SUMARMI MARMI

Guru SMA Negeri 4 Pekanbaru...

Selengkapnya
Navigasi Web
Keikhlasan dan Kepasrahan  Seorang  Ibu , Bagian 1 (Tantangan Gurusiana hari ke-62 )

Keikhlasan dan Kepasrahan Seorang Ibu , Bagian 1 (Tantangan Gurusiana hari ke-62 )

Keikhlasa dan Kepasrahan seorang Ibu

#Tantangan Gurusiana

#Tantangan hari ke-62

Udara masih begitu terik ketika seorang perempuan setengah baya berjalan menyusuri lorong pasar menjajakan gorengan di pasar itu. Perempuan itu bernama Mak Atun, umurnya kira-kira 55 tahun. Walaupun usianya sudah setengah abad lebih namun dia masih kuat berjalan kaki dari rumah ke pasar yang jaraknya kurang lebih 1 km dari rumah kontrakkannya. Dua kali sehari dia bolak balik dari rumah ke pasar . Pagi hari jam 06.00 dia sudah membawa gorengan bakwan dan tahu isi untuk disetor ke pedagang pengecer di pasar itu. Gorengan bakwan dan tahu isi tersebut sudah dikemas dalam plastik dari rumah jadi tinggal memasok ke pedagang pengecer. Selesai menyetor gorengannya, Mak Atun pun langsung belanja bahan untuk membuat bakwan dan tahu yang disetor untuk siang hari. Selesai belanja Mak Atun pun balik ke rumah dengan membawa sekeranjang bahan untuk membuat bakwan dan tahu isi. Sesampai di rumah Mak Atun pun mulai meracik-racik dan membuat gorengan lagi, begitu siap gorengan pun langsung dijajakan lagi ke pasar sambil mengambil uang setoran gorengan yang pagi tadi.

Rutinitas Mak Atun ini dia lakukan setiap hari tanpa mengenal lelah dan letih. Keadaan inilah yang membuat Mak Atun semakin kuat di umurnya yang sudah lebih dari setengah abad. Suaminya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu, sementara Mak Atun harus banting tulang sendirian untuk menghidupi dan membiayai kedua anaknya yang masih sekolah. Dulu waktu suaminya masih ada dia dibantu oleh suaminya sehingga dia tidak perlu lagi ke pasar bolak-balik pagi dan siang, Mak Atun bergantian dengan suaminya.

Setelah suaminya meninggal tak banyak yang bisa dia lakukan, hanya berjualan bakwan dan tahu isi itulah yang bisa Mak Atun lakukan untuk menghidupi kedua anaknya. Mak Atun tidak mempunyai keahlian apa-apa selain memasak membuat gorengan, maklum dia anak desa yang sekolahnya pun tidak lulus SD. Dia berharap dengan kerja kerasnya ini, anak-anaknya tidak seperti dia. Dia ingin anak-anaknya bisa sekolah tinggi dan memperoleh pekerjaan yang layak dan mapan.

Bagi Mak Atun hidup susah adalah temannya karena dari kecil dia sudah biasa hidup susah. Sejak dia masih kecil dia sudah ditinggal Ibunya, sementara saat itu dia mempunyai 3 adik yang masih kecil kecil. Dia pun mengalah dan rela tidak melanjutkan sekolahnya karena dia harus mengurusi adik-adiknya sehingga dia harus putus sekolah , yang kala itu dia sudah duduk di kelas 6 sekolah dasar. Kondisi inilah yang membuat Mak Atun tidak kaget dengan hidup yang susah. Bahkan sampai ketika Mak Atun sudah berkeluarga pun hidup Mak Atun juga masih susah.

Ketika suaminya masih hidup, suaminya tidak mempunyai pekerjaan tetap. Waktu itu Pak Arga suami Mak Atun hanya seorang buruh pabrik tahu di tempat kakaknya. Namun akhirnya pabrik itu bangkrut karena kekurangan modal. Hingga akhirnya suaminya membantu Mak Atun membuat gorengan untuk menopang hidupnya. Rupanya Pak Arga sakit-sakitan, sebentar-sebentar keluar masuk rumah sakit, banyak biaya untuk pengobatan Pak Arga, sehingga sepetak tanah warisan peninggalan Bapak Mak Atun di kampung harus direlakan untuk berobat suaminya. Kehendak berkata lain Pak Arga meninggal ketika anak-anak masih kecil. Anak yang besar, Bagas waktu itu baru kelas 2 SLTA dan yang kecil , Ratih mau masuk SMP.

Pukulan yang berat bagi Mak Atun, dia merasa tak sanggup ditinggal suaminya, air mata ini rasanya sudah kering kalau mengingat perjalananan kehidupan yang selalu susah. Namun dia tidak harus meratapi nasibnya berkepanjangan, dia harus bangkit, kedua anaknya tak mungkin putus sekolah seperti dirinya kala itu. Dia harus berusaha sekuat tenaga agar kedua anaknya bisa melanjutkan sekolah. Di pundaknya anak-anaknya butuh kekuatan dan dorongan agar anak-anaknya juga terus mampu bertahan dan bersemangat. Terlalu berat kalau anak-anaknya harus seperti dia putus sekolah. " aku harus kuat demi kedua anakku demi kelanjutan sekolah kedua anakku" kata Mak Atun dalam hati dengan berserah diri..

Suatu hari anaknya yang besar bermohon padanya " Ibu, apa sebaiknya aku nggak usah sekolah saja Bu, biar aku bisa membantu Ibu membuat gorengan Bu, aku kasihan sama Ibu " kata Bagas anaknya yang paling besar.

