PERSOALAN PAI DI SEKOLAH UMUM Oleh Tutik Haryanti, S.Pd.I
Awal mula dijadikannya Pendidikan Agama Islam sebagai mata pelajaran di sekolah-sekolah umum adalah sebagai upaya mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang beriman, bertakwa, dan berbudi pekerti luhur. Namun kenyataannya ibarat “jauh panggang dari api”, artinya pendidikan agama Islam yang diberikan tersebut belum mampu mengantarkan peserta didik menjadi yang seperti diharapkan. Indikator dari kekurang berhasilan tersebut antara lain adalah masih banyaknya peserta didik yang belum memiliki keimanan dan ketakwaan yang benar. Hal ini nampak dari minimnya mereka melakukan ibadah sholat dan puasa yang notabene adalah kewajiban bagi umat Islam. Dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah, makin banyaknya peserta didik yang terjerumus dalam perilaku-perilaku yang tidak bermoral/tidak berbudi pekerti yang luhur. Misalnya, dengan makin maraknya tawuran antar pelajar, konsumsi narkoba dan miras, aksi kebut-kebutan di jalan raya, pemalakan, dan lain sebagainya.
Saat ini, bangsa Indonesia sedang mengalami metakrisis. Krisis yang tidak hanya berdimensi ekonomi, politik, budaya, tetapi juga krisis nilai-nilai moral dan orientasi hidup. Bahkan krisis yang paling parah dirasakan dan sekaligus sebagai sumber timbulnya krisis-krisis lainnya adalah krisis nilai-nilai moral/akhlak. Persoalan moral inipun merupakan persoalan yang selalu aktual, betapapun manusia telah mencapai peradaban sebagai masyarakat yang sangat modern dengan kemajuan sains dan teknologinya sekalipun, karena ternyata kemajuan di bidang sains dan teknologi tidak selalu sebanding dengan peningkatan dibidang akhlak/moral (Endang Daruni Asdi,1999, hlm:9)
Oleh sebab itu, banyak ahli pendidikan dalam merumuskan konsep pendidikannya telah mengaitkan dan menjadikan masalah moral/akhlak sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan. Dan dalam konteks pendidikan Islam pun, ditegaskan bahwa pendidikan moral/akhlak adalah merupakan ruh pendidikan Islam. (M.’Athiyah Al-Abrasy,1969,hlm: 22)
Dari uraian di atas, jelas sekali bahwa pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum mempunyai posisi yang cukup strategis untuk menumbuh kembangkan keimanan dan ketakwaan peserta didik terhadap Allah SWT, serta membekali mereka dengan budi pekerti dan moralitas yang baik. Tanpa adanya pendidikan agama, tentu sangat kecil kemungkinannya untuk dapat mewujudkan cita-cita luhur tersebut. Namun selama ini, pelajaran PAI baru dapat mengantarkan peserta didik pada tingkat penguasaan ilmu agama saja (ranah kognitif), dan belum banyak menyentuh aspek sikap dan perilaku beragama Islam (ranah afektif).
Persoalan utama PAI tersebut apabila ditelusuri secara lebih lanjut adalah karena dilatar belakangi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor Eksternal, yaitu faktor yang berada di luar sekolah, diantaranya adalah :
Sikap orang tuaAda sebagian orang tua yang selalu sibuk dengan urusan ekonomi sehingga tidak memperhatikan masalah pendidikan anak termasuk pendidikan agamanya. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah anggapan orang tua bahwa pendidikan agama tidak penting karena tidak bisa digunakan untuk mencari pekerjaan. Sehingga mereka lebih memilih memberikan perhatian pada les/privat Matematika, IPA, atau Bahasa Inggris dibandingkan menyuruh anak-anak mereka untuk pergi sholat dan mengaji di surau atau masjid.
Situasi lingkunganPeserta didik tinggal dalam lingkungan yang tingkat religius masyarakatnya rendah, sehingga didalam lingkungan tersebut sering diwarnai dengan kebiasaan yang tidak baik seperti perkataan yang jorok/kasar, perjudian, konsumsi narkoba dan miras, perkelahian dan lain sebagainya.
Dampak perkembangan IPTEKS ( Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni)Diera informasi dan tekhnologi sekarang ini disatu sisi telah memberikan sejumlah kemudahan dalam penyelesaian kehidupan manusia, terlebih pekerjaan yang bersifat fisik. Namun di sisi lain kemajuan IPTEKS ini pun diikuti dengan munculnya budaya modern yang lebih condong kearah liberalisasi, rasionalisasi, dan efisiensi yang tanpa kita sadari telah secara konsisten melakukan proses pendangkalan kehidupan spiritual manusia sehingga menjadi krisis nilai rohani (spritualitas) manusia, yang dalam hal ini pun tak luput menimpa peserta didik kita. Kemajuan tersebut menjadikan kebingungan dalam diri peserta didik dalam mencari jati diri dalam menemukan pegangan hidup. Akibatnya banyak diantara peserta didik yang terjerumus dalam prilaku-prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islami. (Zamroni, 1993,hlm: 2).
2. Faktor Internal, yakni berasal dari dalam kelembagaan (sekolah), antara lain:
a. Kualifikasi guru Pendidikan Agama Islam yang masih rendah
Dari segala kondisi yang ada, kondisi guru PAI saat ini secara umum memang sedang mengalami ketidakberdayaan yang disebabkan oleh beberapa faktor yaitu (1) karier, (2) kemampuan, (3) psikologis, dan (4) kesejahteraan (M. Arifin, 1991,hlm: 96).
Karier dan kemampuan ini berkaitan dengan kualitas dan profesionalitas. Pada satu sistem guru PAI dituntut memiliki kualifikasi dan profesionalisme yang tinggi, namun kesempatan untuk meningkatkan kualifikasi dan profesionalisme tersebut sangat terbatas, dengan kurangnya pelatihan maupun bimbingan teknis bagi pengembangan profesionalitas guru PAI. Sementara itu masalah psikologis terkait erat dengan tuntutan dan harapan yang begitu besar terhadap peranan guru PAI dalam membina moralitas anak didik dalam situasi dan kondisi lingkungan masyarakat yang carut marut ini. Tuntutan yang besar terhadap guru PAI terkadang kurang mendapat dukungan dari pimpinan dan sesama guru disekolah, yang menjadi salah satu faktor yang cukup serius untuk dicermati.
b. Kurangnya solidaritas dari sesama guru di lembaga sekolah
Diakui ataupun tidak, seringkali antara guru PAI dengan guru mata pelajaran lainnya kurang terjalin kerja sama yang sinergis. Hal ini nampak pada adanya anggapan bahwa untuk menjadikan peserta didik beriman dan bertakwa serta berakhlak mulia adalah tugas dan tanggung jawab dari guru PAI, padahal seharusnya tidak demikian. Menjadikan peserta didik sebagai individu yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia bukan hanya tugas dan tanggung jawab dari guru agama saja, melainkan juga menjadi tugas dan tanggung jawab bersama seluruh guru dan komponen yang ada di sekolah.
c. Strategi pembelajaran yang konvensional dan monoton
Berdasar pengalaman dan pengamatan penulis selama menjadi tenaga pendidik Pendidikan Agama Islam, ternyata sebagian besar guru PAI di sekolah-sekolah umum ketika mengajar di kelas hanya menggunakan metode ceramah dan tanya jawab yang monoton dan jarang menggunakan metode lainnya. Hal ini berakibat pada tingkat kebosanan peserta didik pada proses belajar mengajar PAI. Sementara dalam kenyataannya peserta didik yang dihadapi mempunyai perbedaan dalam tingkat kemampuan, bakat, minat, dan perhatian. Dengan adanya perbedaan-perbedaan ini, tentulah menuntut cara belajar yang berbeda-beda pula sehingga sudah seharusnya guru PAI memberikan metode pembelajaran yang lebih bervariasi.
d. Alokasi waktu pelajaran PAI
Jatah jam untuk pelajaran PAI di sekolah-sekolah umum baik tingkat SD, SMP, maupun SMA/SMK yang hanya 3 jam dalam satu pekan, terasa sangat sedikit dibandingkan muatan materi yang harus disampaikan.
Dari berbagai persoalan Pendidikan Agama Islam seperti diuraikan di atas, maka penulis mencoba mengemukakan beberapa solusi yaitu sebagai berikut :
Pertama, solusi alternatif yang terkait dengan persoalan yang bersumber dari faktor eksternal, antara lain dengan jalan mengembangkan sistem pendidikan yang integral dalam arti keterpaduan antara pendidikan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Sekolah perlu meningkatkan kerja sama (dengan mengadakan pertemuan) yang lebih erat dengan pihak keluarga (orang tua murid) dan masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat) baik dari segi intensitas ataupun kualitas. Dan dalam pertemuan tersebut hendaklah tidak hanya sekedar membahas teantang keuangan, pemenuhan kebutuhan fisik, ataupun sarana prasarana pendidikan saja, melainkan juga harus mengenai masalah pembinaan akhlak peserta didik ketika mereka di rumah dan di lingkungan masyarakat. Melalui pertemuan tersebut, hendaknya sekolah mengingatkan dan menekankan kepada pihak keluarga dan masyarakat, bahwa pada hakekatnya sekolah hanyalah lembaga pendidikan kedua, karena yang lebih utama adalah keluarga, terlebih dalam kaitannya dengan pendidikan agama yang menyangkut pendidikan moral/akhlak.
Kedua, untuk menciptakan dan meningkatkan mutu guru PAI hendaknya dilakukan sejak dini dan menggunakan sistem pemberdayaan yang berkelanjutan. Hal ini terkait dengan proses seleksi para mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam. Proses seleksi tersebut harus benar-benar mencakup tidak hanya kemampuan intelektual, namun juga pada bakat, minat, dan kepribadian mereka. Kemudian setelah mereka masuk dunia sekolah/ menjadi guru, harus tetap ada pemberdayaan yang berkelanjutan. Artinya mereka harus diberikan pelatihan dan bimbingan teknik yang memadai secara berkesinambungan dari waktu ke waktu. Hal ini penting, karena ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat cepat sehingga membuat ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seorang guru cepat sekali usang. Dan yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kesejahteraan guru PAI tersebut, karena betapapun guru tersebut memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan yang cukup memadai, tapi kalau kesejahteraan mereka tidak dipikirkan maka akan berakibat kurang optimalnya mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Ketiga, kerjasama dan hubungan yang komunikatif antara guru PAI dengan guru-guru mata pelajaran yang lain, hendaknya lebih berkesinambungan dan bersinergi positif. Semua guru dan bahkan seluruh komponen sekolah hendaknya merasa terpanggil dan bertanggung jawab untuk secara bersama-sama mendidik dan membina peserta didik dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan mereka kepada Allah SWT, serta mengembangkan budi pekerti (moralitas) yang luhur. Seluruh komponen yang ada dalam sekolah harus memiliki kesadaran bahwa mereka juga mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjadikan peserta didik menjadi manusia yang cerdas, baik secara intelektual, spiritual, dan sosial.
Keempat, pengembangan kegiatan belajar mengajar yang memungkinkan guru dan peserta didik sama-sama aktif, misalnya dengan menerapkan strategi pembelajaran aktif (active learning). Terlebih dengan kondisi yang seperti sekarang ini, perkembangan teknologi dan informasi yang sangat pesat menjadikan sistem pembelajaran yang dilakukan seorang guru PAI harus benar-benar up to date. Di samping itu, guru PAI harus dapat mengembangkan sistem penilaian hasil evaluasi yang lebih komprehensif dengan menggunakan teknik tes maupun non tes, sehingga pada akhirnya guru PAI mampu menilai dan memunculkan semua aspek yang dimiliki peserta didik ( kognitif, afektif, dan psikomotor ).
Kelima, sebagai upaya untuk mengatasi masalah keterbatasan alokasi waktu yang hanya 3 jam pelajaran sepekan dengan beban materi yang begitu padat, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang guru Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai berikut :
(1) Mengembangkan pola pengorganisasian kelas yang bervariasi. Belajar tidak mesti harus dilakukan didalam kelas, akan tetapi bisa juga dilakukan di luar kelas atau bahkan diluar jam pelajaran, dengan cara memberi tugas atau proyek kepada peserta didik baik secara kolektif atau individual.
(2) Mengadakan kegiatan peringatan hari besar keagamaan dengan melibatkan anak didik secara aktif. Dengan kegiatan seperti itu anak didik akan memperoleh pengalaman yang banyak dan mengesankan yang akan terekam dalam ingatan mereka.
(3) Menyelenggarakan kegiatan perlombaan dalam bidang keagamaan baik dilingkungan sekolah maupun antar sekolah.
Dengan demikian penulis berharap, dari beberapa solusi yang telah diuraikan di atas, sekiranya dapat menjadi referensi dalam mengatasi persoalan yang dialami guru Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah umum. Semoga bermanfaat bagi penulis pada khususnya, dan seluruh komponen yang ada di lembaga pendidikan pada umumnya.
Daftar Pustaka
Endang Daruni Asdi, Imperatif Kategori dalam Filsafat Moral, Imanuel Kant, (Yogyakarta : Fakultas Filsafat UGM, 1999)
M. Arifin, Selekta Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991)
Muhammad Athiyah Al Abrasy, At-Tarbiyah Wa Falasifatuha, (Isa Al-Bab, Al-Halabi Wa Syrkah : 1969)
Zamroni, Penilaian Hasil Belajar Pendidikan Agama Islam Pernah Efektif, (Yogyakarta : Balai Pendidikan P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1993)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ulasan yang luar biasa
terimakasih ibu..
alhamdulillah, terimakasih supportnya ibu..
Keren..