Kami adalah tiga keluarga dengan status sama, yaitu sebagai pendatang di kampung tempat kami tinggal. Aku menyebutnya kampung Damai. Kesamaan status inilah yang akhirnya mempererat tali persaudaraan kami, bahkan serasa saudara sendiri. Dua keluarga tinggal bersebelahan, yaitu keluargaku dan keluarga Buk Sol. Sedangkan keluarga Buk Mut tinggal di seberang jalan, tepatnya di depan rumah Buk Sol.

Tinggal di kampung Damai benar-benar membuat hati kami damai. Sawah masih terbentang luas sejauh mata memandang, memanjakan indera penglihatan untuk menikmati aneka tanaman yang tumbuh. Apalagi saat musim panen padi tiba, keindahan panorama sawah semakin elok dengan hiasan kawanan burung yang terbang kian kemari, mengendap-endap hendak hinggap di tangkai padi, menunggu saat lengahnya petani, diiringi riuh suara penunggu sawah yang berusaha mengusirnya. Lahan pekarangan juga masih tersedia di sekitar rumah, cukup untuk tumbuh pepohonan yang dapat menyumbang ketersediaan oksigen bagi penghuni bumi. Suasana kekeluargaan pun masih sangat kental, sehingga memudahkan bagi para pendatang seperti kami untuk menyatu dan berbaur dengan penduduk pribumi.

Kehadiran pandemi Covid-19 yang tak diundang, sedikit banyak telah mengubah kebiasaan masyarakat dan membatasi gerak mereka. Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pandemi secara tidak langsung telah berhasil mengedukasi mereka akan pentingnya menjaga kesehatan, baik kesehatan lingkungan maupun kesehatan diri, serta mampu mengoptimalkan kreativitas untuk dapat survive di masa ini.

Di antara upaya kreatif yang kami bertiga lakukan adalah mengoleksi bunga-bunga yang sedang booming dan berusaha membudidayakannya. Tujuannya bukan untuk komersial, namun untuk estetika dan kemanusiaan. Siapa saja yang menginginkan akan kami bagi tanpa harus mengeluarkan rupiah. Hasilnya taman dan lingkungan nampak cantik, yang mendapatkan secara cuma-cuma juga happy.

Selain bunga untuk mempercantik taman, kami juga berusaha untuk menciptakan ketahanan pangan mandiri. Di antaranya dengan memanfaatkan pojok-pojok yang kosong, mengisinya dengan tanaman sayur-sayuran organik. Yang demikian tidak hanya untuk mengikuti trend hidup sehat, tapi juga karena dorongan untuk bisa menghasilkan sayuran guna memenuhi kebutuhan harian tanpa harus beli.

Sayuran organik yaitu sayuran yang tidak mengandung residu pestisida. Bahkan untuk pembudidayaannya tidak menggunakan bahan kimia apapun.

Pupuk yang kami gunakan berupa pupuk organik. Sayuran yang ditanam beraneka macam. Ada kangkung, bayam cabut, sawi, seledri dan bawang pre.

Media tanam yang kami gunakan adalah tanah yang diletakkan dalam polybag. Selain itu juga memanfaatkan bekas wadah nasi berkat. Dalam satu polibag atau wadah nasi bisa ditanam belasan biji kangkung, belasan biji bayam cabut, atau beberapa biji sawi. Jadi untuk menanam sayuran tidak membutuhkan lahan yang luas.

Selain budidaya bunga dan sayuran, juga menanam pohon kelor, pepaya, nangka, yang semuanya juga bisa dimanfaatkan untuk memasak sayur. Lagi-lagi prinsip berbagi kami terapkan di sini. Tidak hanya kami bertiga yang bisa memanfaatkan sayur tersebut, tetapi juga para tetangga atau saudara yang membutuhkan.

Alhamdulillah, berkebun ternyata menyenangkan, selain bisa memanfaatkan waktu luang juga bisa mengikuti proses tumbuh kembang tanaman. Prinsip berbagi juga indah, di samping bikin happy diri sendiri juga membuat happy orang lain dengan mudah.