Faith..
#TantanganGurusiana hari 50
Alarm dari ke 2 hp ku berdentang bersahutan. Rasa hati berat untuk mematikannya. Namun kupaksakan diri juga untuk beranjak dari nyamannya kasur dan hangatnya selimut. Karena beragam tugas sudah menari-nari, mengantri untuk dikerjakan.
Tak lupa kubersujud syukur atas nafas yang masih diberikan untukku hari ini. Kupanjangkan sujud pada Zat yang mendengar suara-suara, pada Zat yang mengabulkan segala doa dan pinta. Agar keberkahanlah yang kudapatkan. Kusebut nama orang-orang yang kusayang untuk segala keselamatan dan kebahagiaan mereka.
Terlihat wajah kekar, namun penuh gores kelelahan, masih terlena dengan tenangnya. Padanyalah kulabuhkan segenap jiwa ragaku. Di pundaknyalah kusandarkan lelah letihku. Kualihkan pandanganku pada dua wajah di sampingnya, wajah yang menjadi pengobat segala penatku. Di tangan merekalah nanti masa tuaku akan kuletakkan. Yaa Robb, jaga mereka untuk selalu bahagia.
Kunyalakan kompor untuk membuatkan bekal anak-anakku. Kumulai meracik menu andalan dan menu favorit mereka. Potongan terakhir baru selesai kuangkat dari penggorengan saat suara sang muadzin bersahut-sahutan. Tanda waktu bagi insan, untuk bertandang pada Sang Penabur Rezeki.
Kubangunkan suami dan anak-anakku untuk menegakkan kewajiban sebagai pembuka hari. Walau mata-mata kecil anakku nampak begitu sayu, namun harus kutegakan hatiku.
Berkulum sikat gigi, kubuka kamar mandi,”Jatah siapa mandi?”. Si abang menjawab hampir bersamaan dengan sang adik, saling tunjuk. Akhirnya suara suamiku menyela,“Lihat jadwal, jangan lagi begaduh pagi-pagi”. Dengan langkah setengah diseret akhirnya sang empunya nama yang tertera di jadwalpun bergerak ke kamar mandi.
Bisa dipastikan setiap pagi, setiap sore, akan terjadi perselisihan seperti itu, bahkan terkadang menjelang tidurpun masih berdebat. Tentang buku cerita apa yang akan dibaca atau sekedar posisi tidur. Siapa yang disebelah jendela siapa yang diseberang. Itulah alasan suamiku, mengapa akhirnya membuat jadwal mandi pagi, jadwal mandi sore, dan jadwal posisi tidur. Hhhhhh….begitulah adanya.
Jarum jam tepat menunjukkan pukul 06.20, tanda semua harus bergerak menuju arah pengabdian, meniti jalan pengetahuan, dan menjemput rejeki. Senyum, sapa, dan salam bersahutan menyambutku, saat kumasuki gerbang tempat kuabdikan diri dan ilmuku. Rutinitas pagi itu kuawali dengan membimbing mereka, anak-anak didikku, mencintai kebersihan. “Yang piket kelas, piket umum, udah selesai tugasnya,” tanyaku. “Udah bu,” jawab mereka. Segera ku cek tanaman, tempat sampah, kelas, dan kantor majelis guru. Masih nampak beberapa anak menyelesaikan tugasnya. Kebiasaan piket kebersihan di sekolah yang kuarahkan adalah yang laki-laki mengosongkan tempat sampah depan kelas masing-masing. Sedangkan yang piket umum, membuang sampah yang ada di depan maupun dalam majelis guru. Sebagiannya ada yang menyiram bunga. Sementara yang perempuan ambil bagian menyapu dan mencuci gelas di majelis. Hal ini karena di sekolah kami tidak ada pesuruh, jadi dari awal mula berdiri, para guru meminta anak-anak untuk membantu cuci gelas. Sesekali saja kuarahkan mereka, untuk menyapu bawah meja kursi, dan sela-sela lemari.
