Air Mata untuk Bapak
Setiap pagi, ketika tiba di tempat kerja, tempat yang kutuju setelah face print adalah musholla. Aku ingin bersyukur dan bertaubat kepadaNya, dengan menegakkan sholat dhuha sebelum tenggelam dalam hiruk pikuknya urusan dunia.
Namun ada yang berbeda dengan dhuhaku pagi ini. Aku menikmati dhuhaku, tenggelam dalam taubat dan syukur yang khusuk kepada Allah SWT. Bersyukur sekali karena masih bisa bangun dan beraktivitas setelah hampir semalaman tertidur sejak pulang kerja pukul 17.00 sampai 03.30. Aku terbangun hanya untuk keperluan mendesak yaitu sholat wajib dan ke toilet. Badanku terasa lelah, lemas dan berat sekali. Malam itu seharusnya jadwal kontrol ke dokter pun, aku tunda besoknya. Target harianku untuk membaca Al Qur’an 1 juz pun tak mampu kuselesaikan. Masih bersyukur pagi itu sempat membaca beberapa halaman. Beberapa roka'at berdiri, belum puas rasanya untuk mengungkapkan rasa syukur dan taubat kepadaNya. Masih banyak kekhilafan dan kekurangan yang aku lakukan. Masih juga ada dosa-dosa yang tak kusadari kulakukan. Ampuni hambamu ini. Kutambah lagi dhuhaku beberapa roka’at. Di tengah tenggelamnya diri berduan denganNya, terhenyak hati ini teringat nikmat Alloh yang diberikan kepada putra sulungku. Sudahkah aku bersyukur saat tahu bahwa putra sulungku telah menerima sk capegnya ?
Tiba-tiba mata ini terasa panas, berkaca-kaca dan tak terasa ada buliran hangat tak tertahan mengalir dari ujung mata ini. Dalam do'a-do'a setelah salam pikiranku berkelana ke peristiwa 35 an tahun yang lalu, saat aku lulus sekolah lanjutan.
Saat itu ketika aku lulus SMA, bapakku menyampaikan bahwa aku akan dibantu saudara bapakku yang menjabat anggota dewan dari sebuah partai politik untuk masuk STAN.
“Ti… Bapak habis ketemu Pak Puh Ni di Surabaya. Lalu bapak cerita kalau kamu sudah kelas 3 SMA. Kamu pingin ngga masuk STAN?”
“Wah .. STAN?... Mau Pak… Mau…” jawabku spontan. Seketika itu, mengembang hatiku, bercampur antara kaget, senang, bahagia dan tak percaya. Jelas saja aku mengiyakan. “Terus Pak Puh ni bilang kamu mau dibantu masuk STAN.”
“Iya Pak… Aku Mau…” sambutanku antusias. Siapa sih yang tidak ingin diterima di sekolah yang termasuk favorit saat itu sampai pun sekarang?
“Tapi ada syaratnya. Syaratnya hanya satu kok”.
“Ya Pak… apa syaratanya?”
“Syaratnya adalah kamu harus melepaskan prinsipmu yang satu itu” terang bapakku dengan tegas sambil menunjuk kepalaku.
“Haah….” Aku terperanjat kaget.
“Ya Robbi….”, deg..deg..dear.. hatiku bagai disengat halilintar. Apakah aku harus pertaruhkan aqidahku hanya untuk keperluan masuk ke sekolah ? Apakah aku harus korbankan prinsipku hanya untuk keperluan urusan dunia ..? Yah memang Sekolah itu .. cukup terkenal dan menjanjikan secara materi. Banyak yang berebut untuk bisa diterima di sana . Tapi apakah harus aku tanggalkan perintahNya? Dan saat itulah... Aku yang biasanya halus, lembut, penurut berubah menjadi pemberani. Aku memberanikan diri menolak dengan tegas dan mungkin sedikit emosi...
“Nggak bisa Pak…Aku nggak bisa”. Aku ngga mau melepas keyakinanku untuk menanggalkan perintah berhijab,” jawabku tegas dan agak emosi. Syarat yang bertentangan dengan prinsipku.
“Astaghfirullah…Ampuni hambaMu yang berlaku kurang baik kepada orang tuanya. Ampuni juga Bapakku karena ketidaktahuannya tentang syariat agama. Maafkan putrimu ini, bapak…” harapanku kepadaNya dengan buliran bening mengalir dari kedua ujung mataku.
Pagi ini, serasa aku ingin berlari dan memeluk bapakku untuk menyampaikan kabar gembira ini.
“Pak... Cucumu, putra sulungku sudah lulus dari sekolah itu. Bima sudah lulus dari STAN . Pak… Bima sekarang sudah mendapatkan SK sebagai calon pegawai pajak seperti yang Engkau inginkan dariku.” wajah bapak terbayang di pelupuk mata dengan deraian air mata yang semakin deras mengalir. Karena ngga mungkin aku bisa memeluk dan menyampaikan ini, karena bapakku sudah istirahat dengan tenang di sisiNya.
"Pak… terkabul sudah harapanmu dulu, agar aku sekolah di STAN, meski tidak olehku, tapi oleh cucumu. Oleh Bima, cucumu… cucu yang engkau sayangi. Cucumu yang dulu masih sempat engkau gendong, engkau bonceng di motor tuamu dan engkau jaga beberapa hari ketika aku harus berjuang melahirkan adiknya.“ pikiranku mengembara. Masih terbayang ketika beliau akan meninggal pun di saat-saat terakhir yang beliau inginkan adalah bertemu dengan cucu-cucunya itu.
“Pak…Maafkan, maafkan putrimu ini,” serasa aku ingin memeluknya, meminta maaf dan menyampaikan kabar gembira ini.
Sedangkan perjalanan putra sulungku sampai detik ini, sungguh diluar dugaanku dan tak kusangka seperti mengalir begitu saja.
Setelah sekian puluh tahun cerita ini kusimpan, ternyata dalam dhuhaku pagi ini , Allah menyadarkan diri ini bahwa DIA sungguh Maha Berkuasa dan Maha Agung. Harapan atau keinginan bapakku atau mungkin sedikit penyesalan diriku sendiri kepada mendiang bapakku terbayar sudah hari ini. Masih dengan air mata yang mengembang, mengalir aku menuliskan semua ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Menginspirasi sekali, Bu..salut
Terharu bacanya. Selamat ya Bu untuk kesuksesan putranya
Menarik ceritanya bu, jadi kangen bapak saya
Masya Allah. Luar biasa. Salam Literasi.
Sangat mengharukan. Semoga sukses anaknya ya Bun
Masya Alllah