Wahyu Barokah

Lahir di Cilacap, pada 1 September 1991 Seorang pendidik salah satu SMP di Jakarta Timur. Instagram @webe_1991...

Selengkapnya
Navigasi Web

Dilemaku (bukan) Dilemamu Bagian 1

Oleh: Wahyu Barokah

Bagian #1

Kumandang azan subuh sayup-sayup terdengar. Tapi dil uar terdengar rintihan genteng basah karena dihujani semalaman. Mataku masih sulit terbuka, dalam hati sih ingin sekali bangun, mandi, salat subuh. Apalah daya rasanya berat sekali. Aku saja tidak ingat pasti semalam bisa terlelap di jam berapa padahal aku sudah bergegas ke kamar dan matikan lampu sejak jam 22.00 malam.

“Nur, Nurii, bangun!” sontak tubuhku serasa dilempar nyawa yang tadinya susah untuk masuk.

“Hari ini bukanya kamu masuk sekolah?” tanya mama sambil menyalakan lampu kamur, disusul dengan tarikan selimut.

Aku hanya menganggkuk dan setengah memjamkan mata. Lantas aku gerakkan sedikit kearah selatan di mana jam dindingku terpasang.

“Duh, udah jam 04.38 aja”, gumamku dalam hati.

Aku bergegas bangun dan segera ambil handuk kemudian mandi. Hari ini hari pertamaku masuk sekolah setelah liburan akhir semester ganjil. Seperti biasa aku harus berangkat sekolah bersama ayah dan adikku Rio. Rio dan aku memang selalu di antar ayah berangkat sekolah meskipun kita beda sekolah. Pernah suatu saat aku terlambat gara-gara adikku susah dibangunin. Yah itu sih sudah biasa. Hanya saja pada saat itu aku harus menerima sebuah kejadian, sial malahan.

Karena susah dibangunin akhirnya aku harus naik ojek online. Tapi seteah pesan melalui aplikasi dan kutunggu sekitar 20 menitan, abang ojeknya tak kunjung datang. Akhirnya, mamah berniatan antar aku pakai motor, karena pasti jalanan macet. Dan benar saja baru keluar rumah saja bunyi klakson mobil dan motor udah bersautan bagaikan burung di Kebun Binatang Ragunan. Ya salaam.

Singkatnya aku harus berusuran dengan guru BK. Adem sih ruangannya, tapi setiap anak yang masuk ke ruang BK meskipun suhunya 16 derajat celcius tetap saja pas keluar ruangan pasti keringat dingin bercucuran. Aku harus menerima konsekuensi perjanjian dengan wali kelas, Ibu Rosida, dan Pak Suryono, guru BK. Intinya, sih sekali lagi terlambat aku harus berkemas dari sekolah itu.

Wajar saja, sekolahku terhitung favorit. Jadi peraturannya pun gak main-main. Siang itu aku langsung dijemput ayah karena aku disuruh belajar di rumah 3 hari, alias scorsing. Padahal aku aku sudah kelas 7 semester 2 pada saat itu. Kenaikan ke kelas 8 bisa jadi hal yang sulit. Sejak saat itu lah aku harus belajar naik angkot, bila sewaktu-waktu adikku terlambat bangun atau mama tidak bisa antar ke sekolah.

***

“Itu jilbabnya dibenerin, pakai jilbab itu jangan sampai keliatan rambutnya”, cetus mamah sambil menyiapkan sarapan buat adikku.

Spontan aku pegang hape dan menfaktifkan fitur kamera depan, dan benar saja jilbabku berantakan. Sambil ngelirik jam dinding di ruang sebelah aku berusaha benerin posisi jilbabku.

“Ayah, kayanya Nuri pulang lebih awal deh, biasanya kan gitu kalo awal masuk sekolah”, gumamku sambil masih berkutik benerin jilbab.

“Naik angkot saja kak, udah gede masih manja aja,” sahut Rio dengan mimik ngeledek.

“Yaa kali aja mama mau jemput sekalian jemput kamu dek”, sahutku lirih, kali ini sambil gigit roti.

“Liat nanti saja Kak, biasanya juga kamu kabarin mama, kalo keburu ya mama jemput, kalo enggak ya naik angkot. Kan kamu udah biasa naik angkot”, jawab mamah.

Ya seperti itu lah kondisi keluargaku setiap paginya. Sementara ayahku bisanya udah siap-siap manasin mobil karena ayahku juga sekalian berangkat ke kantor. Perjalanan dari rumah ke sekolah sebenarnya tidak terlalu jauh tapi biasanya di awal masuk seperti ini banyak orang tidak sabaran atau bahkan banyak yang kesiangan.