Melihat mereka, sejenak anganku meloncat 2 tahun yang lalu. Sungguh terasa sulit, terasa letih. Dan sempat terpikir untuk berhenti dan tak peduli. “Toh gak da untung ruginya bagiku, emang kebiasaan disini begini,” pikirku. Bisa dibilang malah banyak letih dan susahnya. Namun jiwaku berontak, saat kubaca sebuah kalimat sakti dari seorang kyai besar negri ini, bahwa “Yang hebat dari seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan, terkadang hati teruji kesabarannya, namun hadirkanlah gambaran bahwa diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga”. (alm. KH. Maimun Zubair)
Tak bisa! Sungguh tak bisa macam ini, aku gak mau jadi bagian dari kebiasaan! tegasku dalam hati. Bismillah, aku niatkan hati dan pikiranku untuk keluar dari kebiasaan dan rutinitas yang ada. Walau sendirian, insyaAllah pasti bisa! Tekadku kala itu.
“Yang piket mana?”, tanyaku pada kerumunan anak yang sedang duduk-duduk depan kelas waktu itu. Masing-masing saling berpandangan, “Gak tau buk,” jawab seorang dari mereka. “Kayanya ke kantin bu,” jawab yang lainnya. “Si Aksan kan belum datang,” sela seorang lagi. Aduh, macam mana ya, padahal waktu hampir jam tujuh,
“Tolong panggilkan lah nak, sekalian cari yang piket umum yaa,” pintaku. Tak sabar menunggu, akhirnya kukerahkan saja anak-anak yang ada disitu. Yang perempuan kusuruh mereka membersihkan depan kelas masing-masing. Sementara yang laki-laki, kusuruh ambil ember untuk siram tanaman yang ada di depan kelas dan sekitaran sekolah.
Kondisi seperti itulah yang berlangsung selama ini, sejak kutapaki tugasku di sekolah ini. Meski nama-nama telah tertempel di kaca jendela. Namun ketiadaan guru sebagai pengarah dan pembimbing, menyebabkan anak-anak terbiasa dengan menunggu. Menunggu datangnya guru. Subhanallah, harus bisa merubah kebiasaaan mereka. Aku yakin aku pasti bisa.
Jadi teringat sebuah kisah tentang Ibnu Hajar. Awalnya dia bukan siapa-siapa bahkan tak dianggap. Karena kelemahan dan kekurangannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari kaumnya. Dalam perjalanan, ia berteduh dalam sebuah goa. Beberapa waktu dia bersendirian dalam goa tersebut, ternampaklah sebuah batu besar olehnya. Tepat ditengah batu tersebut terdapat lobang karena tetesan air yang ada di atas batu tersebut. Yang diawal dia masuk, batu itu datar-datar saja. Terhenyak ia melihat hal tersebut. Batu sekeras itupun mampu luluh hanya dengan tetesan air. Maka yakinlah ia bahwa dengan ketekunan dan kesabaran, ia juga pasti mampu berkarya.
Maka kembalilah ia ke kaumnya, menjadi seorang yang tekun dan khusyuk dalam belajar dan beribadah. Hingga akhirnya dia menjadi sosok yang berbeda. Apa yang dulu tidak bisa dan tak mampu ia kuasai, dia pelajari dengan tekun, hingga menjadi ahli dalam berbagai bidang. Karena ia belajar dari sebuah batu, maka dia diberi gelar Ibnu Hajar, yang berarti anak batu.
Belajar dari kisah itulah, maka aku yakinkan diri bahwa kondisi sekeras apapun akan bisa dirubah. Dengan ketekunan, kesabaran, dan keteladanan, itu kuncinya, pikirku. Kalau kita sebagai gurunya memberi contoh, tentu anak-anak itupun lama-lama akan mengikuti apa yang kita contohkan. Karena pada hakikatnya, anak adalah peniru yang ulung.
“Bu, kita ada literasi tak?”, tanya seorang murid perempuan. Tersadar aku bahwa jarum panjang jam sudah bergerak ke arah angka tiga. Jam 07.15 saatnya jadwal literasi. Segera kusuruh salah seorang dari mereka bunyikan lonceng tanda masuk untuk kegiatan literasi sebagai awal kegiatan sebelum jadwal pelajaran dimulai.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar