tantangan sagusabu
SEKOLAH PILIHAN
Sekolah itu candu, masih pantaskah sekolah mengakui dirinya sebagai pemeran tunggal dalam mencerdaskan seseorang? “Setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru, setiap buku adalah ilmu.” (Roem Topatimasang)
Anak- anak yang bersekolah di SMP Islam Pandanwangi ini kebanyakan orangtuanya berpendidikan rendah dan bekerja tidak tetap bahkan serabutan.
Rata-rata orangtua mereka bukan lah pengidap kemiskinan budaya, karena mereka mau bekerja keras demi penghidupan.Tidak dipungkiri sekitar 50 persennya berasal dari kalangan menengah.Hanya sedikit saja yang mengidap miskin budaya, malas bekerja, merasa miskin terus dan minta dibantu selalu.
Ada cerita seorang siswa alumni sekolah SMPI Pandanwangi yang bisa masuk sekolah SMA Negeri Favorite Karena kepintarannya seperti kita tahu SMA Negeri terbuka buat siapa saja dari kalangan manapun. Tapi kenyataannya anak ini memilih untuk mengundurkan diri keluar dari sekolah tersebut karena tak punya laptop dimana ia harus menyesuaikan dengan pembelajaran di sekolah yang sudah serba digital dan paper less, namun ia tak mampu mengimbangi gaya hidup teman temannya, dan ini tidak bisa dihindari.
Memang benar sekolah unggulan banyak sekali bertebaran hampir di seluruh negeri ini,bagi yang punya anak berotak pintar tinggal cap cip cup memilih sekolah negeri favorit, bagi yang berduit banyak tinggal memilih sekolah bonafid swasta yang wah berlabel internasional lengkap dengan segala fasilitasnya. Berbanding terbalik dengan anak cerdas yang orangtuanya tidak mampu tapi berkesempatan bersekolah di sekolah unggulan negeri dia kemudian menjadi tidak pede dan minder berada di sekolah seperti ini, karena pada akhirnya sekolah unggulan itu meskipun negeri adalah sekolah favorite yang diminati oleh anak anak dari kalangan berada. Kalau anak orang berada itu rata-rata cerdas sih tak heran kan mereka dibekali fasilitas dan pendidikan yang oke, juga gizi makanan yang menunjang. Lain halnya dengan anak anak orang tak mampu yang memilliki kecerdasan tinggi, mereka itu limited edition loh, kecerdasannya rata-rata adalah karena gen tanpa intervensi lingkungan yang berlebihan. Ini dia nih yang harus dipelihara karena kecerdasannya benar benar murni belum dipoles.
Adalah Dita seorang anak yang sangat pendiam namun memiliki kecerdasan yang luar biasa. Ia selalu mendapat peringkat teratas di kelasnya tanpa les loh. Benar adanya perkataan Mutiara tetaplah Mutiara dimanapun dia berada.
Nay senang sekali hari itu si anak pendiam ini mendekati Nay yang sedang duduk di kantin. Nay sengaja duduk di kantin mengamati perilaku anak dan berusaha sok kenal sok dekat begitu karena kalau Nay hanya duduk di ruang BK saja susah baginya menjemput bola. “Bu hari ini ada waktu nggak? . “Wah pasti ada dong nak..” jawab Nay. “Saya mau ketemu ibu boleh ? tanya nya lagi penuh harap.”Wah boleh banget dengan senang hati.”jawab Nay sambil merengkuh pundak Dita dan mengajaknya jalan beriring menuju ruang BK.
Dita menunduk dengan pipi berlinangan air mata,“hiks.. hiks…” belum sampai pada ceritanya Dita sudah menangis duluan tersedu sedu tanpa kata.
Nay memberikannya secarik tissue yang memang selalu ia siapkan di atas meja kerjanya untuk mengusap air mata para konselee yang berkonsultasi di ruang BK. Kini giliran Dita. Saat tangisnya mulai reda Nay mulai melakukan pendekatan di permulaan untuk membangun hubungan dan kedekatan.