Tapi syukurlah lalu lintas di luar dugaanku, lancar, dan sudah sampai di sekolah adikku lebih awal. Adikku, Rio, masih duduk di abngku SD kelas 5 sedangkan aku sudah di SMP kelas 8, itu artinya tahun depan aku kelas 9. Banyak hal yang mesti aku siapkan untuk menghadapi UNBK di kelas 9. Targetku masuk SMA Negeri dan jurusan IPA, aku gak mau IPS. Meskipun nilai IPA ku juga gak bagus-bagus amat. Aku rasa masih ada waktu untuk memperbaiki.

“Semangat kak!”, ucap ayah sembari mengangkat tangan, dan berlalu.

Di depan gerbang sudah berjejer bapak dan ibu guru, dari yang kiler sampai yang asik. Pagi itu sekolah masih terbilang sepi, udara lumayan dingin kerena Jakarta semalaman diguyur hujan. Sayup-sayup lagu wajib nasional terdengar dari sudut gedung sekolahku.

Aku melangkah menuju anak tangga di ujung teras, dekat dengah ruang UKS, di sebelahnya lagi ruang BK. Pas di depan ruang BK ada bangku yang biasanya digunakan untuk duduk anak-anak yang bermasalah dengan guru BK. Langkah kakiku terhenti pas di samping bangku itu. Lalu aku duduk sebentar sambil mengalihkan pandanganku ke barisan guru di pintu gerbang.

“Tumben banget Suci belum dateng, biasanya pas aku mau naik tangga dia teriak kenceng banget dari arah gerbang. Apa aku kepagian ya?”, gumamku dalam hati, sambil melihat jam tangan di lengan kananku. Jamku menunjukkan pukul 05.57.

Di sebarang aku duduk ada juga tangga menuju lantai atas, tapi aku lebih sering lewat tangga di sebelah ruang BK karena kelasku lebih cepat dijangkau melalui tangga itu. Lima menit berlalu, Suci tak kunjung datang. Tak biasanya Suci terlambat. Bahkan kalau diingat-ingat semenjak kelas 7 dia tak pernah terlambat.

Suci merupakan teman dekatku sejak kelas 7 dulu, dan kebetulan kita di kelas 8 satu kelas. Jadi sudah 2 tahun aku dan Suci sudah bersama. Dari susah, sedih, bahagia kita bareng-bareng.

Aku ingat betul saat aku dan Suci pertama kali dekat. Waktu itu hari pertama masuk dia adalah teman pertamaku, sampai kelompok MPLS pun kita bareng. Suatu hari, pas masih MPLS aku lupa bawa barang-barang yang seharusnya dibawa di hari itu. Saat itulah aku deket dengan Suci, karena dia rela mohon-mohon sama mamanya untuk kembali ke rumah dan mengambil barang yang sama karena aku lupa bawa. Suci ingat kalau dia membeli karton dua, sedangkan aku lupa, dan akhirnya mamanya pulang kerumah untuk ambil karton. Bisa dibayangkan, kalau tidak ada dia aku bakalan dihukum sama seniorku. Semenjak itulah, dimana ada Suci di situ pasti ada aku.

Setelah sepuluh menit aku duduk dan terbengong, hanya melihat ke sudut langit dan kusen-kusen ruang BK aku memutuskan meniaki anak tangga. Langkah-demi langkah aku naik tapi Suci tak kunjung datang. Tapi begitu aku sampai kelas, aku meletakkan tasku dan bekalku di laci meja yang biasa aku duduk ternyata di sana sudah ada sekitar tujuh temanku sedanga asyik ngobrol.

“Assalamualaikum”, ucapku.

“Waalaikumsalam”, jawab teman-teman kompak.

“Nuri, selamat pagiiiii”, celetuk Adi spontan sambil tersemyum ke arahku.

“Pagii Di”, jawabku pelan.

Aku duduk meja barisan depan. Mereka melanjutkan mengobrol dan sesekali tertawa kecil. Entah apa yang mereka bicarakan. Biasalah mereka memang sering ngobrol di saat pagi hari. Kurang lebih sekitar 2 menit aku duduk datang Sherly dengan tas rangselnya yang super besar. Biasanya dia selalu membawa cemilan untuk dibagikan ke teman-teman saat istirahat nanti. Sherly sebenarnya dekat dengan aku dan Suci, hanya saja dia agak sedikit tomboy dan sering berganung dengan anak laki-laki.

“Suci mana Sher? Kok tumben ya di belum dateng, padahal udah mau upacara. Gak biasanya lho dia terlambat”, tanyaku ke Sherly sambil mengambil topi dan bersiap-siap ke lapangan untuk berbaris.

“Wahh iya ya, dia kan gak pernah telat. Mungkin sebentar lagi,” jawab Sherly sambil melangkahkan kaki ke arahku, kemudian kita ke lapangan bersama.

Sampai upacara selesai aku dan Sherly celingukan mencari keberadaan Suci namun tak terlihat batang hidungnya. Aku tidak terlalu memikirkan. Dan kujalani hari pertamaku di semseter 2 hanya dengn Sherly. Di kelas kami memang cenderung bergerombol, hanya sesekali mengobrol itu pun jika ada sesuatu yang penting. Jika tidak paling ya berkaitan dengan tugas kelompok itu pun kalau satu kelompok dengan yang lain. Biasanya kami sekelompok bertiga.

Tak lupa aku matikan koneksi hpku saat kegiatan belajar dimulai, walapun aku rasa hari ini belum begitu efektif, ya paling hanya beberapa guru saja yang memebrikan materi, sisanya pasti masih terbawa suasana nyaman liburan. Benar saja, sampai kita pulang sekolah hanya matematika saja yang gurunya memberikan materi. Sisanya hanya ngobrol santai tentang liburan kita.

Ternyata Suci tidak ada kabar, wali kelasku pun menanyakan kepada teman-teman sekalas siapa tau ada yang tau kabarnya. Ternya semuanya malah saling memandang, itu artinya tidak ada yang tau tentang Suci hari ini kenapa tidak masuk.

Tepat dugaanku, hari pertama sekolah hanya setenagah hari saja, alias pulang lebih awal. Aku raih hapeku, lalu aku aktifkan koneksi, berharap ada kabar dari dari Suci. Ternyata tidak ada. Sherly masih mengemas barang-barangnya dan beberapa cemilan yang masih tersisa. Sambil menghubungi mamah, aku duduk di bangku sebelah Sherly. Mamah menyuruhku naik angkot. Kebetulan Sherly satu arah denganku dan angkotnya pun sama.

“Sher, kamu langsung pulang kan? Kita pulang bareng ya,” ucapku membuka pembicaraan.

“Oh siaap. Tumben kamu mau pulang bareng? Biasanya kan kamu dijemput? Tanya Sherly sambil meraih penghapus papan tulis kemudian menghapusnya.

“Mamah lagi sibuk kali, aku udah wa kok. Lagian masih siang kita santai saja lah pulangnya,” jawabku sembari merapikan jilbabku.

Setelah semuanya beres, aku dan Sherly keluar kelas. Ternyata di bawah masih rame. Ada yang sedang duduk-duduk di selasar, teras, lorog-lorong. Ada juga yang sedang menunggu ojek online. Kita turun tangga sambil sesekali menyatap sisa cemilan Sherly. Akhirnya kita sepakat duduk-duduk dulu di bangku dekat taman. Lokasinya nyaman. Kebetulan tidak ada anak-anak yang duduk.

“Gue beli minuman dulu ya Ri, elu mau seklaian ga? Tanya Sherly.

“Wah boleh-boleh, aku nitip air mineral ya!”, jawabku agak sedikit berteriak karena Sherly udah ngibrit ke arah kantin.

“Aku tunggu di taman ya!!!” teriakku.

Sherly memberikan jempolnya sebagai tanda setuju. Aku duduk menghadap ke arah pintu gerbang. Dalam hati aku berharap ada info tentang sahabatku Suci. Siapa tau ada keluarganya atau kerabatnya yang memberikan info ke sekolah. Sambil memainkan instagram, sesekali mengambil foto ke arah segerombolan anak-anak yang asyik berbincang.

Tak lama Sherly datang dengan dua kantong kresek berisi makanan dan miuman. Untung saja hari ini aku sedang tidak puasa. Sherly memang terkenal dengan gaya biacaranya yang ceplas-ceplos dan selalu ngemil. Tapi anehnya badannya tetap saja cungkring. Tapi kalaupun aku puasa, aku memakluminya sih karena Sherly nonmuslim.

“Suci kok gak ada kabar ya? Padahal aku kangen banget lho, pengin cerita-cerita sama kamu dan dia. Eh malah hari ini dia gak masuk,” celetuk Sherly sambil duduk kemudian membuka seluruh isi kantong kresek yang ia dapat dari kantin.

Aku hanya meraih air mineral, sesekali ambil makanan di tangan Sherly. Kita bertiga memang sudah biasa makan bareng, dan malah tak malu-malu untuk makan bertiga.

