Sudah 10  hari lebih, murid sekaligus tetanggaku, Rafi memelihara kucing belang tiga. Meski bukan kucing anggora atau kucing blasteran Rusia, Perpaduan warnanya amat bagus. Coklat, abu-abu dengan semburat warna putih di beberapa bagian badannya. Rafi sangat menyayangi kucing itu. Bahkan dari kakaknya aku dengar kabar kucing itu telah diberi nama Dino. Aku perhatikan dari hari ke hari Dino tumbuh menjadi kucing yang sangat cantik, gemuk dan lulut (baca: patuh) pada Rafi. Aku rasa Rafi juga semakin ‘gila’ dalam memelihara Dino. Terbukti uang hasil angpow lebaran kemarin habis hanya untuk membeli sereal khusus kucing, khusus Dino. Sungguh Dino lebih beruntung daripada bayi-bayi hasil hubungan gelap yang sering kita jumpai di tong sampah.

Hari ini Rafi murung. Hampir seharian penuh ia duduk di teras depan rumahnya. Kucing kesayangannya hilang. Sesekali mata Rafi menjelajah, mencari-cari di mana gerangan kucing kesayangannya itu berada. Nampak wajahnya memerah mungkin lagi kesal tingkat dewa. Tak tahan karena kasihan, aku panggil dia.

“Ada apa Rafi?” Kuawali simpatiku sebagai seorang tetangga sekaligus sebagai guru. “Kucingku hilang Bu Guru.” Suaranya terdengar sangat melas, “ Mengapa sangat susah jadi orang kaya ya Bu, ini baru mulai dah hilang.” Lanjutnya. “Apa maksud Rafi?” Aku sedikit heran. “Apa Bu Guru tidak tahu?! Kalau kita pelihara kucing belang 3, kita akan kaya raya” Sahutnya polos. “Hey ..., kata siapa itu?” rasa tak sabar aku ingin mendengar jawabnya. Dan dengan enteng Rafi menjawab, “Nenekku”. Entah mengapa aku merasa perlu untuk meluruskan hal yang satu ini. “Rafi, sejatinya kaya itu ada di sini” Perlahan kutepuk dadanya. “Kalau Rafi banyak bersyukur maka Rafi akan kaya.” “Betulkah Bu?” Kuanggukkan kepala dengan mantap. Satu sisi aku merasa puas telah menyampaikannya kepada anak berusia belasan itu. Di sisi lain tiba-tiba terbersit dalam anganku untuk memelihara seekor kucing belang tiga. Ya, Siapa tahu?! ..