Tuti S Susilawati

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Baskara

“Hidup Pak Baskara, hidup Pak Baskara!”

“Pak Baskara hebat”.

Orang- orang riuh berteriak dan bertepuk tangan. Laki-laki setengah baya itu tersenyum gagah dan membalas teriakan dengan lambaian tangan.

Dia memulai orasinya dengan suara yang berkharisma,mantap dan penuh semangat. Aku tak seberapa paham apa sebenarnya yang dia bicarakan. Aku juga tak paham kenapa dia berada di panggung besar itu. Sebagai apa dia, kenapa dia ada di situ. Entah berapa tanya yang berkecamuk di pikiranku, di hatiku.

Pikiranku tiba- tiba melayang pada peristiwa sepuluh tahun yang lalu. Gambaran- gambaran perististiwa masa lalu, mucul silih berganti.

Baskara, mahasiswa paling tidak diinginkan gadis-gadis di kelasku. Pakaiannya yang lusuh, jauh dari kata trendy, sepatu warior yang kusam dan sobek di sana sini menjadi ciri khas penampilannya. Rambut kelimis dengan minyak tancho di belah tengah.

Murung di sudut kelas menjadi pemandangan lazim, seolah menyadari ketidakberuntungannya. Dengan kesabarannya yang super dia tahan dibully teman-teman hingga ke hal-hal yang sangat pribadi. Dia tidak pernah melawan, bahkan sepertinya rasa tersinggung pun dia tak punya. Manusia super sabar. Entah terbuat dari apa hatinya.

Ahmad, sahabat dekatnya, pernah mengatakan Baskara suka padaku. Aku marah dan tersinggung karena itu. Saat itu aku berfikir tak layak dia menyukaiku. Kupandangi dia dengan sorot tajam penuh kebencian. Dia tertunduk dan gemetar. Setelah itu, tak pernah dia berani menatapku lagi. Bahkan, sampai kami selesai kuliah dan melanjutkan hidup dengan garis kehidupan masing-masing.

Tiba-tiba pundakku ditepuk dengan halus. “Mbak, ayo pulang. Acara sudah selesai”. Kata adikku pelan. Kulihat sekilas Baskara meninggalkan panggung kehormatan. Aku tertunduk, bahkan menatapnya aku tak sanggup.

Aku, gadis paling cantik di kelasku yang disukai banyak teman, kini bukan siapa-siapa. Sepatuku lusuh, baju yang warnanya nyaris pudar dan tas tangan yang kubeli di pinggir jalan, menyadarkanku tentang siapa aku kini.

Kuseret kakiku yang terasa berat meninggalkan lapangan ini. Kerumunan orang, sorak sorai, hingar bingar musik dangdut dan kegembiraan orang-orang yang mendapat pembagian sembako tak aku hiraukan lagi. Aku berjalan tertunduk. Ada nyeri yang menghujam ulu hatiku. Sesak.

Pukul 3 sore. Langit gelap, awan-awan seperti sudah tak sabar ingin membuncahkan kandungan airnya. Aku membuka pintu rumahku yang reot. Pintu tua itu berderit, seolah enggan menyambut kedatanganku.

Rumah pengap tanpa penerangan. Sudah dua bulan listrik dicabut. Aku tak mampu membayar biaya pemakaian. Di balai-balai usang, seorang lelaki tanpa daya tergolek. Sorot matanya sayu menyiratkan rasa sakit yang luar biasa. Tanpa gerak, tanpa suara. Lelaki yang tak pernah menepati janji. Menawarkan racun yang dibungkus madu, menawarkan harapan dalam pemaksaan. Lelaki yang tidak mau mendengar kata tidak, lelaki yang setiap katanya adalah perintah yang tak bisa dibantah. Kini dia terbujur tanpa daya. Lelaki itu, suamiku.

Anton, begitu lelaki itu biasa disapa. Di desaku tak ada yang tak mengenalnya. Lelaki anak tengkulak padi yang sukses. Kekayaan orang tuanya selalu menjadi andalan dan kebanggaannya. Orang tuaku, karena sebab yang tak seberapa, berutang budi pada keluarganya. Tak punya kemampuan menolak ketika dia memaksa orang tuaku menyerahkan aku sebagai penebus hutang keluargaku.

