung, karena sesuai ketentuan tidak boleh. Om Yono lama diam tanpa sepatah katapun. Spontan tante Nuri menarik tangan om Yono untuk berbicara agak jauh denganku. Aku juga tak tahu persis apa yang mereka biacarakan. Harapanku sih, aku diiinkan, dan om Yono bisa membantuku.

“Sherly, ayok masuk, tapi hanya sebentar ya, doakan yang terbaik untuk Nuri”, ucap on Yono setelah berbicara dengan tante Mira, kemudian menghampiriku.

Terima kasih Tuhan, engkau telah meberikan kesempatan ini. Akupun harus melengkapai diri dengan ketentuan rumah sakit dan standar kesehatan. Aku langsung mengarah ke tempat tidur Nuri. Dia terpejam, hanya ada suara alat detak jantung yang terdengar. Air mataku lagi-lagi mengalir di pipi. Aku hanya bisa memeluk dan memegang tangan nuri.

“Nuri, ini aku Sherly. Kamu masih mau berteman denganku kan? Kamu mau maafin aku kan? Aku tahu aku salah, mendiamkan kamu semalam, tapi aku gak bermaksud mendiamkan kamu” aku mecoba membisikkan di dekat telinganya.

Aku melihat wajah Nuri pucat, bahkan memucat. Tapi matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama air matanya mengalir. Aku gak tau apakah Nuri memang mendengarku atau hanya halusinasi. Aku harap sih Nuri mendengarnya. Tak lama terlihat napas Nuri sesak dan tak beraturan. Kebetuan aku di dampingi tante Mira, spontan tante Mira memanggil dokter. Akupun dipersilakan keluar saat Nuri seperti itu.

Aku terduduk lemas di samping pintu ruang ICU. Aku hanya bisa menangis. Aku gak tau gimana rasanya jadi Nuri. Aku terdududk lama sekali di lorong itu. Sesekali aku lihat tante Mira mondar-mandir di depan pintu ICU. Aku tak bisa membayangkan bagamaina perasaan mereka.sedangkan om Yono aku rasa di dalam ruang itu. Selang beberapa saat, aku mendengar tangis tante Mira pecah dipelukan on Yono.

Sontak aku terbangun dari dudukku, dan berdiri menghampiri mereka. Tapi saat itu aku belu berani bertanya, karena tante Mira terus menangis, dan histeris. Dalam hati apa yang terjadi dengan Nuri? Adakah hal buruk yang menimpanya?

“Sabar, mah ini ujian buat keluarga kita, kita harus ikhlas,” ucap om Yono.

Tanpa pikir panjang aku melangkahkan kaki masuk ke ruang ICU. Air mataku terus mengalir deras. Di dalam aku melihat dokter melepas satu persatu alat bantu yang tadinya terpasang di tubuh Nuri. Tubuh Nuri pun sudah tertutup kain putih.

“Nuri selamat jalan,” ucapku lirih.

Penyesalan memang selalu datang diakhir. Hingga akhirnya aku harus meyakinkan diriku sendiri, ini jalan yang sudah digariskan Tuhan. Segetir apapun sebuah keputusan memang tidak selamanya membahagiakan. Ada kalanya membuat kita menangis dan terus menyalahkan diri kita. Mereka sudah ditakdirkan lahir bersma, hidup bersama dan pegi pun bersama. Aku sebagai sahabat hanya bisa menuliskan kisa kita di sebuah kertas dengan goresan penyesalan yang tiada akhir. Akan ku kenang setiap tawa dan tangis kita bersama.

Selamat Jalan Nuri dan Suci aku hanya bisa mendoakan kalian, semoga kalian tersenyum di surga.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

dilemanya dong..hehe

23 May
Balas

Mantap ..

26 May
Balas

Ckckck

23 May
Balas



search

New Post