MANCING (328)
MANCING
Saya nurut saja ketika saudara mengajak jalan-jalan mengunjungi salah satu tempat wisata yang ada di daerah Koya. Kira-kira tiga puluh kilometer dari tempat tinggal saya, Kota Sentani.
Koya dikenal sebagai tempat wisata mancing sekaligus pusat budidaya ikan air tawar. Daerah ini banyak dipenuhi kolam-kolam besar yang dihuni berbagai jenis ikan. Nila dan mujair menjadi ikan yang banyak dikembangkan masyarakat. Bagi penggiat mancing mania, Koya menjadi salah satu destinasi favorit para pemacing.
Empat dekade lalu, Koya hanyalah hutan belantara, sebagaimana layaknya hutan di Papua. Namun, sejak kedatangan para transmigran, terutama dari Pulau Jawa, Koya berkembang pesat. Transmigrasi telah banyak mengubah wajah tanah Papua. Dari hutan belantara menjadi sebuah pemukiman baru. Dan kini hutan itu perlahan berubah menjadi kota yang kompetitif.
Letaknya yang relatif dekat dengan pusat kota, Koya sering dikunjungi lapisan warga dari berbagai wilayah, khususnya warga Jayapura. Koya menjadi ramai dengan hiruk pikuk berbagai pembangunan. Banyak developer yang menawarkan hunian rumah. Kabarnya pusat pemerintahan provinsi secara bertahap akan pindah ke Koya.
Lalu lintas mulai padat tatkala memasuki Kota Abepura dan sekitarnya. Kami melewati Jembatan Merah yang kini menjadi ikon baru Kota Jayapura. Jembatan yang panjangnya 1800 meter dan lebarnya 17 meter tersebut, menghubungkan Kota Jayapura dan Holtekamp.
Masyarakat menamakan jembatan ini dengan sebutan jembatan merah, karena sengaja dicat warna merah.
Saat kami tiba di tempat tujuan, Koya Resort, lahan parkir dipenuhi kendaraan. Pengunjung membludak. Karena selain tempat pemancingan, juga terdapat kolam renang, dilengkapi juga ruang meeting untuk perayaan acara-acara tertentu.
Konon, memancing menjadi salah satu terapi belajar kesabaran. Berjam-jam mematung menunggu umpan dimakan ikan.
Mungkin itu pula yang membuat saya kurang suka memancing. Ya, itu tadi karena kurang sabaran. Saya berprinsip, kalau ada yang mudah buat apa mencari yang sulit. Beli di pasar atau pedagang ikan keliling. Dimasak. Dimakan. Beres.
“Tapi memancing itu bukan masalah mendapatkan hasil, tetapi sensasi yang dirasakan saat terjadi tarik-menarik kail dengan ikan, ketika umpannya dimakan.” Nah, itu masalah lain.
Jayapura, 20 Desember 2020.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hehehe...ternyata sensasinya ada pada tarik menariknya ya. Asyiiiiik pastinya. Salam semangat.
Terima kasih, salam sukses
Asyiknya mengisi waktu dengan kegiatan yang bermanfaat.
Alhamdulillah. Salam sukses, Pak.