" Tidak Nak, Bagas harus tetap sekolah, kamu harus tetap semangat Nak, kamu harus menyelesaikan sekolahmu biarlah Ibu akan terus bekerja yang penting Bagas harus lulus sekolah " Kata Mak Atun tak mampu menahan air matanya.

Sejak itu Bagas berjanji akan belajar lebih giat agar tidak mengecewakan Ibunya, sepulang sekolah dia membantu Ibunya beberes rumah dan membantu racik-racik untuk membuat bakwan dan tahu isi. Bakwan dan tahu isi Mak Atun memang terkenal enak diakui oleh masyarakat sekitar rumahnya sehingga dari hari ke hari pesanannya terus bertambah. Kadang Mak Atun kewalahan dengan pesanan yang datang. "Alhamdulillah terima kasih ya Alloh, ini rejeki untuk anak-anakku " kata Mak Atun berucap syukur setiap menyelesaikan semua pesanan.

Hari terus berlalu, tanpa dirasa Bagas pun lulus SLTA, karena Bagas merasa kasihan dengan Ibunya dia tidak melanjutkan kuliah, namun dia mengambil sekolah dan pelatihan tata boga perhotelan selama satu tahun. Mak Atun harus bekerja lebih keras lagi, walaupun hanya satu tahun Bagas sekolah tentu membutuhkan biaya yang sangat banyak apalagi Bagas sekolahnya di kota lain. Hal ini perlu uang saku dan uang makan Bagas setiap harinya. Mak Atun tak pernah menyerah, Bagas harus berhasil dan bisa memperoleh pekerjaan yang layak. Mak Atun ingin Bagas bisa sebagai tempat bersandar adiknya nanti. Bagi Mak Atun letih dan lelahnya akan terbayar melihat anak-anaknya berhasil sekolah dan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Sejak Bagas pergi sekolah di kota lain Mak Atun hanya tinggal berdua dengan anak perempuannya si Ratih. Kebetulan Ratih ini fisiknya agak lemah, sehingga Mak Atun pun tak tega kalau Ratih membantu membuat gorengan, Mak Atun bekerja sendirian. Ratih hanya membantu pekerjaan yang ringan-ringan, menyapu rumah atau mencuci piring dan ikut membungkus gorengan. Mak Atun tidak ingin Ratih sakit karena terlalu capek nantinya.

Jam 3 pagi Mak Atun sudah bangun dan mulai membuat adonan bakwan dan tahu isi, dengan sabar dan telaten Mak Atun mulai menggoreng.Mak Atun setiap harinya mampu menggoreng 500 biji bakwan dan tahu untuk 2 kali setor ke pasar. Biasanya kalau pagi Mak Atun mampu menggoreng 300 biji bakwan dan tahu isi selesai menjelang sholat subuh. Begitu selesai menggoreng, sambil menunggu dingin dia pun menjalankan sholat subuh dengan Ratih. Usia sholat subuh dibantu Ratih bakwan dan tahu itu segera dibungkus dan dikemas sepuluh-sepuluh selanjutnya siap untuk diantar ke pasar ke pedagang eceran.

Ketika Ratih berangkat sekolah Mak Atun pun berangkat ke pasar. Rasa letih, lelah tak dihiraukannya , di pikiran Mak Atun ada harapan akan keberhasilan anaknya. Semua keletihannya akan terbayar ketika Mak Atun membayangkan kedua anaknya berhasil. Dia tetap merasa kuat untuk sebuah penantian akan kesuksesan anak-anaknya.

Setahun sudah berlalu Bagas sekolah tata boga, artinya Bagas sudah menyelesaikan kursus tataboganya dan bersyukur Bagas pun langsung direkrut oleh hotel tempat dia magang, waktu Bagas kursus tata Boga tersebut. Tentu ini adalah kabar yang sangat menggembirakan bagi Mak Atun, Bagas selesai sekolah dan langsung bekerja. Namun ada perasaan sedih karena Bagas akan bekerja di kota lain. Lagi-lagi dia akan tinggal berdua saja dengan Ratih, putrinya. Dengan segera kesedihan yang dirasakan Mak Atun itu ditepisnya dari sudut hatinya, dia harus ikhlas demi masa depan anak-anaknya. Mak Atun hanya mampu berpesan pada Bagas " Nak berhati-hatilah kamu disana, sisihkan lah sedikit gajimu untuk adikmu ya Nak, karena tenaga Ibu sudah mulai menurun, jadi gorengannya juga menurun , sehingga penghasilan Ibu juga berkurang Bagas" kata Mak Atun pada Bagas dengan perasaan yang sangat berat.

" Iya Bu, Ibu tidak usah khawatir kalau nanti Bagas sudah mendapatkan gaji sebagian gaji Bagas akan Bagas kirim untuk Ibu, sekarang Ibu tidak usah terlalu ngoyo ya Bu sesanggup tenaga Ibu saja buat gorengannya dan Ibu harus jaga kesehatan " kata Bagas sebelum berpamitan dengan Ibu dan Adiknya. Dengan hati ikhlas Mak Atun pun melepas kerangkatan Bagas bekerja di kota lain walau dengan tetesan air mata yang tak bisa ditahannya.

Bersambung...

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren, Bu. Semoga sukses.

01 Jul
Balas

Keren ...

01 Jul
Balas

Keren, buk

01 Jul
Balas

Semangat Bunda...

01 Jul
Balas

Kisah inspiratif perjuangan seorang ibu....tak akan habis tuk sellalu diceritakan

01 Jul
Balas

Mantab, ayo lanjutt...

02 Jul
Balas

Mantab, ayo lanjutt...

02 Jul
Balas

Mantap bun, semoga sukses

01 Jul
Balas

Hmm... kelanjutan ceritanya bikin penasaran

01 Jul
Balas



search

New Post