Telur Mata Sapi (Part -2)
Pagi yang cerah. Bias mentari menerobos ruang dapur lewat celah dinding bambu yang sudah reyot. Bu Ambar bergegas menuju dapur untuk menyiapkan sarapan buat kedua putrinya. Pagi ini rencana mau buat nasi goreng kesukaan putrinya ditemani telur mata sapi.
Ria belum juga muncul di dapur. Sudah jam segini Ria kok belum muncul di dapur, guman bu Ambar dalam hati. Kemana tuh anak, biasanya jam segini dia sudah bikin teh manis. Reni juga kemana sih? Sambil mengulek bumbu nasi goreng bu Ambar berteriak memangagil ke dua putrinya.
Ria,,, Reni,,, Kalian belum bangun? Teriak bu Ambar dari dapur. Sepi tak ada yang menyahut. Ah biarlah mereka tidur dulu kan mereka juga libur, nanti baru kubangunkan kalau nasi gorengku sudah siap, guman bu Ambar. Mungkin mereka masih mengantuk karena tadi pukul 04 shubuh sudah bangun. Bu Ambar memang sudah menerapkan kebiasaan bangun lebih awal agar bisa melaksanakan shalat sunat Fajar sebelum shalat shubuh pada kedua putrinya, kebiasaan ini diperoleh dari kedua orang tuanya dulu.
Setelah nasi goreng dan telur mata sapi dihidangkan di meja makan, bu Ambar bergegas ke kamar putrinya. Bu Ambar tertegun di pintu memandangi kedua putrinya yang tertidur. Belum lagi bu Ambar melangkah masuk, Ria sudah terbangun mendengar suara pintu kamar dibuka.
Dengan tersenyum malu Ria minta maaf karena lambat bangun, lalu bangkit menuju kamar kecil yang terletak di dapur.
Bu Ambar menghampiri Reni yang masih pulas, lalu membangunkannya. Reni, bangun saying! Sudah siang, ibu sudah buatkan nasi goreng kesukaan kalian. Dengan malas Reni membuka matanya yang masih mengantuk, tapi karena mendengar nasi goreng dia bergegas bangun. Maklum takut keduluan sama kakaknya. Mereka memang suka saling jahil kalau ada nasi goreng kesukaannya.
Ria yang baru dari kamar mandi mencium bau nasi gorang dimeja makan. Ria lalu menyiapkan piring dan teh manis untuk sarapan. Mereka bertiga lalu sarapan nasi goreng dan telur mata sapi.
Bu, minta telurnya! Reni menyodorkan piringnya.
Bu, kok telurnya begini sih?
Kok kuningnya masih utuh begini, telur apa namanya ini bu? Reni bertanya sambil menunjuk telur mata dipiringnya.
Ini namanya telur mata sapi sayang, kuning telurnya memang tidak dihancurkan. Bu Ambar menjelaskan perbedaan telur telur mata sapi dengan telur dadar yang biasa dia hidangkan. Reni menyimak penjelasan ibunya tentang telur mata sapi sambil menikmati nasi gerongnya.
Jam menunjukkan pukul 10 pagi, mereka semua kembali beaktifitas seperti biasa.
Ria kuliah online dan Reni bermain dikamar.
Bu Ambar yang guru kelas 1 SD menjelaskan kepada muridnya (didampingi orang tua) tentang cara membuat pelangi dengan menggunakan tissue, air dan pewarna makanan. Bu Ambar menginformasikan ke orang tua murid tentang pentingnya mendampingi anak saat belajar, disamping dapat mengetahui perkembangan anaknya, mereka juga dapat merekam saat pembelajaran berlangsung dan mendokumentasikan hasil kegiatan anaknya untuk dikirim ke guru sebagai bahan penilaian perkembangan anak. Setiap selesai memberikan pembelajaran lewat online kepada muridnya, bu Ambar selalu menitipkan pesan kepada orang tua agar selalu mengajak anak melakukan hal – hal baik di rumah, sebagai pembentuk karakter anak terutama pembiasaan berdoa sebelum dan sesudah melaksanakan kegiatan apapun dan yang lebih penting adalah pembiasaan melaksanakan ibadah, baik yang muslim maupun yang non muslim. Sebelum bu Ambar menutup kegiatannya, beliau tak lupa mengingatkan lagi agar semua kegiatan anak kalau bisa direkam atau di foto.
Alhamdulillah, semua kegiatan hari ini sudah selesai, saatnya istrahat dan tidur siang.
Reni, ayo kita bobo siang sayang.
Iya bu tetapi bobonya sama ibu ya, kata Reni merajuk sambil menarik tangan ibunya ke kamar.
Ria tak mau ketinggalan, diapun ikut ke kamar bersama ibu dan adiknya.