“Iya Sher. Kok aku jadi khawatir ya. Atau hanya pikiranku saja. Gak biasanya lho Suci bolos begini, jawabku sambil memainkan hp.

“Gue chat aja malah ceklis satu Ri. Apa mungkin dia masih liburan di luar kota? Ah gak mungkin. Keluarga dia kan sederhana banget, udah gitu super duper disiplin”, nuri nyerocos sambil makan Chuba.

“Mungkin gak sih kalau dia sakit?” tanyaku sambil membuka snak yang dari tadi tergeletak di sampingku.

“Ya mungkin saja Ri, namanya manusia. Tapi kan seharusnya kasih kabar, emangnya ini sekolah punya bapaknya apa,” logat betawinya keluar.

“Huss, jangan keras-keras nanti bu Rahma denger, berabe urusannya yang ada kita diintrogsi di ruang BK,” sautku sambil menarik ujung baju Sherly.

“Iya ya maap. Gini aja deh. Rumah Suci kan gue lewatin pas pulang, nanti mampir aja deh. Pokoknya langsung wa elu”, celetuk Sherly sambil mengeluarkan permen berbentuk kaki.

Sherly memang setiap harinya pulang bareng sama Suci karena rumah mereka satu arah. Angkotnyapun sama. Hanya saja Sherly rumahnya paling jauh diantara kita. Padahal dia itu bukan keturuan betawi, entah kenapa fasih banget kalo berbicara dengan dialek betawi.

Sekolah sudah mulai sepi. Kita sepakat pulang bareng dan tak lupa membuang sampah sekalian jalan keluar gerbang. Jalan raya dari pintu gerbang sekolah tidak terlalu jauh. Sekitar 50 meteran, dan biasanya banyak angkot yang netem di ujung jalan sana. Sembari jalan kita berdua masih bahas tentang liburan kita, padahal gak kemana-mana dan sering ketemu. Liburan semester ini keluargaku tidak ada acara kemana-mana, lebih banyak dihabiskan di rumah saja.

Sesampainya di rumah aku langsung ke kamar dan bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudlu. Aku sholat dzhur kemudian makan siang, walaupun belum begitu lapar. Tapi harus makan, daripada mamah nyemaperin ke kamar dengan suara khasnya. Saat sedang makan, terdengar suara hpku berbunyi. Aku paham itu suara telepon. Entah siapa yang telpon.

“Dek kakak minta tolong ambilin hape!” teriaku, kebetulan Rio sedang di kamar aku.

Pas aku lihat hape ada 3 panggilan tak terjawab, ternyata Sherly. Perasaan baru sekali aku denger ada telepon, kok udah tiga kali. Aku tunggu siapa tau Sherly memanggil lagi sembari memnghabiskan makanan di piring. Segera aku habiskan nasi lalu kucuci piring di dapur. Aku setengah berlari meraih hpku di meja makan. Dengan perasan penasaran dan campur aduk aku mencoba memanggil balik Sherly. Tapi aku panggil melalui aplikasi whatsaap ternyata hanya memanggil, artinya tidak terhubung.

Sampai kelima kalinya tidak juga terhubung. Aku makin penasaran. Ada apa dengan Sherly. Tidak mungkin memanggil jika tidak penting, biasanya hanya melalui chat. Akhirya aku memanggil menggunakan panggilan seluler. Ternyata sama saja, nomornya tidak aktif.

“Sher, Sher, ayo dong aktifin hapenya, “ gumamku dalam hati.

Aku makin gak tenang. Padahal tadi kita seangkot bareng. Rumah Sherly masih ditempuh sekitar 30 menitan dari titik aku turun. Seharusnya dia sudah sampai rumah. Kalaupun dia mampir ke rumah Suci seharusnya juga sudah sampai rumah. Berapa lama sih di rumah Suci? Masa iya 2 jam di sana. Aku chat berulang-ulang juga hanya ceklis satu (belum terkirim).

Setelah kucoba berulang kali, akhirnya tersambung juga dengan Sherly, tapi lama tidak diangkat-angkat. Panggilan selanjutnya, terhubung lalu putus. Artinya hapenya mungkin mati pas aku telepon. Atau mungkin sengaja dia matiin.

Sherly memanggil...

“Halo Sher, Sher...” ucapku sembari meletakkan hpku di kuping sebelah kanan.

“Iya Ri, halo!!”, jawab Sherly dengan suara sedikit parau.

Tut tut tut tut...(panggilan menunggu).

Bersambung....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post