Menelisik kejamnya rasa, yang masuk tanpa permisi sebelumnya. Mengaduh pada Tuhan pun tak kuasa, seakan tak pantas untuk ku adukan kepadaNYA, walau hanya segenggam harapan yang kupinta. "Heyy" seruku padanya, orang yang membelakangiku dititik nol kota Jogja. Namun tetap tak dihiraukan, "Bisakah kau mengalihkan rasanya bukan untukku?" dia tetap diam. "Bukan dia yang selalu terngiang dalam separuh jiwa" protesku.

Lalu beberapa saat kemudian.. "Kau tau.. bahwa ada dua cara untuk menjalani hidup yang menyenangkan, entah itu di hati seseorang atau di dalam do'a seseorang". Aku masih membeo dengan apa yang dikatakannya. Lalu ia melenggang pergi tanpa sepatah kata.

***

Kurapatkan selimut tipis ini karena hawa dingin yang mulai menjalar dari telapak kakiku bersiap untuk menuju ruas-ruas tubuhku yang lain. Disamping itu aku terus terngiang dengan setiap kata yang diucapkannya, membuat mata ini sulit diajak merapat untuk merajut sebuah mimpi agar aku tak lagi memikirkannya. Namun semakin aku ingin melupakan kata-kata itu, dia malah semakin memburu alam bawah sadarku untuk terus meneriakkannya dan munculah sosok yang dia maksud, dan sesuatu yang pernah kulewatkan bersamanya. Mereka terus menggelayuti pikiranku, hingga aku terduduk kembali, tak kuasa untuk menahan gemuruh sang rumah hati, akhirnya kuputuskan untuk memilih pilihan yang pertama.