Remuk Redam
“Beranilah sedikit, Bang. Ajak aku lari, kek. Ajak aku pergi ke manaa… gitu! Biar bisa menentukan nasib kita berdua,” Mikha membelakangi Arsyad.
Tangannya sibuk mengeringkan air mata yang tak henti mengalir. Pundaknya bergetar seiring deru mobil yang melintas silih berganti. Terik yang menyengat makin menambah bara pada luka hati dua insan yang tengah dilanda gundah ini.
“Pergi bagaimana?” mata Arsyad terpejam. Tangannya mengepal. “Kamu tahu, Kha, betapa inginnya aku membawamu pergi ke tempat yang tak ada aturan dan kekangan seperti ini. Aku ingin membawamu sesuka hatiku….”
“Nah, tunggu apa lagi? Aku serahkan hidupku pada Abang. Aku …” Mikha membalik badan.
Kata-katanya terhenti oleh jari Arsyad yang menutup bibirnya. Kedua mata yang berkabut air mata saling memandang. Luka cinta terpahat pada tatapan mereka.
“Hush, istigfar Kha. Kamu berani hidup tanpa restu orang tua? Bagaimana bisa mencari rida-Nya bila tak disertai rida orang tua kita?” suara Arsyad pelan hampir tak terdengar.
“Ya, sudah. Berarti Abang memilih berpisah. Titik. Selamat tinggal.”
Mikha kembali membelakangi. Tangisnya tak tertahan lagi. Arsyad hanya memandanginya dengan hati yang pedih.
Antara marah dan sedih, sebenarnya Mikha mengerti kondisi Arsyad saat ini. Ayahnya sakit-sakitan. Berkali-kali dirawat di luar negeri. Saat pulang ke Indonesia, beliau ingin menyaksikan anak bungsunya menikah dengan jodoh yang sudah dipilihkan olehnya. Mereka berharap Arsyad dapat meraih kebahagiaan dengan gadis cantik lulusan luar negeri itu.
Mikha merasa menjadi wanita yang paling tidak berharga, yang tidak diperjuangkan oleh Arsyad, yang begitu mudahnya ditinggal kekasih untuk patuh pada keinginan orang tua. Sebuah keputusan yang memang seharusnya demikian, namun terasa begitu berat dan tentu saja amat menyakitkan.
Mikha memegang undangan pernikahan dengan pandangan nanar. Arsyad Naufandi dengan Chintya Amira. Diusapnya foto lelaki yang telah memenuhi ruang hatinya. Betapa tampan dan gagah. Sayang bersanding dengan gadis lain. Sayang ia bukan milikku, batinnya. Ia telah menghancurkan segalanya. Haruskah datang memenuhi undangannya? Mampukah menyaksikan kebahagiaan mereka sementara dirinya bersimbah air mata?
Arsyad memohon dengan sangat agar Mikha bisa hadir pada acara tersebut. Ia mengatakan ingin memandangi kekasih hatinya, sepuasnya, sebelum betul-betul tak bisa lagi melihatnya. Sebab setelah pernikahan itu, ia akan tinggal di luar negeri menemani Amira yang masih menyelesaikan pendidikannya. Hm, benar-benar lelaki egois! Ia ingin meraup dua kebahagiaan sementara dirinya harus datang dengan hati yang remuk.
“Mikha, sudah siap, Sayang?” mamanya bertanya sambil membuka pintu kamar.
“Entahlah, Ma. Kayaknya aku gak usah datang ya, Ma? Aku takut …,”
“Tunjukkan kalau anak mama ini gadis yang kuat. Percayalah, Yang Maha Penyayang pasti akan memberi jodoh yang terbaik. Mama yakin itu, asalkan kita pasrah.”
Mikha tidak ingin berbantahan dengan mamanya. Ia segera beranjak mengikuti mama papanya.
Upacara penyambutan pengantin pria baru saja dimulai. Mikha tak mau berlama-lama memandangi Arsyad yang terlihat begitu tampan. Balutan pakaian pengantin membuat raut wajahnya makin bersinar. Ia juga terlihat agak lebih tinggi, mungkin karena memakai terompah yang berlapis hak. Ia memegangi lengan mamanya erat-erat saat menyaksikan calon mertuanya mengalungkan roncean melati pada leher Arsyad.
Suara gamelan terdengar hingar-bingar mengiringi kemunculan Paman Lengser yang menyambut kedatangan pengantin pria. Gaya lengser yang lucu dan mengundang tawa malah membuat kepala Mikha jadi pusing. Rasa mual mulai mendesak lambungnya. Bau aneka parfum yang berseliweran bercampur bau keringat menambah rusuh lantaran hatinya tengah dilanda huru-hara prahara cinta. Antara kecewa dan kesal, Mikha duduk sambil memejamkan mata.
“Ma, pulang yuk?” Mikha mendekatkan mulut pada telinga mamanya. Ia meraih tangan mamanya dan memegangnya kuat-kuat.
“Aduh, pelan dikit dong pegangnya. Masa jari mama mau diremukkan? Mentang-mentang jago bela diri.”
Mamanya meringis dan melepaskan pegangan Mikha lalu mengusap jari kiri dengan tangan kanannya.
“Berisik banget! Pulang yuk, Ma!”
“Jangan kayak anak kecil. Bersabarlah sebentar. Udah selesai juga kita pulang.”
