Yang tersisa kini hanya lelah. Lelah raga, bahkan mungkin jiwa. Mungkin akibat adrenalin yang terpacu begitu tinggi. Layaknya mesin yang dipaksa harus dijalankan dengan kecepatan tinggi. Namun mesin yang kami miliki tidak sama, tapi harus berpacu dengan medan dan jarak tempuh yang sama. Namun itu semua dapat dilalui sampai ke tujuan. Usaha itu telah tunai, hasilnya pun sudah dituai. Semua puas, semua senang.

Tiga purnama berlalu dengan cepatnya. Lembaran cerita telah terangkum dalam sebuah buku layaknya laporan rencana tindak lanjut yang kami buat. Tebal tipisnya pun tentu berbeda, tergantung seberapa banyak rangkaian cerita yang kami tulis. Namun itu bukanlah hal yang penting. Bab cerita itu akan menjadi kenangan yang tak akan terlupa. Buku itu akan menjadi manuskrip yang menunjukkan bahwa kami pernah berjuang bersama.

Itu akan menjadi sejarah. Sejarah yang tidak akan terlupa. Namun yang terpenting sekarang, bagaimana nanti kami akan mengukir sejarah selanjutnya? Inilah tantangan kami. Gemblengan tiga purnama itu adalah kawah candradimuka kami untuk mengukir sejarah itu. Karena sejarah itu hakikatnya bukan untuk kami, tapi untuk penerus kami. Tidak akan mungkin kami akan mengukir sejarah yang kelam. Tetap semangat kawan untuk mengukir sejarah itu. Terima kasih pada ibu Siti Maria Ulfa, atas semua ilmu yang diberikan. Maafkan segala kegilaan kami selama ini. Semua itu akan menjadi bekal kami untuk mengukir sejarah.