7. ES BOBA RASA VANILA
GORESAN PENAKU #587
“Kenapa tadi tidak disampaikan langsung kepadaku?”
“Mbak Alma nggak enak hati, Mbak. Mbak Alma memang berhati lembut dan nggak tegaan. Dia nggak ingin melihat Mbak Danira terluka atau kecewa.”
Danira tersenyum tipis. Hatinya semakin yakin akan kebaikan dan ketulusan hati Alma. Gadis itu memang layak bersanding dengan lelaki terbaik. Dan lelaki itu adalah Muhammad Raka, lelaki yang pernah hadir di kilas masa lalunya.
Dihelanya napas panjang, lalu dibukanya titipan itu. Namun sebelum dia selesai menarik pita berwarna merah maroon itu, terdengar Salwa berkata, “ Tunggu dulu, Mbak. Aku pulang dulu, baru dibaca.”
Gadis itu tertawa, lalu melangkah meninggalkan dirinya setelah mengucapkan salam. Tak menghiraukan tatap matanya yang penuh dengan tanda tanya.
Ketika bayangan Salwa telah menghilang dari pandangan matanya, dia segera menarik kursi dan terduduk kembali. Hatinya tergetar ketika melihat undangan pernikahan dengan dua nama yang dikenalnya tertera di sana. Sejenak ada rasa kehilangan berbalut gundah, namun segera ditepisnya. Senyum mengembang di bibirnya. Dia paham, bagaimanapun indahnya sebuah perpisahan, rasa kehilangan itu senantiasa ada.
“Maafkan aku, Mas Raka dan Alma. Jika aku memang belum bisa mengikhlaskan semuanya, percayalah, aku akan mengajari hatiku untuk bisa menerima semua kenyataan ini. Selamat berbahagia. Doaku untuk kalian berdua,” bisiknya lirih.
--
Grha serba guna di utara alon-alon kota jelang siang ini terlihat ramai. Banyak kendaraan terparkir di sana. Alunan penyanyi yang menyenandungkan lagu cinta terdengar lembut mengalun. Danira berjalan tenang menuju ke arah pelaminan. Menemui kedua mempelai yang hari ini terlihat seperti raja dan ratu. Keanggunan mempelai wanita terpancar paripurna. Senyumnya langsung mengembang ketika melihat kehadiran Danira.
“Selamat, Alma. Semoga sakinah selamanya. Aku turut berbahagia,” kata Danira sambil menjabat tangan Alma. Dipeluknya perempuan cantik itu dengan keikhlasan hati yang diam-diam telah menyusup di hatinya.
Setelahnya, diucapkannya kalimat selamat yang sama untuk Raka.
“Titip Mbak Alma, Mas Raka. Semoga kebahagiaan akan senantiasa melingkupi kalian berdua,” katanya sambil menangkupkan kedua tangannya di dada. Kali ini, sudah tak ada riak kecewa yang mencoba merayunya. Dia sangat paham, catatan takdir sudah ada yang menentukan. Dia hanya berharap, catatan takdirnya juga akan berlabuh pada satu titik bahagia.
“Aamiin. Terima kasih, Dan. Kamu baik. Insyaallah, Allah akan mempertemukanmu dengan jodoh terbaik,” jawab Raka. Senyumnya mengembang. Tangannya menggamit pinggang istrinya. Perempuan baik yang sedianya akan diikatnya dengan sebuah pertunangan namun karena kesibukan kerjanya, kemudian atas persetujuan kedua keluarga langsung dihalalkannya dengan akad suci sebuah pernikahan.
Danira mengangguk lalu menguntai senyum sambil memohon diri. Langkahnya mantap terayun keluar. Bibirnya menyunggingkan senyum kala didengarnya lagu Harusnya Aku milik Armada dibawakan dengan apik oleh penyanyi cantik itu. Digelengkannya kepalanya perlahan, lalu mempercepat langkahnya.
“Harusnya aku segera berlalu dari sini. Masih banyak tanggungan yang harus aku selesaikan,” bisiknya pada hatinya sendiri. Langkahnya terayun kembali. Tepat di pintu grha dia menghentikan langkah, menoleh kembali dan menatap kedua mempelai. Dia tahu, mungkin ini pertemuan terakhirnya dengan Raka sebelum lelaki itu membawa Alma menuju Kalimantan, tempatnya bekerja.
Ditariknya napas panjang. Menuruni deretan anak tangga, kakinya lincah melangkah. Tas tangannya terayun seiring langkah kakinya. Di luar gerbang, seorang anak perempuan seusia Salwa menengadahkan tangannya. Seketika dia berhenti. Merogoh dua lembar uang dua puluhan ribu dan diserahkan kepada anak itu.
“Terima kasih, Mbak,” kata anak itu.
Seketika empatinya menguar. Gadis itu menampakkan kejujuran dan ketulusan di netranya. Dia sangat paham, keadaan yang memaksanya menjadi pengemis.
“Kamu mau berhenti mengemis, Nak? Ikut Mbak jualan es boba.”
Gadis kecil itu menatapnya penuh tanya. Danira mengangguk seolah memberi keyakinan. Senyum gadis itu terkembang, lalu pelan menjawab, “Iya, Mbak. Aku mau.”
Mereka melangkah berdua sambil tersenyum ceria. Langit nampak cerah. Secerah suasana hati Danira. Cinta ternyata tak seluruhnya hilang dari hatinya. Gadis kecil itu mengajarkan arti syukur yang tak bertepi kepadanya. Dia sangat mengerti, Allah tak akan membiarkan seseorang yang baik pergi, kecuali menggantinya dengan yang lebih baik.
Di dalam angkota itu dia mencoba menikmati perjalanannya. Menatap jalanan yang tak pernah lengang dari balik kaca jendela angkota. Diambilnya napas panjang. Rasa haus menyergapnya. Dia tersenyum kembali. Bayangan es boba nampak di pelupuk netranya. Ahh, hidup ternyata sesegar es boba dan semanis vanilla jika kita mau menikmatinya dengan tanpa terpaksa.
(selesai)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Top bgt kisahnya
Yah.. Selesai.. Pingin lagi.. Ukhti.. Es bobanya.. Hehe.. Kewren bingits cerpennya.. Barokalloh...
Passtii kisah dengan alur dan tokoh yang selalu memikat. Maaf enin baru membaca bagian akhirnya.
Keren banget ceritanya Bunda. Salam sukses dan sehat selalu