“Ya, udah. Aku pulang duluan saja.”
Mikha siap-siap hendak beranjak dari tempat duduknya.
“Sst… sabar dulu, Sayang… sabar!”
“Aku datang ke sini juga udah berjuta sabar, Ma! Harus sabar bagaimana lagi?”
“Iya, mama ngerti. Tapi kita udah tanggung di sini. Tunggulah hingga selesai ijab kabul.”
“Janji ya, Ma. Hanya sampai akad. Gak terus ikut resepsi.”
Hani, mamanya Mikha, menatap anaknya dengan tatapan prihatin. Sungguh, tak tahan hatinya melihat pandang mata anaknya yang begitu kuyu dan kosong. Ingin rasanya memeluk dan menguatkan, menghibur dan mengatakan kalau cobaan hidup yang berat itu pasti akan berbuah manis.
Mikha mencari tempat duduk yang bersandar ke dinding. Ia duduk kembali dengan mata terpejam. Gadis cantik yang kehilangan keceriaannya itu hanya mengandalkan telinganya mengikuti acara yang pasti akan terasa sangat panjang dan membosankan itu.
Menunggu prosesi akad mereka serasa tengah menahan beban himpitan yang sedemikian beratnya. Gedung yang luas terasa begitu sempit. Pendingin ruangan hampir tak ada pengaruhnya. Tubuh Mikha bersimbah keringat namun tangannya sedingin es.
Di saat seperti itu, ia berharap memiliki pegangan dan sandaran. Tubuhnya bak kapas terkena air. Mama papanya yang tadi ada di kiri kanan justru tak ada di tempatnya. Mereka malah berdiri dan memberikan perhatian khusus pada kedua mempelai. Mikha tak habis pikir, bagaimana mungkin mereka bisa tak peduli pada kesedihannya.
Kedua pihak keluarga besar telah memberikan sambutan penyerahan dan penerimaan calon pengantin. Mikha tidak tahan lagi. Tubuhnya lemas serasa melayang. Pandang matanya kosong. Tak ada lagi air mata yang mampu mengungkapkan isi hatinya. Kerongkongannya begitu kering.
Ia bersandar tanpa daya begitu mendengar kata ‘sah’ yang disuarakan dengan gempita oleh semua orang yang turut berbahagia menyaksikan akad yang sakral itu. Entah mengapa, Mikha benci melihat mamanya mengabadikan momen itu dengan senyum riangnya.
Mitha meraba lehernya seakan hendak menentramkan kerongkongannya. Tangannya beralih memijit pelipisnya karena denyut di kepalanya makin menggila. Lalu menunduk seraya terbatuk-batuk dan hampir jatuh tersungkur.
Tiba-tiba seseorang meraih pundaknya dan menyenderkan tubuh lemas Mikha pada bahunya. Ia menempelkan sedotan dari gelas air mineral pada bibir ranum yang bergetar karena lara. Mikha meminum air itu tanpa membuka matanya.
“Aku mau pulang…,” bisiknya lirih.
“Ya, tenanglah sebentar. Biar nanti kuantar.”
Mikha yang tengah lemas tak berdaya terlonjak mendengar suara itu. Ia tersentak. Suara itu! Ya, suara yang amat dikenalnya! Seketika Mikha membuka mata dan terbelalak demi melihat orang yang tengah memeluknya. Karena kagetnya, ia duduk tegak dan memandangnya lekat-lekat.
“Abang…?” suaranya membisik tertahan.
“Iya, Sayang. Sst… jangan teriak ya. Ini aku. Yang sangat ingin mengikuti langkah saudara kembarku, segera akad denganmu,” jawab Arsyad dengan senyum menggoda.
“Apaa…? Sejak kapan Abang punya saudara kembar?”
Pandangan Mikha mencari-cari keberadaan pengantin. Mereka tengah melakukan sungkem pada kedua orang tua masing-masing. Dengan penuh keheranan, Mikha memandangi pengantin lelaki dan Arsyad bergantian.
“Ya, sejak lahir, dong! Kamu baca undangannya, nggak? Yang nikah itu Arsyad Naufandi, sedangkan aku Arsyad Naufaldi. Kok gak jeli, sih?”
Senyum Arsyad benar-benar menyebalkan! Membuat Mikha terlongo seperti gadis lugu yang baru pertama kali melihat pemuda ganteng yang tengah berada di hadapannya. Kedua tangannya terangkat, siap memukuli dada Arsyad. Dengan cekatan, Arsyad menangkap tangan Mikha. Lembut, dia meremasnya perlahan.
“Sayang, maukah engkau menikah denganku?”
Tasikmalaya, 7 November 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Enin, suka banget kalimat indah mengalir dengan apiknya
Twist yg tidak terduga.
Ooh... Arsyad ingin menggoda mikha nih.. Dasarrr... Keren enin.... Barokalloh...
Selalu keren dan tak terduga. Sukses selalu dan barakallahu fiik
Keren banget. Jempol banyak deh
Ending yang manis, semanis sahabatku Enin yang baik
Mauuu...mauuu bangettt dong. Jawab Arsyad Naufaldi
Keren banget Enin. Endingnya tak terbayangkan sama sekali.
Kejutan yang mengharukan. Keren twistnya Bun. Salam sehat dan bahagia selalu.
Kejutannya terasa