Taupik Rohmansyah

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Konsep IPS dan PIPS (Catatan Sederhana)

Konsep IPS dan PIPS

(Catatan Sederhana)

Menurut Somantri (2010:74) bahwa Pendidikan IPS adalah suatu penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu social, idiologi Negara dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah social terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. NCSS menjelaskan istilah social studies (Pendidikan IPS) yaitu “The term social studies is used to include history, economics, anthropology, sociology, civics, geography and all modifications of subjects whose content as well as aim is social. In all content definitions, the social studies is conceived as the subject matter of the academic disciplines somehow simplified, adapted, modified, or selected for shool instructions”.

Kemudian menurut Fraser and West dalam Social Studies in Secondary Schools, (Somantri, 2010) membedakan pengertian Social Sciences dengan Social Studies. Yaitu bahwa “the Social science are systematically organized, scholarly bodies if knowledge that have been built up through intellectual inquiry and planned research. The social studies, on the other hand, consist of materials selected from the social sciences and organized for instruction of children and youth. The distinction is between systematically structured bodies of scholarly content and psychologically structured selection of instructional content”

Selanjutnya Djahiri (2007:11-12), dalam Kapita Selekta Pembelajaran Pembaharuan Paradigma PKN-PIPS-PAI, menyatakan bahwa “…Ilmu sosial adalah seperangkat disiplin ilmu (cabang ilmu) yang memuat konsep, teori dan konstruksi (construct) teori- dalil tentang manusia dan kehidupan serta lembaga-lembaganya yang tingkat kebenarannya diakui/diterima umum dan dapat dibuktikan serta disusun secara hierarkis-struktural (structural)….Termasuk kedalam Ilmu Sosial a.l. : Ilmu Kenegaraan (a.l. Ilmu Negara, berbagai Ilmu Hukum Tata Negara), Ilmu Politik dengan segala jenis cvabang dan ilmunya, aneka jenis dan cabang Ilmu Hukum, Sosiologi dan Antropologi dengan segala jenis/cabangnya, aneka Ilmu Sejarah, pelbagai jenis/cabang Ilmu Ekonomi dan Psikologi (ilmu Jiwa). Ilmu Geografi bersifat dualistic karena bisa masuk Ilmu Sosial dan bisa juga masuk Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).

PIS (Pendidikan Ilmu Sosial) adalah program pembelajaran ilmu sosial/cabangnya yang secara metodologis mengikuti metoda keilmuan ybs dan secara substansial bersifat hierarkis-struktural dan disipliner. Target menguasai (mastery) secara baik/penuh cabang ilmu yang bersangkutan dan menjadi ahli ilmu dan peneliti ilmu ybs. – Sejauh mana-bisa tidaknya dipakai/diterapkan dalam kehidupan nyata bukan menjaid masalah ilmuwan itu, jadi bisa saja secara keilmuan dia orang hebat namun sebagai praktisi tidak mampu apa-apa. Kajian keilmuan seperti ini menurut hemat kami hanya pas untuk tingkat perguruan tinggi strata S3 (doctor), sedangkan S1-S2 –apalagi level persekolahan- teori dan dalil ilmu itu harus mampu untuk kepentingan pragmatis-praktis.

Berlandaskan pola pikir terahir tadi dan berangkat dari studi kajian khusus untuk pemahaman practical life (kehidupan nyata) suatu/sejumlah bangsa-negara (seperti: African Studies; Asian Studies; Indoneisa Studies dll), para ahli Studi Sosial (Social Stduies) di sejumlah Negara, melalui NCSS (National Council of Social Studies) di Amerika menyusun perangkat cabang ilmu baru yakni Social Studies. Kemudian sekitar tahun tujuh puluhan, tim IKIP Bandung CEREP (Civic Educational Research Program); Pimpinan Prof.Dr.H.A.Sanusi, S.H.) dicoba disusun Program khusus untuk kondisi pendidikan persekolahan dan perguruan tinggi Indonesia dan dilabel dengan Studi Sosial yang selanjutnya diserap secara nasional dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi NKRI dengan label PIPS/IPS dan Studi Sosial.

Program ini secara sadar diarahkan kepada pengenalan dan pembekalan seperangkat pilihan teori/dalil semua cabang ilmu-ilmu sosial yang berguna manfaat untuk pemahaman dan dipakai dalam kehidupan masyarakat bangsa NKRI kini dan esok hari. Pilihan konsep teori dalil dari berbagai cabang ilmu tadi tidak disusun secara structural keilmuan melainkan disusun/diorganisir secara integrative/integrated – hirarkis sikuensial dari sudut pandang psikologis-pedagogik (a.l. tingkat kemudahan-kesukaran konsep, perkembangan usia belaar siswa dll); selanjutnya dikembangkan dan diorganisir secara integrated-tematik-kemasyarakatan/praksis menjadi ilmu pengetahuan (knowledge) yang mudah dicerna dan dipakai siswa dalam kehidupannya.

IPS atau Studi Sosial adalah perangkat program pendidikan yang visinya mengantarakan generasi penerus bangsa menjadi insan sosial yang berpengetahuan (knowledgeable) berbudaya, baik dan fungsional dalam kehidupannya serta siap menghadapi kehidupan riil kini dan esok hari.

IPS sering disebut sebagai program pembelajaran the arts of life (seni berkehidupan). Berdasarkan visi ini, maka misi yang diemban ialah membelajarkan bahan ajar, siswa dan kehidupannya dalam the real things kehidupan.

Dorothy J. Skeel dalam Elementary Social Studies Challenges for Tomorrow’s World (1995:11) menyatakan “The function of social studies should be to assist children in the development of a good self concept; help them recognize and appreciate the global society and its multicultural composition; further the socialization process—social, economic, and political; provide knowledge of the past and present as a basis for decision making; develop problem solving and valuing skills; and footer an active participant role in society; ...As the children learn more about themselves and other people, they realize that others have similar feelings and problems, and they feel better about themselves. Children are then able to relate more effectively to others.. Children dissatisfied with themselves are unlikely to care much about the feelings and concerns of others.

Dari beberapa telaahan mengenai studi sosial, Skeel merumuskan tujuan utama dari Studi Sosial ialah: (1) To improve the individual’s self-concept (untuk mengembangkan konsep diri seseorang/siswa); (2) To recognize the varying abilities of individuals and the worth of each individual. (3) To acquire knowledge of and appreciation for the cultures within society. (4) To increase awareness of an appreciation for the global society and its multicultural composition; (4) To acquire knowledge of global problems. (5) To acquire knowledge of past events and their influence on the present and the future (mengkonstruksi pengetahuan masa lalu dan pengaruhnya terhadap hari ini dan masa depan). (6) To acquire problem solving and valuing skills that provide the basis for decision making.; (7) To acquire social skills that increase communication among individuals.; (8) To acquire knowledge of the economic and political system for effective participation. (9) To foster an attitude that encourages each individual to become an active member of society.

Menurut Ragam Wiliam B, dalam Robert Barr et.al., bahwa “the social studies are concerned with the wide disseminations of information, the development of social skill and the improvement of social behavior. The Social studies program draws materials from the various social social sciences, but also user materials from the local community that can not be properly classified as belonging exclusively to any of them.”

Selanjutnya Prof.Dr. Nasution memberikan definisi: IPS ialah suatu program pendidikan yang merupakan suatu keseluruhan yang pada pokoknya mempersoalkan manusia dalam lingkungan alam fisik maupun dalam lingkungan sosialnya dan yang bahannya diambil dari berbagai ilmu sosial seperti Geografi, Sejarah, Ekonomi, Antropologi, Sosiologi, Politik dan psikologi.

Peluang dan tantangan Pendidikan IPS saat ini.

Merujuk pada pendapat Ahman Sya & Maman Abdurahman (2010:49), bahwa jika ditinjau dari titik pandang masyarakat, kebudayaan dan lingkungan, dapatlah dirumuskan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial itu merupakan suatu studi yang bertujuan untuk membentuk kepribadian individu yang bulat, yang mengetahui masalah sosial yang berhubungan dengan masyarakat, kebudayaan dan lingkungan. Masyarakat sebagai pendukung kebudayaan terdiri dari individu-individu yang mempunyai kebutuhan biologis dan sosial.

Masyarakat dalam penghadapannya dengan perubahan, menjadi tantangan besar bagi peran PIPS, sebab perubahan sosial terjadi hampir di semua sisi kehidupan masyarakat. Seperti diungkapkan Awan Mutakin (2006: 142), bahwa “perubahan sosial dimaksudkan suatu perubahan dalam keragaman jaringan kehidupan sosial atau masyarakat, baik yang mencakup jaringan sistem gagasan (ide), sistem organisasi dan aktivitas sosial, dan mencakup jaringan sistem fisik-material atau teknologi (peralatan dan nilai-nilai kebendaan lainnya). Dalam proses perubahan tersebut tidak selamanya serempak dalam seluruh keragaman jaringan kehidupan tersebut, tetapi awal perubahan bisa dialami oleh salah satu aspek dari ketiga jaringan tersebut, sedngan yang lain-lainnya mengalami perubahan lebih kemudian sebagai konsekuensi dari perubahan-perubahan yang mendahuluinya”.

Oleh karena realitas sosial yang terus berubah, maka pola pengajaran IPS pun menuntun upaya-upaya perubahan menuju kearah yang lebih baik. Malcom P.Douglas (Ahman Sya et.al. 2010) memandang bahwa kurikulum studi sosial itu sebagai bagian dari aktivitas sosial yang berkenaan dengan pengajaran dan proses belajar masalah-masalah sosial, tema-tema atau topic-topik sosial yang penting yang dianggap berguna untuk kesejahteraan hidup dalam masyarakat.

Bernice Goldmark berpendapat bahwa dalam membicarakan masalah-masalah sosial, hendaklah dipergunakan metode inquiry. Dalam pengajaran Ilmu Pengetahuan sosial itu hendaklah mulai dengan “keragu-raguan” atau “ ketidak-puasan” dalam situasi sosial, dan adanya suatu kebutuhan untuk memecahkan masalah tersebut dan berakhir dengan “alternative pemecahan masalah”. Atau dengan istilah Ahmad Sanusi (Ahman Sya, et.al, 2010:48) bahwa studi sosial ialah pembahasan-pembahasan analitis-interdisipliner mengenai masalah-masalah sosial yang terpilih, empiris dan kontemporer.

Kaitan dengan itu, Skeel (1995:195-209) mengemukakan diantara strategi guru dalam membelajarkan moral adalah melalui beberapa pendekatan. Kesatu, Pendekatan perkembangan Kognitif, sebuah pendekatan yang dinisbatkan kepada Lawrence Kohlberg. Dalam pendekatan ini, Kohlberg menyarankan adanya pilihan-pilihan atas moral (moral dilemmas) yang ditawarkan kepada siswa. Dilema moral ini diharapkan mampu menumbuhkan kritisisme siswa atas beragam persoalan yang melingkupi mereka dan menentukan pilihan-pilihan terbaik atas berbagai pilihan itu.

Kedua, Pembangunan Karakter (Character Development). Deklarasi Aspen untuk Pendidikan Karakter mengidentifikasi enam nilai inti: "hormat, tanggung jawab, kepercayaan, kepedulian, keadilan dan keadilan, dan kebajikan sipil dan kewarganegaraan" (Viadero 1992, hal 13). Pada tahun 1991, sekitar 40 persen dari negara-negara memiliki pernyataan kebijakan tentang pendidikan nilai-nilai. Lickona (1988) menyarankan, mengingat sifat dasar siswa, tujuan yang masuk akal untuk pengembangan karakter mencakup sebagai berikut, yaitu Untuk mempromosikan pembangunan diri jauh dari egosentrisme dan individualisme yang berlebihan dan terhadap hubungan kerjasama dan saling menghormati; Untuk mendorong pertumbuhan lembaga moral; kapasitas untuk berpikir, merasa, dan bertindak secara moral, dan Untuk mengembangkan dalam kelas dan di sekolah komunitas moral berdasarkan keadilan, kepedulian, dan partisipasi; Seperti komunitas menjadi moral dan dalam dirinya sendiri, serta mendukung sistem untuk pengembangan karakter masing-masing siswa. (Hal. 420).

Dengan asumsi bahwa tujuan tersebut diimplementasikan dalam kelas, program tersebut akan berusaha untuk berkembang di masing-masing anak agar memiliki sifat-sifat khusus:

1) harga diri yang berasal perasaan bernilai tidak hanya dari comptence tetapi juga dari perilaku positif terhadap orang lain;

2) perspektif sosial-mengambil yang menanyakan bagaimana orang lain berpikir dan merasa;

3) penalaran moral tentang hal yang benar untuk dilakukan;

4) seperti moral nilai sebagai kondness, coutesy, trustworthness, tanggung jawab,

5) keterampilan sosial dan kebiasaan kerja sama; dan

6) keterbukaan terhadap orang dewasa influenceof positif (Lickona 1998, hal 420).

Listen

Read phonetically

Dictionary - View detailed dictionary

1.article

1.sebuah

2.seorang

3.satu

4.sebutir

5.sehelai

6.sebatang

7.sepotong

8.sepasang

9.sepiring

Translate any website

·Marmiton.org-France

·Público.es-Spain

·Gotujmy.pl-Polish

·Focus Online-Germany

·La Información-Spain

·Sueddeutsche.de-Germany

·Venezuela Tuya-Spanish

·Vogue-France

·Nord-Cinema-France

·Tom.com-China

·NouvelObs-France

·Komika Magasin-Swedish

Do more with Google Translate

· Linguists, robots or aliens? Learn about the technology behind Google Translate and how you can help us improve.

· Search for the world's best sushi recipes, in Japanese! Unleash the power of Google's Translated Search.

· Stumbled across a foreign website? Download Google Chrome, a fast and secure web browser with built-in translation.

· Stay in touch with your pen-pal in Paris. Enable automatic email and chat translation in Gmail.Menurut Lickona agar program tersebut berhasil, harus ada empat proses yang terjadi di kelas: 1. sangat penting untuk membangun harga diri dan rasa komunitas. Harga diri adalah penting untuk menilai karakter pengembangan diri mereka sendiri dan tahu bahwa orang lain pada perawatan kelas tentang mereka, lebih mudah bagi mereka untuk melakukan hal-hal yang mereka tahu bahwa mereka seharusnya. Kegiatan yang membantu anak-anak mengembangkan rasa komunitas dan menumbuhkan harga diri tergantung pada guru-guru yang dimulai pada hari pertama sekolah dan berlanjut sepanjang tahun, tidak menyisihkan waktu tertentu, tetapi mengambil keuntungan dari setiap kesempatan bagi anak-anak untuk mengenal satu sama lain, mengakui bagaimana mereka sama dan berbeda, dan mulai percaya satu sama lain.

2. belajar untuk bekerja sama dan untuk membantu orang lain. Bekerja sama untuk menyelesaikan beberapa tugas akademis seperti memecahkan masalah, membangun pelabuhan model, gambar mural, atau berkolaborasi dalam sebuah unit studi membantu mendorong hubungan. Kelas rapat atau lingkaran pertemuan yang dirancang untuk memecahkan masalah yang timbul di kelas atau sekolah mengembangkan tanggung jawab bersama. Memecahkan masalah kebisingan terlalu banyak saat bekerja dalam kelompok atau kegagalan beberapa siswa untuk menyimpan bahan-bahan yang digunakan menjadi tanggung jawab kelompok.

3. refleksi moral, yang "mengacu pada berbagai kegiatan intelektual termasuk membaca, berpikir, berdebat seputar pertanyaan moral, mendengarkan penjelasan guru (misalnya, mengapa salah untuk menjahili anak cacat), dan melakukan investigasi secara langsung untuk meningkatkan kesadaran anak-anak dari sistem sosial yang kompleks di mana mereka berasal "(hal. 422). Moral dilema yang berasal dari situasi kehidupan nyata di sekolah, kelas, atau masyarakat "jauh lebih efektif dalam menarik anak-anak berpikir dan merasa bahwa dilema setiap kaleng 'dari sebuah buku atau kit" (ibid.). Haruskah saya cheat di tes? Haruskah saya mencuri bahwa permainan video dari meja Traci's? Mengapa orang-orang memperlakukan orang lain secara tidak adil?.

4. pengambilan keputusan yang partisipatif, proses yang menyebabkan anak-anak untuk pindah dari membuat keputusan untuk bertindak atas diri sendiri. Hal ini membutuhkan "anak-anak untuk berpartisipasi dalam membuat peraturan atau menyelesaikan konflik kelas, mereka kemudian bertanggung jawab atas keputusan ini, yang akhirnya menjadi norma kelompok operasi" (hal. 423). Beberapa guru menggunakan kotak saran, "sebuah Corner Konflik di mana dua siswa pergi bekerja keluar masalah," dan pertemuan kelas, yang membantu "anak-anak menerapkan penalaran moral mereka dengan perilaku mereka sendiri dan masyarakat sekitar mereka" (ibid.).

Keempat proses tersebut saling memperkuat satu sama lain, guru dapat bergerak "untuk mengembangkan aspek-aspek rasional, afektif, dan perilaku karakter anak-anak".

Ketiga, Pendekatan Klarifikasi Nilai, di perkenalkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (1966), yang menunjukkan bahwa strategi pengajaran harus membantu anak menjelaskan nilai-nilai mereka. Proses penilaian yang ditimbulkan oleh mereka didasarkan pada kriteria sebagai berikut:

1. Memilih dari alternatif.

2. Memilih setelah pertimbangan hati-hati konsekuensi dari setiap alternatif.

3. Memilih bebas.

4. Penghargaan, yang senang pilihan seseorang.

5. Penghargaan, yang bersedia untuk publik menegaskan pilihan seseorang.

6. Bertindak pada pilihan seseorang, memasukkan pilihan ke dalam perilaku.

7. Bertindak atas pilihan seseorang berulang kali, dari waktu ke waktu. (P.30).

Pendekatan ini, berlabel klarifikasi nilai-nilai, "didasarkan pada premis bahwa tidak satupun dari kita memiliki 'hak' untuk men-set nilai dan langsung menyampaikan kepada anak-anak orang lain" (Simon 1971, hal 902).

Keempat, Pendekatan Analisis Nilai, dimana individu mendiskusikan atau daftar bentuk-bentuk alternatif tindakan yang mungkin untuk menyelesaikan konflik nilai, adalah pendekatan lain. Konsekuensi dari setiap tindakan dibahas atau dikejar dalam upaya untuk mewujudkan bagaimana tindakan tersebut akan mempengaruhi mereka semua yang berkepentingan. Isu-isu nilai yang diangkat oleh konflik terdaftar dan dibahas. Individu harus memutuskan yang mana dari masalah nilai-nilai yang paling penting bagi mereka dan mengapa penting bagi mereka. Sebuah pilihan tindakan yang akan diambil harus didasarkan pada apa yang paling penting untuk individu atau apa yang paling dihargai. Strategi ini dapat diimplementasikan dalam berbagai cara. Masalah yang ada dapat disajikan kepada anak-anak untuk di diskusika atas alternatif dan konsekuensinya, atau anak-anak dapat diminta daftar alternatif mereka sendiri dan konsekuensi yang akan didiskusikan kemudian dengan kelas. Anak sebaiknya tidak dipaksa untuk mengekspresikan solusi mereka dan pilihan nilai, jika mereka menunjukkan ragu-ragu. Guru harus menunjukkan bahwa belajar adalah sebuah pilihan bebas.

Salah satu perhatian utama dari pendekatan ini adalah bahwa masalah nilai yang paling rumit dan anak-anak memiliki pengalaman terbatas dengan alasan logis atau moral. Disarankan bahwa anak-anak akan terlalu cepat membuat suatu keputusan tanpa memiliki semua pengetahuan atau fakta yang diperlukan untuk memahami masalah ini. Namun, penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak SD dapat menggunakan model ini untuk membuat keputusan rasional (Dapice et al 1988;. Williams 1972).

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post