Suandi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Mak yang Tegar Setegar Batu Karang

Mak yang Tegar Setegar Karang

***

Musim hujan telah tiba. Suara petir menyambar tak henti-hentinya bak bunyi tembakan meriam pada zaman penjajahan Jepang. Air mulai naik ke beranda rumah. Pelan tapi pasti rumah kami mulai tergenang dan banjir pun melanda se isi rumah.

Kutatap wajah tua yang kelihatan sangat lelah. Kupandangi tanpa sedikitpun aku mengedipkan mata. Pesona dan rupa yang tidak secantik dulu. Raut penuh keikhlasan terpancar di sela-sela wajah yang sudah kelihatan memudar. Rambut lurus hitam yang sudah berpadu dengan warna putih mengkilap. Kulit yang sudah agak kendor tidak sekencang dan selembut ketika ia waktu gadis dulu.

"Mak, dari tadi Mak tidak beranjak dari tempat tidur?"

Apakah Mak lagi sakit," tanyaku.

"Tidak nak, Mak sehat," jawabnya.

Begitulah Mak kalau lagi sakit ia tidak pernah mengatakan hal yang sesungguhnya. Pernah suatu ketika badannya sangat panas. Panasnya tinggi luar biasa. Kami sebagai anak sangat khawatir akan kondisi Mak. Kami sudah sepakat untuk membawa Mak ke Puskesmas terdekat ataupun berobat ke seorang bidan desa yang juga ahli dalam mengobati pasien. Mak menolak dengan alasan takut merepotkan kami dan mengatakan sakitnya tidak terlalu parah.

Aku sibuk mengemaskan rumah yang sudah tergenang air. Kusimpan semua buku yang sudah hampir terkena air. Buku-buku itu adalah buku pelajaran milikku dan abangku yang sudah sebagian ada yang usang. Satu per satu buku kususun dengan rapi. Sekali-sekali kupandangi kenangan indah ketika aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar.

Dari pojok kamar terdengar suara batuk yang tidak terlalu kencang.

"Ughh...ugh....ugh....,"pelan dan lirih batuk Mak.

Kucoba mengintip dari depan pintu dan kudekati sumber suara itu.

"Betul sekali itu batuk Mak," gumamku dalam hati.

Begitulah Mak, kalau musim hujan ia super sibuk dengan segudang pekerjaan. Mak merupakan tulang punggung keluarga pengganti Ayah ketika Ayah meninggalkan rumah untuk mencari nafkah. Tepat dua bulan yang lalu Ayah pergi meninggalkan kami ke Pulau Sumatera bekerja sebagai buruh kayu di Perseroan Terbatas (PT).

Aku tahu waktu itu Mak sangat capek dengan setumpuk pekerjaan rumah, seabrek pekerjaan di sawah dan tentunya mengurus kami yang masih kecil-kecil.

"Fer, tolong belikan obat Mixagrip di warung Pak Toyib," pinta Mak dengan suara agak pelan.

"Iya, Mak," jawab Ferdi tegas.

Ferdi adalah nama abangku yang nomor empat. Kalau ada apa-apa pasti Mak menyuruh Ferdi untuk belanja. Mak tidak mungkin menyuruh aku karena aku waktu itu masih kecil tentunya tidak begitu pandai dalam hitung menghitung uang.

"Bang, kelihatan Mak demam ya? emang dari mana saja Mak tadi," tanyaku pada bang Ferdi.

"Mak tadi pagi kerja di sawah Bu Laila untuk membeli beras kita yang sudah habis," jawab Bang Ferdi.

Aku tahu Mak selain mengerjakan sawah sendiri kadang-kadang Mak juga bekerja tukang upah harian kepada siapa saja yang memerlukan bantuan. Aku ingat betul saat itu upah harian tenaga wanita adalah 8.000-10.000/hari.

Uang segitu sudah bisa untuk membeli beras 2 kg dan sisanya bisa membeli gula ataupun kue untuk kami.

"Setelah pulang dari sawah, Mak kehujanan," tambah Bang Ferdi.

"Kasihan Mak ya bang," tambahku.

"Habis itu Mak pun menyelamatkan ayam-ayam kita yang hampir terkena banjir," Bang Ferdi melanjutkan.

Aku terdiam. Kutarik nafasku dalam-dalam. Kubayangkan betapa capeknya Mak. Aku tak menyalahkan keadaan dan tak juga melawan takdir. Mungkin saja Mak diuji oleh Allah untuk bisa menjaga dan merawat kami. Mak tidak hanya sendiri mungkin masih banyak Mak-mak lain yang bernasib sama. Salah satunya kisah perjuangan Siti Hajar. Ibu seorang Nabi yakni Nabi Ismail AS. Siti Hajar rela pontang-panting mencari sumber mata air demi membesarkan putranya Ismail yang ditinggal pergi oleh Bapaknya yakni Nabi Ibrahim AS untuk berdakwah. Atas kesabaran dan kegigihan sang Ibu siapa menyangka terpancar mata air di celah-celah kaki sang anak. Zam-Zam sumber air itu di beri nama. Sampai sekarang sumur Zam-Zam memancarkan air yang tak pernah henti. Dan konon katanya dijadikan sumber mata air untuk kawasan Semenanjung Arab dan sekitarnya.

"Bagaimana keadaan Mak, apakah sudah sehat," tanyaku pada Mak.

"Alhamdullilah, Mak lumayan sehat," jawab Mak.

Begitulah kalau Mak sedang sakit ia tak mau berlama-lama berbaring di tempat tidur. Sebenarnya Mak masih perlu istirahat, tapi karena keadaan dan kondisi ekonomi yang membuat Mak tak mau berdiam diri dan berlama-lama dengan kondisi badan yang belum seberapa sehat.

"Su, Mak hari ini mau kerja di sawah Bu Jasmin," kata Mak dengan nada datar.

"Lha, Mak kan masih demam!" balikku bertanya.

"Mak dah sehat kok," jawab Mak meyakinkan.

"Minggu depan Pak Ali mau menikahkan anaknya yang sulung, kita harus bayar arisan, Mak harus cari uang Nak." Jawab Mak panjang lebar.

"Baiklah Mak, hati-hati ya Mak," pesanku kepada Mak.

Jika ada warga desa yang ingin melaksanakan acara walimahan maka setiap kepala keluarga boleh ikut arisan. Arisan itu bermacam-macam. Ada arisan barang pecah belah, arisan gula pasir, arisan daging sapi dan arisan beras. Itulah tradisi di kampungku. Dengan mengadakan arisan seperti itu keluarga calon mempelai sedikit terbantu dan memupuk semangat gotong royong antar warga.

Jika ada Ayah pasti Ayah yang mengambil alih semua itu. Itulah kekuatan Mak sebagai wakil dari kepala keluarga. Tanggung jawab Mak dalam memberi nafkah, melaksanakan kewajiban menjaga amanah dari Sang Pencipta dan membayar hutang keluarga patut diacungi jempol. Mak bagi kami merupakan sosok yang sangat tegar. Tegar seperti terumbu karang. Terjangan ombak dan hempasan gelombang kepedihan hidup tak menyurutkan semangat Mak dalam menjaga dan membesarkan kami. Bukankah kita pernah mendengar di koran ataupun majalah seorang Ibu ada yang tega menjual anaknya karena tak sanggup memberi nafkah. Tetapi tidak dengan Mak. Seorang diri mengurus anak-anakpun ia sanggup.

Walaupun Mak pendidikannya tidak terlalu tinggi tapi Mak mengerti tentang kasih sayang, pengorbanan, ketulusan dan cinta. Cinta Mak kepada kami lebih dalam dari kisah cinta Romeo dan Juliet. Kasih sayang Mak tak tergambarkan. Pengorbanan Mak lebih besar dari pengorbanan para pahlawan.

Begitu mulia jasamu Mak. Tak kenal lelah dan tak pernah berhenti mencurahkan semua kemampuan demi anaknya tumbuh besar dan berhasil.

Mak bagi kami selain wanita idola, ia juga sahabat dan teman curhat. Semua permasalahan yang aku hadapi selalu aku mengadu kepada Mak, aku lebih dekat dengan Mak daripada Ayah. Mak juga sebagai guru dan rumah kami adalah madrasah pertama sebelum aku mengenal sekolah. Setiap sore habis bermain sepakbola aku harus berkemas kemas untuk Sholat Maghrib dan mengaji di tempat Paman Ham. Kalau tidak pergi mengaji pasti Mak marah. Mak menyuruh kami mengaji mungkin karena ia sadar ia tidak terlalu lancar dan ia tidak mau anaknya sama sepertinya. Makanya Mak rela mengantarku jika aku tidak mau pergi mengaji. Kegigihan Mak dalam membimbing dan memotivasi kami berbuah hasil. Aku dan abangku Alhamdullilah sudah lancar dan bisa membaca Al-Quran dengan tartil. Waktu kecil dan remaja pun aku sering ikut perlombaan MTQ dan pernah menyabet juara 3. Aku sangat bersyukur dan berterima kasih pada Allah yang mengutus seorang ibu seperti Mak. Dalam mendidik Mak agak cerewet dan tegas. Kalau kami belum bangun untuk Sholat Shubuh maka Mak tak tinggal diam.

Ia tidak hanya membangunkan sampai bangun, tetapi menarik ujung jari kami sampai bergegas bangun dan mengambil air wudhu. Begitu juga kalau sudah tiba waktu malam hari. Mak menyuruh kami belajar dengan giat. Kalau tidak belajar maka siap-siap dimarah Mak. Kadang-kadang pernah juga terpikir olehku bahwa mengapa Mak lebih galak dari pada ayah. Ketika sudah dewasa pertanyaan seperti itu terjawab. Madrasah pertama di rumah adalah seorang ibu. Ibu punya peranan penting dalam mendidik anak-anak agar anak menjadi anak yang sholih dan sholihah. Mak ternyata sangat menguasai teori itu dan mempraktekan dengan baik. Mungkin dulu sebelum menikah dengan ayah, Mak sudah dipesani oleh Kakek dan Nenek kami atau pun orang orang sholih yang sudah berpengalaman dalam berkeluarga.

Sekarang ketika aku sudah berkeluarga ilmu mendidik anak itu harus aku adopsi dari Mak. Ketegasan, kesabaran, keuletan dan kegigihannya dalam mendidik dan membesarkan kami sangat luar biasa. Sampai kami sudah bekerja dan menjadi kepala keluarga Mak pun tetap memberikan wejangan dan nasihat kepada kami. Semoga perjuangan dan ketulusan Mak membimbing dan membesarkan kami nanti dibalas dengan pahala yang berlipat ganda disisi Allah SWT. Doa kami semoga Mak tetap sehat dan dilimpahkan kemurahan rezeki, dan diberi umur panjang.

#Nasihat dan Hikmah

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post