”Ada apa sayang… ibu siap mendengarkan semua cerita Dita.. Dita nggak usah takut nak ya, apa yang Dita rasain saat ini nak?” tanya Nay penuh kelembutan.
“Ibu.. saya mau berhenti sekolah aja bu.” Dita berucap sambil memainkan tissue yang sudah basah dengana air matanya ditangannya.
“ Loh kenapa begitu?”Nay bertanya penuh keheranan.
“Bapak saya nggak kerja lagi udah tiga bulan ini bu dipecat.”
“Ibu saya gak bisa bantuin bapak kerja karena harus mengurus adik saya yang cacat bu.”
“Jangankan untuk sekolah untuk sehari-hari aja sulit bu,” ucapnya tersedu.
“Dita kamu anak pintar nak, jangan sampai masalah seperti ini membuatmu patah arang sehingga tak melanjutkan sekolah. Coba nanti kita sama-sama cari solusinya ya.”
Tak terhitung sudah berapa siswa yang memiliki nasib yang sama seperti Dita di sekolah ini.
Sungguh anak anak seperti Dita banyak sekali terdapat di sekolah ini.Tapi pihak yayasan selalu menemukan solusinya agar anak ini tetap dibiarkan masuk sekolah dan belajar apalagi anak yang pintar seperti Dita keluarganya sudah miskin, bagaimana dia akan mengangkat derajat keluarganya kalau kemudian anak anaknya juga tak sekolah. Nanti bisa jadi keluarga yang berada dalam kemiskinan yang terstruktur dalam tanda petik mulai dari Kakek, Nenek, Ayah, dan Ibu hingga anak cucunya akan miskin seumur hidup bila tak seorangpun peduli dengan perubahan nasib mereka,ditambah lagi dengan tidak adanya motivasi dari dalam dirinya untuk bekerja keras dan berusaha keluar dari kemiskinannya itu.
Sekolah tempat Nay bekerja memaklumi anak anak seperti Dita dan kawan-kawannya. Mereka bisa tetap bersekolah meskipun keuangan tidak mencukupi.
Beginilah kondisi siswa ketika ulangan semester awal akan segera di mulai. Ke esokan harinya datang lagi Andre anak kelas 8 yang seringkali membuat resah para guru akibat keaktifan serta keisengannnya yang luar biasa. Andre datang memberitahu Nay bahwa orangtuanya tak bisa membayar uang komite nya yang sudah menunggak selama 5 bulan dengan alasan Ayahnya banyak hutang sehingga tak mampu membayar SPP. Setelah ditelusuri ternyata Ayahnya pun mempunyai hutang kredit motor yang lebih ia dahulukan ketimbang membayar sekolah anaknya. Apalah jadinya sekolah swasta kecil tanpa iuran komite. Benar-benar sekolah tempat Nay mengajar adalah sekolah social yang seringkali memberikan keringanan bagi tiap siswanya yang tak mampu. Untunglah masih ada dana BOS sebagai penyelamat kegiatan-kegiatan sekolah.
Nay seringkali serba salah melihat beberapa kehidupan anak- anak remaja di sekolahnya yang serba dillematis dan berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar mereka terbiasa disantuni. Namun Nay bersyukur banyak berkah yang ia dapatkan.Dengan begini ia belajar bagaimana caranya beremphaty,belajar menyayangi, dan sekaligus juga belajar bagaimana ia harus memodifikasi perilaku siswa yang maladaptive dengan berbagai treatmentnya.
*****
Proses pendidikan dan pengajaran di semester genap pun sudah selesai. Mulai dari ulangan harian, UTS, hingga UAS pun sudah dilaksanakan.Tak terasa rapat untuk penerimaan raport semester genap pun dimulai. Pagi itu hari Rabu pukul 10 pagi, semua guru membahas mengenai siapa yang peringkat teratas dan terbawah untuk kemudian didikusikan mengenai kemungkinan beberapa siswa yang tidak layak naik kelas.