Berumah tangga dengan lelaki yang tak pernah kucintai, itulah takdirku. Lelaki yang menjadikan perkawinan sebagai permainan dan pemuas syahwatnya.

Aku menghampirinya. Menatapnya tanpa suara. Ada gejolak perasaan yang tak bisa kumengerti. Entahlah, tiba-tiba rasa kasihan menjalar di seluruh tubuhku. Belum sempat terucap sepatah kata pun dari mulutku, tiba-tiba suamiku kejang. Nafasnya tersengal, bola matanya melotot. Tangannya seperti ingin menggapaiku.

“Ya Alloh, ada apa ini?” batinku. Aku panik. Tak tahu harus berbuat apa.

Aku berteriak minta tolong. Ada rasa takut yang luar biasa melihat keadaan suamiku.

Jalanan kecil dan berlumpur seperti tidak bersahabat dengan harapanku saat ini. Harapan untuk segera sampai ke rumah sakit tak bisa segera terwujud. Dalam guyuran hujan lebat, dan kilat yang menyambar-nyambar suamiku ditandu dengan alat seadanya sebelum sampai ke ambulance yang menunggu di pinggir jalan.

Ruang UGD begitu sepi. Dokter dan perawat yang gagal memberi pertolongan baru saja pergi. Hanya mengusap pundakku, tanpa sepatah kata. Aku sendiri, memeluk Antonku yang terbujur kaku. Sunyi begitu mencekam. Tak ada lagi air mata yang tersisa. Tak guna lagi isak tangis yang kutumpahkan. Dia telah pergi.

Di luar ruangan kudengar hiruk pikuk dan keramaian. Tak kupedulikan. Tiba-tiba serombongan orang masuk. Aku tak tahu siapa mereka. Yang kutahu dokter, perawat begitu sibuknya, begitu sumringah. Tidak seperti tadi, saat suamiku masuk butuh pertolongan. Dengan wajah kecut tanpa senyum mereka menerimanya. Bahkan ketika suamiku begitu kesakitan dan butuh pertolongan.

Masih kudekap suamiku dengan kedukaan. Aku mendengar suara langkah mendekat. Aku tak ingin menoleh, aku tak akan peduli. Aku hanya butuh waktu berdua saja sebelum jasadnya diambil dan dimandikan. Aku masih berharap ada keajaiban, mendengar kembali detak jantungnya, atau helaan nafasnya.

Pundakku ditepuk dengan lembut. “Ibu bangunlah!” ada suara begitu lirih.

Dengan berat hati aku menoleh. Aku mencari suara itu. Di belakangku beberapa orang berdiri. Aku tengadahkan wajahku, lalu kutatap satu-satu orang-orang yang mengelilingiku. Pandanganku berhenti pada satu wajah. Wajah yang masih tersimpan di memoriku. Baskara! Aku berdiri dan menatapnya tak percaya.

Seluruh tubuhku gemetar. Aku takut dia mengenaliku. Cepat-cepat aku menunduk. Ingin kubenamkan saja wajah ini ke dasar bumi. Tanpa diduga, dia menyalami tanganku, menggenggamnya dengan erat dan berkata “Ratih, Ratih, kaukah itu? tanyanya pelan. Aku hanya diam.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Subhanalloh,,,,, Neng Tuti ini, luar biasa piawainya dalam membuat cerita. Ayo neng Nti, lanjut terus menulis nya, jadikan kumpulan cerpen untuk kenaikan angka kredit ke golongan IV/d.

10 Oct
Balas

kagum sekali dengan ibu..ibu motivasi saya..

19 Feb
Balas

Cantik wajah, cantik hati, cantik budi pekerti... Ditunggu kelanjutan ceritanya bu...

19 Feb
Balas

Subhanalloh Ibu Cantik..semoga selalu menjadi inspirasi buat yang lainnya dan d tunggu lagi cerita2 berikutnya...

19 Feb
Balas

Subhanalloh Ibu Cantik..semoga selalu menjadi inspirasi buat yang lainnya dan d tunggu lagi cerita2 berikutnya...

19 Feb
Balas



search

New Post