Tulis Sajalah
Dinginnya hembusan Air Conditioner ruangan sore ini tidak mampu membuat semua orang di dalamnya merasakan kesegaran udaranya. Sang guru memberikan oleh-oleh yang tidak menggembirakan. Riuh seisi ruangan dengan irama dan alunan lagu-lagu permintaan keringanan. Satu kata jawaban pamungkas dari sang guru “NO”. Anda di sini mau menuliskan? Dengan senyum manis sang guru merasa menang karena sudah memberikan tugas dengan waktu yang sesingkat-singkatnya layaknya teks proklamasi. Membuat suasana membisu bak tiada penghuni. Pasrah dan lelah menghiasi wajah-wajah kami yang tidak lagi manis. Inilah perjuangan sekaligus pengorbanan untuk sebuah kesuksesan. Satu persatu meninggalkan ruang ajaib itu dengan wajah asam kelubi dan sinaran bola lampu 5 watt yang tidak terang lagi.
Sepanjang perjalanan pikiran ini tidak terfokus pada banyaknya barisan kendaraan yang melaju kencang. Kelebatan-kelebatan rancangan silih berganti merasuk di kepalaku. Seakan ingin melaju dan saling mendahului dari banyak rancangan yang akan diselesaikan malam ini. Tanpa sadar perjalanananpun usai di lokasi yang salah. Ini bukan jalan menuju rumahku. Huff, kenapa bisa lupa jalan rumah sendiri? Hihi, tawaku dalam hati. Satu tugas saja dari sang guru sudah membuat otakku berselancar di lautan angan yang tiada bertuan. Apalagi ini tiga tugas sekaligus. Duhai guru, kejamnya dirimu. Ya, inilah petualangan sejati. Petualangan seorang guru yang diragukan kemampuannya dalam menuangkan ide-ide dalam bentuk tulisan. Harus sukses dan itu harga mati. TITIK.
Cerita bergulir setelah memasuki rumah, kondisinya masih sama sejak kutinggalkan pagi tadi. Berantakan !!! Menambah letihnya jiwa. Menambah suram wajah yang ditinggalkan purnamanya. Semua terenggut oleh monster tugas dari sang guru.
Tiba-tiba ada yang aneh rasanya ketika melihat seisi rumahku. Apakah ini halusinasi? Apakah ini mimpi? Bukankah aku tidak sakit ? bahkan juga aku tidak tidur. Bagaimana ini dikatakan mimpi?
Seisi rumah menuntutku. Seakan semua berbicara kepadaku. Tatapan tajam dari kuali, panci, piring dan teman-teman seperjuangannya menuntutku untuk mendekati mereka. Kompor gas juga tidak mau kalah dengan tatapan nanar yang kehilangan tuannya. “Kemana tuanku seharian ini” ? kenapa engkau membiarkanku tidak bernyawa? Aku mati tuanku…aku matiiii…!!! Begitulah pekikan kompor itu merasuk telingaku. Ooooo…..tidaaaak…teriakku. kenapa kalian menuntutku. Kalian tidak berhak menuntutku. Kalian harus menuntut sang guru. Sang guru yang sudah membuatku melupakan kebahagianmu, tidak menyentuhmu duhai sahabat sejatiku. Sambil kuelus satu persatu.
Kesadaranku muncul secara tiba-tiba, seiring dendangan lagu A. Rafiq “ Lirikan Matamu” lirik kanan lirik kiri, ooo syukurlah tiada siapapun di sini. Jika tidak, mereka akan mengira aku sudah kehillangan kewarasanku.
Mengatur strategi, itulah hal pertama yang kulakukan untuk memanfaatkan waktu yang bergulir semakin cepat. Rasanya ingin kupatahkan saja jarum jam itu agar jamnya tetap menunjukkan di angka yang sama hingga tugasku selesai. Tetapi itu tidak mungkin dan akan sia-sia. Jam itu akan memenggalku dengan tajamnya pedang waktu jika aku gagal mendahuluinya. Strategipun selesai . Hal pertama yang dilakukan adalah menyelesaikan seluruh urusan rumahku yang sedari tadi sudah melakukan aksi damainya dengan diriku tepat azan magrib menggema.
Malam ini diantara gulitanya pikiranku, serial- serial tv kesayangan yang menggoda keteguhan diriku untuk menonton kelanjutan ceritanya yang semakin menggila. Malam ini kutinggalkan. Entahlah untuk malam-malam berikutnya. Mataku menerawang menembus langit-langit kamar lalu menembus atap rumah. Terbang jauh ke langit membawa sejuta tanya, apa yang harus kutulis?
Satu jam sudah berlalu. Bahkan kini mendekati dua jam. Belum satu hurufpun tertulis di laptopku. Bahkan aku masih terpaku pada pertanyaan yang sama, apa yang harus ditulis? Bayangan huruf abjad menari-menari tidak beraturan di pelupuk mataku. Pandanganku semakin gelap. Lelah. Aku balik menyerang kelelahanku. Hingga kelelahan itu lelah mengikutiku. Aku bangkit mengumpulkan sisa-sisa tenagaku.
Bismillah, pembuka kata penumbuh semangatku. Harus bisa! Teringat kata-kata dari sang guru “ tulis saja apa yang mau ditulis, jangan pikirkan orang lain akan, mengerti atau tidak. Pikirkan bahwa kamu bisa menulis, TITIK”. Kalimat inilah yang membangkitkan seluruh energi kepercayaan diriku bahwa aku bisa.
Kata demi kata kususun membentuk rangkaian kalimat sederhana. Tidak apa-apa, pikirku. Semua berawal dari kesederhanaan. Habiburraham Elsyirozi, Andrea Hirata dan penulis-penulis besar lainnya. Tidak serta merta menjadi penulis best seller seperti saat ini. Mereka pasti melalui hari seperti yang kualami hari ini. Yah,berawal dari kesederhanaan.
Tiga jam sudah berlalu, jam di dinding juga sudah jauh meninggalkan kesendirianku beserta tugas “menulis”ku ini. Aku tersenyum pada jarum jam dinding itu yang hampir saja kupatahkan karena keputusasaan tadi siang.
Tiba-tiba terdengar deringan nada sms di telpon genggamku yang sengaja ku jauhkan sejauh-jauhnya dariku. Agar tidak mengganggu aktifitas “menulis” . Tugas dari guru hebatku yang satu ini. Saking hebatnya memberikan tugas lebih dari satu. Masih saja aku menggerutu. Hihi…maaf ya tuan guru. Permintaan maafku dalam hati. Walaupun sebenarnya dipastikan sang guru tidak mendengarnya. Masih tentang dering sms tadi, Ingin rasanya tidak melihat sms siapa itu. Namun naluri kekawatiranku muncul. Bagaimana jika itu penting? Bagaimana jika itu kondisi darurat? Bagaimana jika itu kabar baik dari sms banking? Kondisi-kondisi itu membuatku mengalah untuk mendekat ke telpon genggamku. Kubuka perlahan berharap bukan sms penting, ternyata benar dari sahabat satu pelatihanku. Lega rasanya.
“ Sudah selesai menulis awaktu ? begitu tanyanya.
“ Belum, baru mau mulai, baru siap mandi. Tadi tertidur” jawabku
“ Ibu sudah selesaikah? “. Aku balik bertanya.
“ Baru dua paragraf”. Jawabnya
“ Wah mantap itu”. Begitu aku menyemangatinya. “ Tulis aja apa yang mau ditulis. Begitu kata sang gurukan?”. Lanjutku lagi.
“ Oke deh, aku lanjut lagi ya”. Begitu katanya di seberang sana. Aku tidak membalasnya lagi..
Melanjutkan perjuanganku untuk menulis, kini aku dihadapkan pada permasalahan baru. Pembuka dan isi dari tulisanku sudah dirasa cukup. Lalu bagaimana mengakhirinya. Kebingungan kembali mengusikku. Apakah perlu mengundang tim katakan putus untuk menutup tulisan ini? Atau harus menunggu inspirasi setelah sholat malam nanti? O itu terlalu lama. Bahkan aku tidak yakin apakah aku masih terbangun untuk sholat malam setelah hari yang begitu melelahkan. Tik ..tok..tik…tok…alam pikirku berputar mencari solusinya. Kutemukan jawabannnya. Kembali teringat kata-kata sang guru “ tulis sajalah ”. Seketika senyum manis sang guru melintas dibenakku dengan pesan hikmah ,”hidup itu terkadang harus terpaksa dan dipaksa”. Dan hari ini aku membuktikannya. Terima kasih guru.
Sang guru “ Eko Prasetyo”.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar