Sekolahku, Rumah Keduaku !
Di pelataran depan kelasku. Untuk kesekian kalinya , Aku menulis puisi pagi yang bernama "Rindu”. Rindu saat mata memandang pada hijaunya dedaunan dan padang rumput yang terhampar luas laksana permadani. Sejenak ku termangu dibuatnya. Lamunanku berawal darisana.
Masih terasa segar di ingatanku waktu itu, dimana aku sedang berdiri menyaksikan beragam tingkah polah para siswa disekitar lapangan. Aroma keceriaan tampak selalu hadir di tengah hiruk pikuk mereka. Sebagian tak hentinya bercengkrama diselingi gelak tawa atau berceloteh nakal dengan kawan sepermainannya . Namun ada juga sebagian dari mereka melontarkan serapah diiringi sedu sedan karena berselisih paham. Kalau sudah begitu, barulah mereka belari menghampiriku, mengadukan segala sebab berikut bantahan dari kawannya yang terlapor. Layaknya seorang ibu bagi mereka, ku berusaha menenangkan sekaligus mengambil jalan keluar yang sama-sama menentramkan semua pihak. Sesekali suaraku melengking nyaring, memarahi siswa yang bermain bola tanpa aturan. Dasar bocah! Batinku. Sejam yang lalu ku peringatkan, sejam kemudian sudah lupa dengan semua pepatah. Dan tiba-tiba saja, bapak pimpinan memanggilku ke kantor. Aku terkesiap. Baru menyadari bahwa hari ini deadline untuk penyelesaian tugas administrasi guru yang harus di tandatangani beliau. Aku segera beranjak menuju meja kerja dengan setumpuk berkas yang belum kususun rapih.
Begitulah aku melewati hari demi hari di sekolah, di sebuah tempat yang bagaikan rumah kedua bagiku. Alasan kenapa aku menyebutnya demikian, Itu karena aku punya rasa memiliki yang hampir sama dengan rumahku sendiri. Siswa siswiku kuperlakukan seperti anak-anakku sendiri. Aku memang cerewet dan tak tahan untuk mengkoreksi kelakuan yang keliru dari siswa-siswiku. Tak mengapa jika mereka bosan, jengkel bahkan ada yang mengolok-olok di belakangku. Bagiku, kesabaran adalah sebuah rasa tanpa batas. Rasa yang harus dimiliki setiap guru. Kalau cuma mengajar saja, setiap orang bisa melakukannya. Tapi hanya guru yang mampu mengajar sekaligus mendidik.
Ketika salah satu anak gadisku, aku menyebutnya demikian pada seluruh siswiku, menangis, Maka aku segera memeluknya hingga tangisannya reda. Setelah itu baru ku ajak ngobrol tentang masalahnya. Dan apapun masalahnya ku tak pernah menghakimi mereka. Aku hanya berusaha mencari jalan keluar yang hanya bisa dilakukan atau sesuai di usia mereka yang masih remaja. Rata-rata persoalan mereka tak hanya seputar masalah asmara ABG alias cinta monyet, tapi kebanyakan justru berasal dari faktor keluarga atau lingkungan rumah mereka sendiri.
Terkadang aku begitu lelah, dan berpikir untuk segera pensiun lebih cepat sebelum usiaku menginjak masa menopause. Aku ingin sekali menikmati liburan panjang ke berbagai destinasi wisata di negeri ini. Menjadi traveller sekaligus penulis adalah impian indahku sejak kecil. Tapi itu mustahil terwujud dalam kondisiku sekarang yang masih memiliki anak usia sekolah dan terikat tugas negara. Meskipun menikmati liburan dua kali dalam setahun, kenyataannya, waktu lebih banyak dihabiskan untuk rutinitas di rumah atau kegiatan yang tak sempat dikerjakan selama minggu efektif di sekolah. Kalaupun bepergian keluar, paling aku cuma mengunjungi sanak keluarga terdekat dalam satu wilayah. Akupun jarang mengunjungi kota kelahiranku. Coba aku dari dulu minta pensiun muda, pasti punya banyak kesempatan untuk bertemu saudaraku disana, keluhku membatin.
Lamunanku buyar saat seorang siswa memanggilku.
" Ibu, saya izin dulu mau pulang."
" Lha! Kenapa ? Baru jam istirahat, Nak!" tukasku.
Anak gadisku tampak cemas dan menjawab malu-malu, " Saya lagi datang bulan, lupa pakai popok. Eh! Maaf bu maksud saya pembalut. Tapi jangan bilang siapa-siapa ya buu... ,"
" Hehe...Dasar bocil! Sudah besar masih ngompol, " candaku. " Boleh! Minta izin dulu sama guru piket. Udah cepet pulang!”
Dia mencium tanganku. Matanya berbinar. Mungkin kecemasannya hilang saat ku izinkan pulang. Ada puluhan mungkin ratusan pasang mata lainnya yang membutuhkan pengertianku, perhatianku, dan segenap pengayomanku sebagai orang tua mereka di sekolah. Mereka, para siswaku, mengharapkanku berdiri pada posisi bukan sebagai penyalur ilmu semata tapi juga orang yang bisa dekat di hati dan pikiran mereka. Untuk bisa memenuhi harapan itu, sungguh bukan pekerjaan ringan. Tak mungkin menjadi guru biasa-biasa saja, tapi harus menjadi guru yang punya rasa memiliki. Memiliki sekolah dalam makna yang membangun. Membangun kesadaran bahwa sekolah adalah rumah kedua bagi seorang pendidik.
Inilah yang sementara membuatku lega. Lega untuk menunda kembali impian indahku. Mungkin belum saatnya ku meninggalkan rumah keduaku. #We love What We do# Chapter 6
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar