Maaf untuk Nasya
Maaf untuk Nasya
Aku terduduk lemas, “kenapa jadi begini..?.,” desahku. Berita yang kudengar bagai petir disiang bolong. Teringat kembali perkataan rekan seorang guru kepadaku ,”Bu Tia, murid ibu yang bernama Nasya ingin keluar dari sekolah karena perkataan Ibu Tia yang membuat Ibunya tersinggung,” Deg.., lemas bercampur bingung akan informasi itu, seakan tidak percaya apa yang sudah terdengar olehku.
Dengan langkah gontai dan penuh tanda tanya yang besar berkecamuk di hati , bersamaan jam masuk sudah berdentang. Teguran sapa dari rekan guru seakan tidak terdengar olehku ,”Bu Tia kenapa bu, kok lemas jalannya, sakit ya. Ibu terlihat pucat,” sapaan Bu Risma rekan sesama guru disaat kulewati depan kelasnya. “Tidak bu, ini lagi ngantuk aja, jadi terlihat lemas,” kujawab sapaan Bu Risma dengan ekspresi raut wajah datar dan biasa saja untuk menutupi semua.
“Ibu guru ...! Siska tuh bu mengganggu saya terus,” beberapa murid berlari menghampiriku saat berdiri didepan pintu kelas. “tidak apa-apa Ani, mungkin Siska bercanda sama kamu,” “tapi bu, Siska dari tadi ganggu aku terus,” ku coba memberi pengertian pada kedua muridku dengan perkataan yang membuat mereka memahami pentingnya berteman secara baik.
“Bu guru, mati lampu nggak,” dengan ekspresi polosnya, Dinda murid berkebutuhan khusus yang ada di kelasku selalu menanyakan mati tidak. “coba Dinda lihat, kipas angin bergerak atau diam saja?”, “bergerak bu guru’” “ nah itu sedang bergerak, berarti tidak mati lampu,” selalu saja setiap harinya Dinda menanyakan apakah mati lampu atau tidak.
Kuhempaskan diriku di kursi sambil mengingat kejadian-kejadian yang telah terjadi sepekan ini, meruntutkan semua peristiwa yang selama ini terjadi di kelas mungilku. “Bu guru kok ngelamun bu, belajarnya kapan bu?” “eh..iya, maaf ya ibu tadi lagi memikirkan sesuatu nih..,” Aurel dengan gaya lucunya dan tanpa malu memberondong pertanyaan yang membuyarkan lamunanku.
“teng..teng...,” “anak-anak sekarang waktunya istirahat, silahkan bermain dan makan, jangan lupa saat makan baca doanya dan ingin yang bermain kalian harus sama-sama jangan bertengkar,” nasihat yang selalu kuberikan saat mereka akan istirahat.
Ku kembali mengingat kejadian demi kejadian, peristiwa demi peristiwa. Sekelebat kejadian membuatku terhenyak. Episode kronologis ku coba mengingat kelebatan kejadian itu dengan runtut. Kuingat-ingat secara detail kejadian itu. “Astaghfirullahal ‘adziim, ternyata karena kejadian itu yang membuat nasya keluar dari sekolah ini,” batinku menyayangkan kenapa hanya karena hal yang menurutku sepele ternyata tidak bagi orangtuanya nasya. Aku ingat, di hari Jum’at semua siswa berpakain bebas, termasuk nasya muridku. Nasya siswa yang bertubuh subur dan gempal, suatu hari dia memakai kaus lengan panjang super ketat sejenis kaus stret istilah para anak muda menyebutnya. “Nasya, kausnya nanti kalau bisa jangan dipakai lagi ya, ibu lihat perutmu jadi terlihat sekali, kalau bisa pakai baju yang agak besaran ya ...!,” “iya bu.” Ku ingat lagi, saat aku berkata seperti itu, raut wajah Nasya terlihat mendung.
