Doa, Mimpi, dan Asa
#tantangangurusiana
#tantangan hari ke-6
Pengumuman kelulusan telah terlewati. Hampir semua teman-temanku telah disibukkan dengan persiapan keberangkatan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar daerah. Tetapi tidak bagiku. Aku telah didaulat oleh orang tuaku untuk hanya mengenyam pendidikan cukup sampai SMA saja. Hal ini bukan tanpa alasan. Kedua orang tuaku merasa tak mampu untuk membiayai pendidikanku hingga ke perguruan tinggi. Bukan tak ingin aku berangan untuk menjadi seorang mahasiswa. Akan tetapi, angan itu telah kukubur dalam-dalam dan tak kan mungkin untuk kubangkitkan kembali.
***
Azan Shubuh belum berkumandang, tetapi aku sudah sejak jam 02.00 tadi duduk bertafakur di selembar sajadah. Tetesan air mataku telah deras mengalir. Sederas aliran kalimat tauhid dan zikir yang terurai dari bibir ini. Menengadah aku ke hadirat Ilahi setelah menyelesaikan ibadah Tahadjud. Untuk saat ini permintaanku hanya satu, memohon kepada Sang Pemberi untuk segala kemungkinan bagi diriku agar dapat melanjukan pendidikan.
***,*
"Aini tidak melanjutkan sekolah lagi karena tidak memiliki biaya," cerita ibu pada suatu sore kepada bibi Ati, adik ibu, di teras rumah. Hanya itu yang kudengar. Selanjutnya yang terlihat ibu memeluk Bibi Ati sambil menangis. Tapi Aku yakin itu bukanlah tangisan kesedihan. Berderet kata terima kasih diucapkan ibu pada bibi Ati setelah itu, sambil bibirnya menyunggingkan senyuman manis.
**,**
Tepat ketika Bibi Ati sudah pulang, ibu pun menghampiriku.
"Nak, lusa kita berangkat ke Jogya," kata ibu dengan wajah yang sumringah ke arahku.
" Iya, kamu jadi kuliah," tambah ibu lagi.
Aku terdiam. Terpana dengan kata-kata ibu. Antara percaya dan tidak aku mendengarnya. Aku baru tersadar ketika butiran air mata telah mengalir deras, membanjiri kedua pipiku.
"Alhamdulillah...ya Allah!" ucapku berulang kali.
Selanjutnya, barulah Aku tahu bahwa Bibi Ati baru mendapatkan arisan. Lalu, uang itu dipinjamkannya kepada ibu untuk keperluan keberangkatanku ke Jogyakarta.
Peluit kapal telah berbunyi nyaring, pertanda kapal akan segera berangkat. Seluruh pengantar telah meninggalkan geladak . Begitu juga ayah . Matanya memerah menahan tangis. Bergetar bibirnya kulihat dari atas kapal. Entah apa yang diucapkannya. Tetapi, aku yakin pasti ia sedang berdoa untuk keselamatan anaknya yang akan berjuang di negeri orang.
Kulambaikan tanganku. "Selamat tinggal Ayah, Selamat tinggal Belitungku," kataku lirih. Kulihat tubuh ayah makin mengecil, seiring dengan derasnya kapal yang mulai meninggalkan Pelabuhan Tanjungpandan . Kapal yang akan mengantarkanku untuk menggapai asa, meraih mimpi.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Same, zaman itu mampunya minggak naik kapal
Cakeeeep, cerite kite same ye Kk. Kuliah ke jogja naik lawit. Alhamdulillah ye kk
Kk naik kapal kecik Dek, Samudra Jaya wkwkwk....
Keren bund
Makasih Bu Ana