21. SEBAIT KIDUNG RINDU
#Tagur 365
#Hari ke-39
Malam semakin larut. Kuhitung detik demi detik yang berpacu dengan detak jantungku. Aku terjaga setelah beberapa saat tertidur usai salat isya dan minum obat. Hatiku merasa tak nyaman. Ada gemuruh rasa tak menentu yang mengendap dan berdiam di sudut hatiku setelah melihat punggung Shinta berjalan meninggalkan ruang perawatan ini.
Kutatap ibu yang tertidur di sofa. Aku merasa tak tega, melihat perempuan yang kuat mengasihiku itu harus tidur dengan kondisi tak nyaman begitu. Sebagian selimutnya terjatuh di lantai, namun aku tak bisa merapikan dan membetulkannya. Aku belum bisa leluasa bergerak karena selang infus yang menancap di lenganku.
Di sisi kanan ibu, nampak Miranda tertidur pulas. Mungkin gadis itu lelah setelah perjalanan panjang yang dilaluinya untuk sampai ke sini. Aku menarik napas panjang. Menyadari jika sampai kini aku tak pernah bisa memaksa hati untuk menyambut rasa yang gadis itu tawarkan, meskipun dengan kedekatan keluarga kami, Om Alfian pernah meminta ibu agar bisa mengupayakan sebuah perjodohan untuk kami.
“Maaf, Buk. Bukannya Firman menolak. Tetapi Miranda terlalu sempurna untuk dijadikan istri. Dia mandiri, cerdas, dan dari keluarga berada. Firman mungkin tak akan punya arti jika berdiri di sampingnya. Miranda sudah benderang, cahaya Firman justru akan meredup jika bertemu dengan sinar yang dipancarkan Miranda. Lebih baik, kami bersaudara saja. Miranda mungkin akan lebih pantas jika menjadi adik Firman. Kemanjaan dan keceriaannya akan menghidupkan kesunyian rumah kita. Tawanya yang membahana akan mampu merekatkan persahabatan keluarga kita yang terbangun sejak Ibuk dan Ayah berjuang untuk meraih sarjana. Kedekatan kami, akan terus menyambung tali silaturahmi dan menjadi pengingat, bahwa Om Alfian pernah selalu ada membantu keluarga kita ketika ayah sakit dan perekonomian kita berada pada masa sulit.”
Aku ingat kataku saat itu. Saat aku baru saja diterima kerja di sebuah bank milik pemerintah dan Om Alfian menyampaikan wacana perjodohan itu. Aku bukannya tak menyukai Miranda. Sebagai lelaki jelas aku suka dengan gadis itu. Tetapi hanya sebagai kakak, saudara, atau sahabat. Aku sama sekali tak bisa membujuk hatiku untuk menerima sinyal cinta yang Miranda isyaratkan.
“Apakah hasilnya sama jika Ibuk memberimu kesempatan untuk belajar?”
“Maaf, Buk. Bahkan jika Firman memaksakan diri dan hati pun, rasanya hasilnya akan tetap tak ada.”
“Apakah sudah ada satu hati yang menguatkan keteguhan cintamu?”
“Nggih, Buk. Ada. Meskipun Firman tak yakin mampu merebut kasihnya, namun kepada hati yang ini, Firman percaya akan bisa mengajari hati ini untuk sabar menanti.”
“Siapa gadis beruntung yang mampu membuat putra Ibuk menggelapar asa seperti ini? Dia pasti sangat istimewa.”
Aku tersenyum sendiri ketika ingat kala itu. Kala ibuk dengan segala penasarannya tak jua mampu membuatku menyebutkan nama gadis terpuja itu. Hingga akhirnya perjalanan waktu mampu membuka tabir yang selama ini aku rahasiakan. Ibuk dengan kebijaksanaannya mampu menebak jika Shinta adalah gadis istimewa itu.
“Hmm, pilihanmu ternyata tak salah, Nak. Ibuk setuju.”
Lalu setelahnya, Ibuk berusaha membuat kami dekat, tentu saja dengan caranya yang sungguh sangat elegan. Sesuatu yang sangat melegakanku sekaligus membuatku sangat bangga kepada perempuan luar biasa yang kupanggil ibu itu.
Tanpa sadar aku tersenyum sendiri. Menyadari jika aku memang sangat mengasihi Shinta. Gadis lembut dan pendiam dengan kisah masa lalu yang getir itu. Gadis sederhana yang aku yakini akan mampu membuat hidupku menjadi semakin benderang dengan warna-warni yang istimewa.
Aku telah selesai bertayamum dan akan bersiap menunaikan qiyamul lail ketika kulihat gawaiku yang berada dalam mode silent berkedip. Hatiku bahagia, ketika membaca pengirimnya. Pesan dari Shinta. Kuabaikan sejenak untuk salat tahajud dan memanjangkan wirid dan doa, meskipun hanya bisa kulakukan sambil berbaring saja. Usai menderas Al Quranku, aku berniat akan tidur kembali.
Kuraih gawaiku dan kubaca pesan dari Shinta dengan hati yang berbunga. Namun larik kalimat pertama yang kubaca, membuat bunga-bunga itu menguncup kembali. Pandanganku berkunang-kunang dan tetiba kurasakan kepalaku berdenyut kembali.
“Dik Shinta, apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa?”
(bersambung)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ada apa ya Shinta ? Keren ceritanya
Sukses selalu buat ibu... Salam literasi