“Ya Allah, kenapa aku berkata seperti itu kepada muridku,” batinku menyesal . “Bu Tia kenapa habis menangis ya,” pertanyaan bu Risma mengagetkanku saat beliau memasuki kelasku untuk bertanya sesuatu hal. “nggak bu Ris, saya tidak nangis, mata ngantuk banget tidak bisa diajak kompromi,” dengan sedikit berbohong ku jawab pertanyaannya dengan sambil tertawa saat bu Risma menanyakan tentang mataku yang berair.
“Bu Tia tadi Bundanya Nasya telepon, katanya ingin pindah sekolah dan minta surat pindah, saya sudah menanyakan alasannya kenapa pindah. Tadinya tidak ingin bicara, tapi setelah saya tanya, Bunda Nasya cerita, katanya karena perkataan ibu Tia pada anaknya, Nasya,” Bu Refi memberondong pertanyaan saat kakiku baru akan memasuki pintu ruang guru. “iya bu Refi terimakasih ya informasinya, insya Allah saya sudah mengetahui, dari sms bunda Nasya yang ingin pamit tadi dengan saya, tapi belum sempat saya balas karena batre hpku lowbet, insya Allah nanti saya klarifikasi,” jawabku dengan sekenanya.
“Tut..tut..tut,” bunyi sms membuyarkan konsentrasiku saat alunan suara Al-Qur’an terdengar dari lisanku. Ku baca alamat pengirim sms tersebut yang ternyata Bunda Nasya, dengan tangan bergetar ku baca isi sms dengan perlahan dan kuulangi kembali membacanya.
“Ibu Tia sebelumnya saya orangtua Nasya meminta maaf terlebih dahulu pada ibu, mungkin saya yang salah pada ibu Tia. Saya keluar sekolah ini banyak sebab bu, tapi salah satu diantara sebab-sebab itu, bu Tia juga berperan dalam keluarnya anak saya dari sekolah ini,” Deg, seakan-akan diri ini ter jatuh ke jurang yang terdalam saat membaca sms tersebut. Ku pencet dengan hati-hati nomer yang pada keypad di hp “Bunda Nasya, saya pun meminta maaf ya bu, jika saya penyebab ananda Nasya keluar dari sekolah ini,”
Dengan suara sedikit tercekat ku telepon bunda Nasya, diseberang sana kudengar suara dari bunda Nasya yang menyesalkan perkataan dari ku kepada anaknya. Terdengar emosi pada nada suaranya. Penjelasan demi penjelasan aku sampaikan dengan jelas kepadanya.
Aku menyesalkan, mengapa bunda Nasya tidak cek dan ricek tentang masalah ini. Mengapa dan mengapa?, pertanyaan-pertanyaan itu terus mencoba membuka paksa memori ingatanku pada kejadian tersebut.
“Nasya, ibu sayang sama kamu, jika ibu salah maafkan ibu. Ibu hanya ingin Nasya terlihat baik dan berubah, ibu sayang sama semua siswa di kelas ibu,” ku peluk erat Nasyaku dengan kesedihan yang mendalam di mata ini. “Ibu sayang sama Nasya,” Nasya terlihat menangis dan menangis, kami berduapun menangis disaksikan semua siswa yang ikut menangis karena melihat kami berdua menangis di kelas mungilku.
“Jika ini keputusan Bunda sudah bulat untuk memindahkan Nasya dari sekolah ini, saya selaku Wali kelas di kelas ini meminta maaf pada Bunda dan ananda Nasya, semoga di sekolah baru mungkin lebih baik untuk ananda Nasya, sekali lagi saya meminta maaf jika perkataan saya melukai hati Bunda dan ananda Nasya,” dengan suara agak tertahan, terangkai kata-kata dengan penuh penyesalan terlontar dari lisanku.
Kupandangi terus Nasyaku dan ibunya saat meninggalkan kelas mungil ini, “Maafkan ibu Nasya, maafkan ibu,” batinku dalam hati dengan rasa penyesalan yang teramat dalam. Setelah kepergian mereka berdua, ku coba merenungi dari setiap kejadian demi kejadian. Dari kejadian tersebut ada ibroh dan pelajaran dibalik semua kejadian ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Hebat eui....
Hebat eui....
super sekali
menginspirasi ^_^