Dikamar mereka tidak bisa tidur dan hanya ngobrol kesana kemari sambil bersenda gurau. Tiba – tiba Reni teringat tentang telur mata sapi tadi pagi. Bu, kenapa sih, ada telur dinamakan telur mata sapi, padahal itu telur ayam, mengapa bukan telur mata ayam?
Apa ayam tidak marah sama sapi karena telurnya baru dikatakan mata sapi bukan mata ayam? Reni bertanya begitu karena merasa penasaran dengan nama mata sapi. Bu Ambar dan Ria saling berpandangan sambil tersenyum. Bu Ambar berpikir sejenak lalu berkata, Reni, ibu juga dulu pernah bertanya seperti itu pada nenek mengenai telur mata sapi itu. Terus nenek menjawabnya melalui sebuah cerita yang intinya mengajarkan kita supaya tidak bersikap sombong dan tidak iri hati kepada sesama ciptaan Tuhan. Bu cerita donk, aku sama Reni mau mendengarkan, kata Ria. Baiklah, begini ceritanya.
Dahulu kala semua makhluk Tuhan itu dapat berbicara seperti manusia juga. Suatu ketika, anak ayam bersama induknya sedang bercengkrama dikandangnya, tiba – tiba anaknya bertanya kepada induknya.
Anak Ayam:Mak, kita semua kok namanya sama ya (Ayam) gak seperti manusia, masih kecil sudah punya sendiri seperti Mail, Amir, Didik, Munim, Ramrau, Purnima, Lea, Devi,Cicik, Anto, dan masih banyak nama yang lain
Induk Ayam: Nak, manusia itu kalau masih hidup memang namanya banyak tapi nanti kalau sudah mati, namanya hanya satu yaitu: MAYAT. (Terbalikkan…)
Lain dengan kita bangsa ayam, kalau kita sudah mati nama kita berubah banyak sekali. Ada yang namanya: Ayam Goreng, Ayam Bakar, Ayam Panggang, Ayam Penyet, Ayam Rendang, Opor Ayam, Gulai Ayam,Soto Ayam, Bubur Ayam dan masih banyak lagi yang belum mama sebutkan, kata induk ayam.
Anak Ayam : Oh gitu ya... Mak...
Induk Ayam: Iya… Jadi kita tidak boleh iri sama ciptaan Tuhan terutama sama manusia karena mereka itu kalau sudah mati, tidak berguna lagi dan tempatnya juga Cuma satu yaitu KUBURAN.
Tetapi bangsa kita walaupun sudah mati masih dibutuhkan untuk jadikan lauk paut dan tempatnya kita itu bisa dimana saja, mulai dari warung – warung kecil dipinggir jalan sampai ke di restoran -restoran berbintang lima (Mewahkan…)
Anak ayam hanya manggut – manggut mendengarkan penjelasan mamanya. Sebelum mengakhiri penjelasannya, mama ayam berkata, nak itu artinya kita tidak boleh memendam rasa iri sama siapa pun, karena setiap ciptaan Tuhan pasti punya kekurangan dan kelebihan masing – masing sesuai kodratnya.
Demikian cerita nenek dulu. kata bu Ambar mengakhiri ceritanya.
Ria… Reni… hikmah yang dapat kita petik dari cerita tadi yaitu kita tidak boleh sombong dan iri bagi sesama ciptaan Tuhan. Nah seperti telur mata sapi walaupun terbuat dari telur ayam, tetapi ayam tidak iri kok sama sapi.
Selanjutnya yang perlu kalian ingat bahwa manusia kalau sudah mati tidak berarti lagi karena sudah dikubur dan hanya amal perbuatan baiknya saja yang akan selalu dikenang sepanjang hayat. Jadi mari selalu berbuat baik di dunia ini sebagai bekal di akhirat nanti. Karena hanya amal baik yang menolong kita masuk surga.
Nah Ria sama Reni mau masuk surga kan, kalau mau masuk surga jangan suka bertengkar apalagi baku cambak (bahasa Luwu = bermusuhan). Mereka saling berpelukan pertanda saling menyayangi dan saling meminta maaf bila pernah melakukan kesalahan.
Mereka tidak jadi tidur siang gara – gara telur mata sapi. Bu Ambar melirik jam dinding yang tergantung di atas meja belajar sambil berguman ternyata sudah hampir masuk waktu ashar.
Ria… Reni… bangun yuk…!
Kita mandi baru shalat ashar berjamaah.
Ria dan Reni bergegas ke belakang untuk mandi sore.
Tunggu cerita selanjutnya!!!
Marhaban ya Ramadhan…
#Stayathome
#TantanganGurusiana
#TantanganMenulis H-49
*Corona Mengubah Segalanya*
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar