Kerlip Bintang (7)
Gurusiana 474
Waktu terus bergerak meninggalkan semua hal yang memang harus berlalu dari kehidupan. Meski masih banyak yang tertunda atau belum bisa diraih, putaran waktu tak bisa dihentikan barang sejenak. Sedih, duka, sesal, dan lara semua ikut lesap dalam gerak kehidupan. Tak semua ikut menguap, tapi setidaknya beban di hati sedikit demi sedikit ikut memudar.
Di pagi yang cerlang berhias udara segar, Erma menunggu Nufa selesai mandi. Gadis cilik itu selalu riang setiap kali Erma mengurusnya. Erma selalu menyiapkan baju, sarapan, hingga memeriksa buku dan tugas-tugas yang harus diselesaikan. Kedekatan dan kasih sayang mereka sudah terjalin sejak gadis kecil itu berusia tiga tahun.
Sampai kini, saat Erma tiba di tahun terakhir kuliahnya dan Nufa berusia tujuh tahun, keperluannya untuk berangkat sekolah selalu menjadi bagian tugas Erma. Bahkan hingga tiba di sekolahnya, Ermalah yang memegang kendali.
“Kak, nanti pulang sekolah jangan lupa bantuin bikin kerajinan, yaa…?” kata Nufa sebelum berangkat sekolah.
“Bahan-bahannya sudah siap atau belum?” Erma balik bertanya.
“Lha, kan Kakak yang beliin. Biar pas, biar lengkap,” sahutnya sambil tertawa.
“Widiih… enak aja. Emang mau bikin apa?”
“Bikin bunga aja sama vasnya. Kakak kan pinter banget…,” rayu Nufa dengan mata berkedip-kedip manja.
“Aiiih… syedapnya! Ayo, cepet berangkat. Kalau kesiangan, bisa-bisa nanti nangis, deh!”
Sefti tertawa saja mendengar obrolan keduanya. Baginya, Erma bukan lagi karyawannya, apalagi pembantunya. Dia sudah dianggap adik sendiri. Beberapa tahun tinggal bersama membuat Sefti tahu betul karakter Erma. Dia begitu perhatian dan amat sayang pada Nufaira, putrinya.
Pada tahun-tahun terakhir masa kuliahnya, apalagi sekarang sedang mempersiapkan tugas akhir, tebersit rasa khawatir di hati Sefti. Jika sudah menjadi sarjana, kemungkinan besar Erma akan meninggalkan keluarganya dan hidup mandiri. Tak terbayangkan bagaimana Nufa yang selalu bergantung pada gadis itu. Selama ini, Erma memiliki peran penting bagi keluarganya, juga bagi kemajuan tokonya. Sungguh, Sefti merasa sangat beruntung memiliki Erma yang tahu membalas budi.
Sepulang dari mengantar Nufa, Erma segera membersihkan toko. Dibantu Ratna, Erma membuka toko dengan paras wajah yang kurang bergairah. Segaris senyum masih diperlihatkan pada teman kerjanya. Namun, cahaya di bola matanya sedikit meredup.
“Kak Erma lelah, ya? Kelihatan lesu banget,” ujar Ratna.
“Enggak juga,” sergah Erma, “hanya agak kurang tidur saja.”
“Kalau begitu Kakak istirahat saja dulu. Saya biar jaga toko sama yang lainnya.”
“Gak papa. Masih setrong, kok!” jawabnya sambil mengangkap tangannya yang terkepal. Tak urung keduanya tertawa.
Erma menuju kursi kasir. Didudukkannya badan langsingnya yang lesu. Seminggu ini hatinya didera rasa hampa yang terus makin menyesakkan dada. Sebenarnya tidak harus demikian. Karena pada dasarnya, dia hanya perlu berdamai dengan hatinya sendiri.
Sudah cukup lama sebenarnya gadis itu menerima takdirnya. Cinta tak berbalas itu begitu melelahkan. Karena itu dia selalu berupaya melepas dan melapangkan dadanya. Sungguh, Erma berhasil melakukannya. Namun, pertunangan Naya dengan Hardyan sedikit banyak membuat hatinya tergores juga. Angannya yang berandai-andai sangat melelahkan pikirannya.
Padahal selama ini, saat kedua orang tua Naya kurang menyetujui pilihan putri semata wayangnya, Erma memiliki peran penting hingga orang tua Naya berbalik menyetujui pilihan putrinya.
Masih terbayang dalam ingatannya manakala dia diajak makan mamanya Naya.
“Nak Erma ‘kan tinggal di keluarga dosen itu, tentu tahu bagaimana karakter lelaki yang jadi pilihan Naya. Tampan sih, iya. Tapi ketampanan itu bisa jadi gangguan dalam rumah tangga karena banyaknya mata wanita yang akan melabuhkan pandangan. Tante sih, inginnya Naya memilih suami yang bisa menjamin hidup dan masa depan anak-anaknya. Banyak pengusaha muda yang ingin menyuntingnya. Bukan PNS macam itu,” ujarnya berapi-api.
“Tapi Pak Har memang orangnya baik, Tante,” jawab Erma.
“Membangun rumah tangga itu tidak hanya perlu orang yang baik. tapi perlu modal besar untuk menjamin hidup dan keperluannya. Ceritakanlah bagaimana keluarganya.”
“Insyaallah Pak Har memenuhi syarat itu,” lanjut Erma.
Gadis itu menceritakan keluarga Hardyan sesuai yang diketahuinya. Mereka keluarga berada yang selalu santun dan memiliki kepedulian tinggi pada orang lain. Erma berharap, sikap mamanya Naya akan melunak dan menerima Hardyan dengan hati tulus.
Belum lagi upayanya untuk menguatkan Naya. Beberapa kali sahabatnya itu melabuhkan duka dalam pelukannya. Ditumpahkannya segala gundah pada kelembutan sikap Erma. Dia begitu khawatir akan sikap orang tuanya yang meremehkan Hardyan. Hatinya sudah bulat memilih Hardyan, sementara sikap mamanya belum juga merestui.
Kini, setelah misinya berhasil dan orang tua Naya membuka diri terhadap kehadiran Hardyan, bahkan terlihat bahagia dengan pilihan putrinya, justru rasa perih begitu menghunjam. Mengingat kembali semua yang terjadi menyebabkan wajah molek itu semakin berubah mendung. Kerlip bintang yang selalu hinggap di bening matanya kini hilang tersaput awan kelabu. Benar-benar kontras dengan cuaca pagi yang demikian cerah.
Kedatangan pembeli yang memilih busana dan terlihat binar kebahagiaan saat menentukan pilihannya, sedikit mengubah rasa hati Erma. Senyum keramahannya mulai merekah. Pipinya kembali merona menyambut kedatangan mereka. Semakin siang pembeli kian bertambah banyak. Erma tak lagi terkurung suasana hati. Beruntung dia berada pada toko yang selalu sibuk dengan layanan konsumen. Suasana hatinya pun terbawa semringah, pandang matanya kembali menghangat.
Siang hari dihabiskannya di toko yang tak pernah sepi dari pengunjung, malam dimanfaatkan untuk menyusun tugas akhir. Erma bertekad, selepas kuliah dia ingin membahagiakan ibunya. Tak akan dibiarkan ibunya terus menjadi pembantu di rumah Bu Danti. Tak ingin juga dirinya terus berada di bawah bayang-bayang keluarga Bu Sefti.
Tapi, bagaimana dengan Nufaira? Sanggupkah berpisah dengan gadis cilik yang sudah demikian lekat dengan hatinya? Dielusnya rambut anak itu dengan lembut. Dipandanginya kembali Nufa yang terlelap sebelum dia beranjak pindah ke kamarnya.
Bersambung…
Tasikmalaya, 2 Mei 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren ulasannya
Kenyataan pahit yg harus diterima Erma mudah-mudahan nanti berbuah manis, keren Enin
Jadi penasaran dengan lanjutan kisah Erma, cerita yang keren Teh Enin.
semakin penasaran, keren eniin...
Kerlip Bintang, sebuah cerpen yang menarik. Penggambaran tokohnya keren. Bahasa yang digunakan mengalir lancar. Sukses selalu, Bu Teti.
Mudah-mudahan pengorbanan Erma berbuah manis...mengalah untuk menang..semoga itu sebuah kebenaran... salam semangat....
Sungguh berat beban hati Erma. Semoga segera menemukan tambatan hati. Ditunggu lanjutannya Enin sayang. Barokallah.
Sahabat yang baik, mengorbankan kebahagiaan nya untuk sahabat
Emma harus mengalah dan berdamai dengan hatinya, sebab cinta tak memihak padanya. Sabar ya Ma, pasti masih ada cinta di luar sana yang menantimu.
Keren ceritanya
Tenang Erma dibalik duka ada bahagia menantimu...crt yg keren bunda
Menunggu lanjutannya. Sukses