Tjandra

Ada kalanya ide menulis mengalir begitu saja, awalnya agak sulit memulai namun rasanya ide tersebut akan semakin kusut ketika tidak segera diuraikan. Semoga pil...

Selengkapnya
Navigasi Web
Deri kucing Hantu. Pindah Sekolah 8
horor petualangan remaja

Deri kucing Hantu. Pindah Sekolah 8

Segelas es jeruk akhirnya menghilangkan rasa sumuk yang sejak di lintasan lari sudah menyerangku, ditemani semangkok siomay ayam, dua potong kerupuk dan lima butir telur puyuh, sungguh paduan yang luar biasa untuk mengisi ulang energiku hari ini. Dinda, Anggi dan Raditya duduk berhadapan denganku, suasana kantin tidak begitu ramai karena waktu istirahat baru dimulai lima belas menit lagi. Tidak begitu banyak yang kami bahas karena rasa lelah dan gerah yang masih belum menguap sepenuhnya. Raditya sibuk memainkan tamagotchi nya, Dinda dan Anggi membahas pekerjaan rumah yang diberikan guru Geografi minggu lalu. Sementara aku asyik memainkan sedotan, berusaha mengubahnya menjadi kuda namun sayangnya malah terlihat seperti stickman yang terjengkang.

Anne tertawa melihat kuda sedotanku. Ia memukul pundak Dex beberapa kali. Mereka duduk tak jauh dariku.

“ Dex lihat itu apa? Jelek sekali buatan dia!” Anne mengejekku dan tertawa terkikih.

Dex tersenyum simpul, ia kibaskan rambut coklatnya. Jari-jari pucat Dex perlahan merapikan poni belah tengahnya, ia menyusun poni rambutnya sedemikian rupa sehingga nampak jatuh dan pantas diwajahnya. Aku memandang Dex, ternyata ia tidak terlalu mengerikan. Penampilannya wajar hanya saja tak banyak bicara seperti Anne. Kugigit pelan jari jempol kanan ku sambil menatap Dex, usianya mungkin sebayaku. Ia mengenakan seutas gelang anyaman dari kulit berwarna coklat gelap di tangan kanannya, tidak begitu istimewa tapi gelang itu terlihat kontras dengan gayanya. Dari caranya berpakaian sangat jelas ia bukan berasal dari zamanku, bisa jadi ia sebaya dengan kakek atau buyutku. Wajah Dex sangat menarik, jika ia adalah salah satu murid disini pasti sudah menjadi kegemaran para siswi. Tak terbayang berapa surat cinta yang bisa ia terima dalam satu hari.

“ Yuk kita ganti” ajakan Dinda membuyarkan tatapanku.

Sepanjang lorong menuju kamar mandi, Anne berceloteh dibelakangku. Suara sepatunya sangat khas, mengetuk tegel dengan nyaring.

“ Dex ingin mengatakan sesuatu Amelia, ia tidak bisa mengunjungi rumah lamanya. Bisakah kamu kesana dan menceritakan bagaimana rumah itu sekarang? Apa disana ada Papa dan Mama Dex? Apa rumah itu masih berdiri?” ucap Anne

“ Dex butuh kamu Amelia, aku mohon ” lanjut Anne.

Kukibaskan tanganku kebelakang, aku meminta agar Anne diam.

“ Anne, sudah cukup! Aku tidak bisa membantu kalian. Aku juga punya banyak keterbatasan” batinku

Suasana lorong kini lebih terasa senyap, hanya terdengar suara langkahku, Anggi dan Dinda saja. Aku menoleh kebelakang, mereka berdua sudah lenyap, pergi begitu saja. Hilang ditelan bumi.

Taman terbuka disamping lorong dengan ragam warna bunga yang cantik mengobati perasaanku yang dipenuhi rasa kesal karena ulah Anne. Lorong disamping kelas yang menghubungkan antar ruang sebenarnya tidak menakutkan hanya saja perjalanan terasa sangat lama karena kesunyian yang menyergap jika semua murid masih betah dikelasnya.

Kamar mandi terletak sudut utara disebelah koperasi, ada lima ruangan untuk anak lelaki dan enam ruangan untuk anak perempuan. Aku dan Anggi masuk ke salah satu ruangan sementara Dinda menunggu diluar, kami sepakat untuk bergantian masuk dan tidak ada yang masuk sendirian ke ruangan ini.

Giliran Dinda berganti pakaian, aku yang menunggu diluar. Dinda dan Anggi kini bersama diruangan itu.

Suara kucing yang dalam dan serak terdengar tak jauh dari tempatku berdiri. Sekilas bayangan hitam terlihat berlari diatas tembok, kuikuti dengan tatapanku tapi percuma karena sosok hitam itu hilang cepat sekali. Suara kucing kembali terdengar, kini makin dekat. Kupandangi sekeliling, terlihat Deri berdiri sambil menatapku dari atas tembok pembatas Koperasi. Ia mengeong lagi, suaranya makin dalam dan serak.

“ Deri diam!” ucapku pelan

Mata bulat hijau galak Deri terus menatapku. Ia kibaskan ekornya perlahan, kekanan dan kiri seperti bandul jam dinding dirumah Kakek. Ia kemudian duduk dengan menyelipkan kaki depannya didepan dada. Matanya masih mengawasiku, suaranya terhenti. Ia menatapku makin lekat. Suasana ini sungguh sangat aneh, sama sekali belum pernah aku alami- bertatapan erat dengan hantu kucing.

“ Hush” teriakku.

 

sumber gambar

https://www.cxomedia.id/general-knowledge/20230717152424-55-179101/mengenal-tuxedo-cat-jenis-kucing-yang-katanya-punya-otak-cerdas

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post