Sebagai guru BK Nay selalu berusaha menjadi pendengar yang baik tapi lain halnya ketika rapat hari itu, suasana rapat menjadi riuh kala membicarakan tentang nasib Robi yang sebagian besar guru meminta agar tidak dinaikan. Selain nilainya yang kurang akhlaknya juga kurang baik dan sering melanggar ditambah lagi orangtuanya yang acuh tak acuh terhadap sekolah. Para guru tampak saling berdebat mempertahankan argumennya masing-masing. Ada yang ingin mengemballikan kepada kedua orangtuanya dengan berbagai alasan yang masuk akal, tapi ada juga yang ingin mempertahankannya. Begitupun dengan Nay. Ia memiliki pandangan tersendiri tentang Robi, dimana Nay sebagai guru BK juga telah sekuat tenaga ikut andil membinanya namun Robi seperti tak mau lagi dibina di SMPI Pandanwangi, leadership yang dimiloiki Robi telah mampu membuat teman-temannya menjadi terpengaruh dalam perilaku yang kurang baik.
“Bu Nay bagaimana menurut ibu dengan Raisa?”
“Nay terhenyak setelah barusan memikirkan jawaban untuk kasus Robi.
“Oh ya bu kenapa Raisa?
“Ibu tahu kan anaknya baik ya sopan dan shalehah banget tapi dia agak kurang dalam hal membaca padahal sudah kelas 8 SMP apakah menurut ibu dia tidak dinaikkan atau gimana?”
Nay mencatat pertanyaan dari para guru tentang beberapa siswa yang dianggap bermasalah.
“Bapak ibu sekalian yang saya hormati, untuk kasus Robi menurut pendapat saya kita semua tidak kurang-kurang dalam membinanya, kita tidak salah dan tidak ada yang salah di sini. banyak factor yang menyebabkan Robi sulit berubah. Salah satunya adalah sikap orangtuanya yang tidak kooperatif dan memiliki tabiat buruk dalam mengasuh dan mendidik Robi, ini sudah kita ketahui bersama, terutama Ibu Darmi sebagai wali kelasnya tak perlu kita membeberkan lebih jauh di sini. Bagi saya ketika kita sudah berusaha sekuat tenaga dan anak tersebut tidak juga berubah maka kita kembalikan kepada yang maha penciptanya. Kita berharap hidayah akan datang pada waktunya. Bila Allah sudah mengizinkan ia akan datang bapak ibu, saya yakin bapak/ibu semua tahu tentang hal itu.Kalau memang Robi mau dikembalikan kepada orangtuanya kenapa tidak? Saya berpendapat seperti ini karena beberapa hal ; yang pertama ;toh selama ini kita sudah berusaha membina semaksimal mungkin, bila memang Robi tetap tak bisa mengikuti peraturan yang ada di sekolah ini mungkin Robi tidak cocok sekolah di sini dan lebih cocok bersekolah di sekolah lain.Bukan tidak mungkin juga siswa seperti Robi kelak menjadi orang sukses. Hanya saja saat ini kita mengembalikan dia demi menyelamatkan puluhan anak yang takutnya terpengaruh dikarenakan Robi mempunyai jiwa memimpin. Jangan sampai karena nila setitik rusak susu sebelanga. .Kita ketahui bersama bahwa Robi bukan siswa dari golongan ekonomi lemah. Orangtuanya cukup mampu menyekolahkan Robi. Jadi jika Ia pindah ia masih mampu untuk membiayai sekolah anaknya dengan baik dan jangan-jangan Robi menjadi lebih baik di sekolahnya yang baru nanti. Yang kedua; Kita juga harus konsisten dalam menjalankan aturan yang ada agar menjadi pelajaran bagi semua siswa.”
Demikian Nay berpendapat mengenai permasalahan Robi. Nay sementara menghentikan kata-katanya dahulu untuk meminum sebotol air Aqua yang sudah tersedia di hadapannya.
“Untuk kasus Raisa, bagi saya adab dan sopan santun di atas segalanya bapak/ibu, dan saya yakin semua setuju. Anak yang pintar dan cerdas itu penting. Tapi kita tahu kan bapak /Ibu kalau Raisa itu anak tidak mampu secara ekonomi, mau kemana lagi ia bersekolah kalau kita tak mau menerimanya. Sejauh ini orangtuanya kooperatif dan tahu kondisi putrinya. Ia tak menuntut apa-apa. Hanya ingin putrinya bisa sekolah dan bersosialisasi di sini. Idealnya memang masuk Sekolah untuk anak berkebutuhan khusus, tapi kita tahu kan betapa mahalnya sekolah tersebut. Jadi menurut saya anggap saja sekolah kita ini sekolah inklusi meskipun bukan sekolah inklusi,karena kita mau menerima siswa berkebutuhan khusus. Insya Allah akan banyak berkahnya bapak/ibu membina siswa dari berbagai kalangan dan berbagai karakter serta latar belakang yang berbeda.”
Nay mengungkapkan panjang lebar pendapatnya ketika diberikan giliran untuk berbicara menanggapi dua kasus di akhir semester genap itu. Rapat masih terus berlanjut dengan mendengarkan pandangan semua guru demi untuk diambil sebuah keputusan yang tepat.
“Semoga kata-kataku barusan tak terkesan menggurui’” gumam Nay dalam hati. Nay mulai terlarut dalam suasana diskusi rapat yang kian memanas. Suasana diskusi yang ada kalanya seperti debat kusir tak berujung. Semuanya adalah demi memperjuangkan segala hal berkaitan dengan siswa..
*****
Tahun ajaran baru telah tiba. Semua orangtua siswa berlomba-lomba memasukan siswanya ke sekolah favorit yang ada di kota tersebut. Anak-anak pintar dengan orangtua yang berduit biasanya akan memilih sekolah favorite negeri maupun swasta. Bagi mereka masuk sekolah favorite adalah suatu kebanggaan. Mulai dari TK hingga SD mereka sanggup menghabiskan uang puluhan juta demi memasukan anaknya di sekolah terbaik.
Rayyan kini berusia 6 tahun. Saatnya Nay dan suami bergerak mencari sekolah SD yang jaraknya tidak jauh dari rumah.
“Anak-anak temanku rata-rata menyekolahkan anaknya di SD Islam Al Althof mi..” Umar berbicara sambil memainkan handphone ditangannnya.
“Umi nggak setuju ah bi kalau harus masuk SDI Al Althaf itu..” jawab Nay yang sudah menafsirkan kata-kata Umar seolah ingin memasukkan anak sulungnya ke SDI bonafid yang tak jauh jaraknya dari rumah.
“Loh kenapa mii? Apa karena mahal?” tanya Umar serius sambil meletakkan ponselnya disampingnya dan duduk bersandar tembok di atas tempat tidur.
“ Bukan begitu. Aku Cuma nggak mau aja kalau Rayyan nanti menjadi anak yang kenalnya hanya anak anak menengah ke atas saja.” Jawab Nay.
“Loh mi kita kan beli lingkungan. Anak kita nanti akan dapat lingkungan yang baik setiap harinya dan Islami juga jadi belajar menghafal quran juga sejak kecil.” Umar memberikan argument yang masuk akal demi untuk menyekolahkan Rayyan di sekolah bonafid tersebut.
Hampir satu jam Nay dan Umar berdebat soal sekolah SD untuk Rayyan. Namun pada akhirnya Nay memenangkan perdebatan malam itu. Nay beralasan bahwa dengan masuk SDI Al Binaa yang biasa saja dan tidak bonafid Nay harapkan Rayyan tidak terlalu lelah bersekolah hingga sore hari, selain itu kini Rayyan dalam masa pertumbuhan dan perkembangan emasnya. Ia ingin agar di usia SD rasa percaya diri Rayyan tumbuh. Karena Kalau di SD biasa kan saingan belajar dan saingan ekonomi orangtua tak terlalu banyak, sehingga Nay berharap Rayyan bisa enjoy nantinya.
Hidup adalah pilihan. Setiap pilihan ada resikonya. Tentu saja dengan resiko Rayyan mendapat lingkungan teman-teman yang beragam latar belakang ekonominya, juga perilaku para siswanya mungkin tidak sesantun sekolah yang ditunjuk abinya semalam.Di sini justru kelebihannya. Nay ingin Rayyan belajar menghargai semua orang dari berbagai kalangan yap, menghargai pluralitas. Rayyan juga harus tahu bahwa hidup itu keras, tentunya ini semua harus dilakukan dengan hati-hati, dimana Nay selalu berkomunikasi dengan pihak sekolah dan wali kelas dalam mengetahui perkembangan Rayyan.
Benar saja dugaan Nay karena siswa yang beragam latar belakang itu,saingan Rayyan tidak terlalu banyak dan Rayyan selalu mendapat peringkat tiga besar di kelasnya, kalau ada teori mengatakan tidak penting peringkat di sekolah ada benarnya juga, tapi tidak salah juga kita mengetahuinya seagai tolok ukur perkembangan anak kita dalam akademik yang kemudian dijadikan bahan renungan dan evaluasi serta pengembangan.
Sebagai siswa yang memiliki kelebiihan akademik dibanding teman-teman di kelasnya,membuat Rayyan jadi sering mendapat kesempatan dipilih mengikuti berbagai lomba-lomba dan ini membuatnya menjadi anak yang tumbuh dengan percaya diri. Nay tidak kebayang kalau Rayyan di sekolah SD bonafid yang super mahal itu, belum tentu Rayyan terpilih mengikuti loba-lomba karena banyaknya siswa yang berpotensi berjarak rapat dan pastinya orangtua yang rata-rata berambisi bisa meneggelamkan potensi anaknya dan akhirnya di usia emasnya Rayyan sulit untuk bisa muncul ke permukaan.
“Tuh bi,lihat Rayyan jadi ikut lomba matematika kan besok’ coba kalau di AL Althof belum tentu..”
“Loh, saya yakin Rayyan bisa juga begitu di AL Althof,”ucap Umar masih belum move on argumennya atau memang karena gengsi kalau Nay bisa membuktikan omongannya 4 tahun yang lalu.
“Aku nggak mau berspekulasi bi.”Nay berjalan tak acuh menuju ruang tengah sambil mendampingi Rayyan mengerjakan PR nya.
Tak terasa kini Rayyan sudah di penghujung perpisahan kelas 6 SD,cerita perdebatan memilih sekolh SD untuk Rayyan tak kan pernah hilang dari ingatan, Kini lagi-lagi seperti De Ja Vu saja rasanya pernah ya,” bisik Nay dalam hati. Perdebatan kembali berlangsung untuk memilih sekolah SMP untuk si sulung tercinta.
Di tahun ajaran baru ini para orangtua berbondong-bondong mendaftarkan putra – putrinya di sebuah SD, SMP, SMA, atau Madrasah serta pondok pesantren yang bonafid. Lain halnya dengan Rayyan. Meskipun Rayyan punya kesempatan untuk masuk sekolah bonafid tersebut lantaran ia punya sertifikat prestasi dan NEM yang tinggi, Nay justru memilih pesantren yang masih baru dengan fasilitas yang biasa saja dan biaya yang tidak terlalu murah. Pesantren ini terletak hanya 10 KM dari rumahnya. Nay masih punya tujuan mengembangkan rasa percaya diri anak sulungnya itu. Ia punya rencana besar bila SMA nanti Rayyan harus bersekolah di sekolah unggulan, karena nama sekolah dengan indeks yang bagus akan berguna untuk modal masuk perguruan tinggi negeri nantinya.
Setelah tiga tahun berlalu ada dua Sekolah bidikan Nay, tapi akhirnya Allah mentakdirkan Rayyan anak sulung Nay masuk sekolah SMA unggulan idamannya. Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa Ternyata untuk bisa masuk sekolah unggulan SMA tidak harus dari Sekolah SMP atau pesantren yang mahal dan bonafid tapi semua tergantung pada kualitas anaknya itu sendiri dan bagaimana orangtua mendidik dan memotivasi.
“Ada benarnya juga bii.. kata-kata Roem Topatimasang “Sekolah itu Candu,” Aku pun kini jadi pecandunya.,”ucap Nay saat mengetahui anak sulungnya lulus diterima di sekolah unggulan yang didambakan oleh banyak siswa berprestasi di seluruh Indonesia.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar