PRESTASI AKADEMIK BUKAN SEGALANYA
Dunia pendidikan kita masih menjadikan “prestasi akademik” sebagai emas berharga yang menjadi tujuan akhir utama dari setiap proses pembelajaran di sekolah. Para guru menjejali siswanya dengan muatan-muatan akademik yang diakhiri oleh tes-tes standar dengan harapan mereka dapat meraih prestasi akademik dengan “nilai” tertinggi. Nilai ini berupa angka-angka yang kemudian dijadikan hakim untuk menentukan keberhasilan dan kegagalan belajar siswa. Orang tua pun senang tak terkira saat nilai “sembilan” matematika, fisika, kimia dan biologi berderet menghiasi kolom raport sang anak, tetapi tidak demikian dengan nilai “enam” untuk pelajaran musik, kesenian dan olah raga. Pemerintah tidak mau kalah, olimpiade-olimpiade pun digelar sebagai media untuk mempertontonkan kehebatan-kehebatan siswa dengan prestasi akademiknya. Ujungnya, untuk meraih prestasi akademik ini, anak-anak dipaksa bergelut hidup mati dengan soal-soal Ujian Sekolah dan Ujian Nasional sebagai jembatan kelulusan.
Prestasi akademik memandang tujuan pendidikan semata-mata untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi kemampuan siswa meraih nilai tertinggi dan nilai standar dalam pelajaran sekolah, terutama pelajaran-pelajaran yang termasuk bagian inti kurikulum. Akibatnya, kita digiring untuk memiliki paradigma yang memisahkan antara pelajaran-pelajaran penting dan tidak penting. Pemisahan ini seolah menganak-emaskan pelajaran tertentu dan menganak-tirikan pelajaran yang lain.
Prestasi akademik cenderung pada kurikulum akademik yang ketat, seragam dan wajib bagi semua siswa. Ini menyiratkan bahwa persyaratan akademik dibuat lebih berat daripada sebelumnya. Situasi seperti ini menuntut para siswa untuk menerima pelajaran yang makin lama makin sulit, mendengarkan penjelasan guru lebih lama, belajar lebih keras, dan mengerjakan pekerjaan rumah lebih banyak daripada yang mereka alami sebelumnya. Semua ini diyakini sebagai cara belajar hebat untuk meningkatkan prestasi akademik. Dampak negatifnya, ini akan mendorong proses pembelajaran hanya untuk mempersiapkan menghadapi ujian.
Penelitian lembaga independen Fait Test (2004) yang dikutif Thomas Armstrong menyimpulkan bahwa mengajar demi persiapan ujian telah mempersempit kurikulum dan memaksa guru dan siswa berkonsentrasi pada usaha menghafal fakta-fakta tertentu. Jelas ini jauh dari lingkungan belajar yang membebaskan siswa untuk menggali konsep dan masalah baru dengan cara yang kreatif.
Pengutamaan prestasi akademik selalu bersifat membandingkan dengan penilaian “normatif”. Ini mengacu pada proses membandingkan kinerja akademik siswa dalam tes standar dengan siswa lain. Sebagai konsekuensinya, muncullah dikotomi siswa pintar-siswa bodoh, siswa cepat-siswa lambat dengan tingkat persaingan yang tajam di antara mereka. Biasanya, siswa pintar-cepat akan mendapat perlakuan khusus dan istimewa dari gurunya tetepi tidak demikian dengan siswa yang bodoh-lambat.
Jika kita merujuk pada perkembangan manusia seutuhnya, semestinya kita menggunakan penilaian “ipsatif” sebagai tolok ukurnya. Ipsatif berarti “dari diri”, dan dalam konteks penilaian pendidikan, berarti membandingkan kinerja siswa masa kini dengan kinerja sebelumnya dan bukan membandingkan dengan kinerja siswa yang lain. Sehingga kita bisa melihat kemajuan siswa secara alami. Hal ini memungkinkan siswa untuk bersaing dan berkompetisi dengan dirinya sendiri dari waktu ke waktu demi kemajuan yang lebih baik dari hari ke hari.
Pengutamaan prestasi akademik selalu bertujuan akhir dengan ranking dan nilai ujian. Siswa tidak diperkenankan naik kelas dan lulus sekolah jika mereka tidak bisa mempertahankan rata-rata nilai tertentu atau lulus tes ujian yang sangat sulit. Ranking kelas merupakan vonis sukses dan gagalnya siswa sekaligus menjadi harga mati yang menghakimi layak dan tidaknya siswa untuk naik kelas dengan melanjutkan pelajaran-pelajaran yang lebih sulit daripada sebelumnya. Tetapi dunia nyata berkata lain, begitu banyak orang-orang yang mengakhiri hidupnya dengan kegagalan, padahal mereka siswa-siswa “sukses” saat sekolah dulu. Sebaliknya, tidak sedikit orang-orang yang menjalani hidup dengan sukses dan kebahagiaan padahal mereka divonis gagal dan tidak lulus di masa sekolahnya. Ini seolah menjadi lampu kuning bagi dunia pendidikan bahwa pendidikan seharusnya menjadikan setiap siswa bersinar dengan potensi kecerdasannya masing-masing agar mereka siap menghadapi dunia nyata dengan segenap problematikanya.
Oleh karena itu, seharusnya kita menyadari bahwa pendidikan bukanlah semata-mata bertujuan untuk meraih prestasi akademik setinggi-tingginya dengan mengabaikan fitrah dan potensi kemanusiaan siswa. Pendidikan harus menjadi media petualangan siswa untuk menemukan hakikat diri, potensi kecerdasan, keunikan, minat dan bakatnya agar mereka siap dan berani menghadapi realitas hidup dengan segala problematikanya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
ini tulisan cerdas. Mantap!
Keren infonya Pak Usep. Terima kasih ya sudah berbagi.