Teh hangat tujuh puluh tahun lalu. Pindah sekolah 11
Aku berlari sekuat tenaga, rintik hujan turun semakin deras mengejarku. Tangis ku semakin keras, rasa putus asa menyelimutiku semakin dalam. Rumah itu perlahan mulai ditutupi kabut tipis, suasana mulai gelap dan membuat rasa takutku semakin menjadi. Langkahku semakin cepat, aku berlari memasuki halaman rumah Dex. Hamparan bunga-bunga di halaman sekarang nampak murung, tak terlihat warna warni indah yang tadi dipamerkan padaku.
“Anne!” Teriakku
Kulihat ia berdiri mematung didekat pintu, raut wajahnya datar dengan tatapan yang sangat kosong. Anne menoleh padaku, kemudian ia berkata lirih.
“Amelia kamu harus kembali, cepat!”
“Bagaimana caranya? Aku tiba-tiba sudah ada disini, aku takut” ucapku
Anne membuang wajahnya, ia menyandarkan kepalanya ke tembok. Pandangannya jatuh ke peti mati Dex. Orang tua Dex masih meratapi kepergian anaknya, mereka berdua duduk terdiam disalah satu sudut ruangan. Dua gelas teh hangat yang masih utuh kini sudah tidak berasap lagi, gelas-gelas teh itu hanya termenung memandangi kedua orang tua Dex.
“Amelia, kamu bisa kembali hanya dengan menyentuh apa yang pertama kali kamu pegang saat pertama kali tiba” “Maksudnya?” Kataku sambil menyeka air mata
“Coba ingat lagi, lakukan dengan cepat apa yang aku katakana tadi” Kata Anne setengah membentak.
Aku kaget dengan perintah Anne yang setengah kasar. Aku memandangi sekeliling rumah Dex dengan perlahan, hanya ada orang tua Dex, aku dan Anne saja diruangan itu. Kami berempat hanya terdiam, suara detik jarum jam memenuhi ruangan, setiap detiknya terasa berjalan sangat lama. Aku melihat nakas panjang tempat segala macam hiasan dan foto dipajang, mataku jatuh pada satu bingkai yang berisi foto Dex dan orangtuanya didepan sebatang pohon besar. Mataku mendelik, senyumku merekah.
“Anne aku tau apa yang pertama aku pegang” teriakku girang
“Ini, bingkai foto ini” Aku memegang kaca bingkai itu dengan lembut, kedua tanganku bergetar saat memegang bingkai itu. Seketika telingaku berdengung keras, pandanganku perlahan semakin kabur, kedua orangtua Dex nampak semakin hilang memudar, kupejamkan mataku, suara-suara aneh berisik mulai menyeruak mengisi ruangan itu. Aku jatuh terduduk, bingkai foto itu masih kupegang erat.
“Anne, tolong!” Teriakku putus asa, tanganku berusaha menggapai Anne.
Suara-suara aneh itu kini semakin mengganggu dan terdengar berputar-putar disekeliligku seperti sorak sorai hingga menciptakan dengungan yang makin menjadi. Kututup rapat kedua telingaku berharap suara-suara itu segara berlalu. Kupejamkan mataku lebih dalam lagi.
Tiba-tiba sentuhan lembut dibahu memecah ketakutanku, tepukannya menyadarkanku dari situasi tadi. Kubuka mataku, kulihat Anggi berjongkok kebingungan melihatku. Mulutnya bergerak tapi tidak ada satu katapun yang bisa aku dengar.
“Amelia, lia. Kamu kenapa? Ayo bangun” suara Anggi mulai terdengar.
Kugenggam tangannya dan tangisku pecah.
“Anggi aku dimana?” ucapku putus asa
Anggi nampak kebingungan, ia berusaha memelukku untuk memenangkan. Suara cericip burung sayup-sayup terdengar diangkasa, seberkas cahaya matahari yang malu-malu menyelinap diantara rimbunnya dedaunan menyilaukan mataku dan hembusan lembut angin perlahan menyadarkanku.
“Aku kembali” bisikku pelan pada diriku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar