Sriyanto

Pemuda kampung yang tak berhenti belajar. Belajar menulis, dari apa yang dibaca pada realitas sosial, pendidikan dan agama. Diruang ini bisa menuangkan id...

Selengkapnya
Navigasi Web
Ulama dan Nasionalisme

Ulama dan Nasionalisme

Ulama dan Nasionalisme

Oleh; Sriyanto*

Masyarakat dikejutkan dengan berita pendataan ulama yang dilakukan Polda Jawa Timur. Dasar pendataan itu adalah telegram Kapolda Jatim yang dikeluarkan pada awal Februari yang dibantu Intelijen dengan tujuan untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Meski tujuan baik, pendataan itu menjadi sorotan publik dianggap meresahkan masayarakat. Misalnya pengasuh pondok Lirboyo Kediri Kyai An’im Falahuddin Mahrus, mempertanyakan langkah kepolisian pendataan ulama-ulama, “ Kita ingin penjelasan pemerintah apa yang dikwatirkan negara? Ulama harus didata dan Khotib harus distandirisasi, (Republika,16/2).

Tentu para ulama dan umat Islam ada kekhawatiran, dan itu wajar mengingatkan bangsa ini mempunyai pengalaman di masa lalu, ada tindakan PKI yang membantai ulama pada tahun silam dan tindakan zaman Orde Baru, para kyai hilang di culik tanpa ada kejelasan. Muncul pertanyaan, apakah negara ketakutan atas kekuatan Islam yang di tunjukkan gerakan para ulama pada aksi 411,212 dan 112? Apakah negara takut kalau para ulama makar?

Mereka lupa pada sejarah bangsa ini, secara historis negara ini lahir tidak lepas dari peran para ulama dalam mengusir penjajah. Para ulama menjadi garda didepan melawan penjajah Belanda dengan sikap non kooperatif. Para ulama di masa penjajahan banyak mendirikan pesantren di daerah-daerah terpencil, untuk menjauhi bangsa penjajah yang banyak tinggal di kota. Bujuk rayu bangsa Belanda dengan jalan memfasilitasi haji bagi kaum muslim, tetapi dengan tegas KH Hasyim Asy’ari menentang, beliau mengeluarkan fatwa bahwa pergi haji dalam masa revolusi dengan menggunakan kapal Belanda hukumnya haram. Setiap bujukan agar Kiai Hasyim tunduk dan mendukung Belanda selalu gagal dilakukan.

Perjuangan ulama tidak cukup disitu, para ulama mengeluarkan fatwa wajibnya jihad melawan penjajah. Fatwa jihad ini sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan semangat pahlawan. Perang melawan penjajah dianggap jihad fi sabilillah, yakni perang suci atau perang sabil demi agama. Banyak ulama yang menjadi pemimpin perlawanan, seperti Pangeran Dipenogoro, Fatahillah, Imam Bonjol, Teungku Cik Ditiro, KH Hasyim Asy’ari, KH Abbas Buntet, KH Zainal Mustafa, H.O.S Tjokroaminoto dengan perjuangannya melalui Sarekat Islam, KH. Ahmad Dahlan pergerakananya melalui organisasi Muhammadiyah,dan lain-lain.

Sebelum masa kemerdekaan para ulama ikut mempersiapkan kemerdekaan, termasuk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia) ada tokoh ulama seperti Ki Bagus Hadikusumo, Moh. Yamin, KH. Wahid Hasyim, Agus Salim yang berjuang keras dalam merumuskan dasar negara. Dan pada awal kemerdekaan, banyak ulama yang aktif di pemerintahan atau parlemen. Serta tak terhitung jumlahnya para ulama yang berjuang melalui organisasi dan pendidikan.

Kita juga tidak boleh lupa peristiwa 10 Nopember 1945, terjadi peristiwa penting yang merupakan rangkaian sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme. Dikatakan penting, 71 tahun silam, PBNU yang mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura yang hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO (Ansor Nahdlatul Oelama) di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya, berdasar amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya yang disampaikan Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, dalam rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah, menetapkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, (Sunyoto:2016).

Tidak berhenti disitu, pasca kemerdekaan, bangsa ini masih dalam ancaman negara Belanda, para ulama membakar semangat untuk persatuan membela kemerdekaan RI yang diproklamasikan Soekarno-Hatta. Para ulama yang dipimpin Kiai Hasyim Asy’ari memfatwakan kewajiban mempertahankan kemerdekaan RI, dan pada 1954 sebuah Musyawarah Alim Ulama Indonesia (NU) di Cipanas mengambil keputusan bahwa Presiden Soekarno adalah Waliyyul Amri Dharuri bisy-Syaukah, artinya pemegang pemerintahan yang punya cukup kewibawaan dipatuhi oleh pejabat dan rakyat.

Melihat fakta sejarah, tidak pisah dipungkiri bahwa bangsa Indonesia ini lahir karena peran ulama. Bangsa ini merupakan ‘warisan’ para ulama. Jika bangsa Indonesia sebagai ‘warisan’ ulama, yang diraih atas berkat sebagai rahmat Allah SWT sebagai mana dituangkan dalam pembukaan UUD NRI 1945 alinea ketiga, Tentu para ulama saat ini, masih memiliki komitmen bersama untuk menjaga dan membangun negeri ini baik secara sosio-politik maupun pendidikan. Para Ulama masih sepakat dasar negara Pancasila dan NKRI. Para Ulama tidak melakukan makar, hanya ingin meluruskan ‘kiblat’ bangsa ini. Semestinya kita saat ini, harus memiliki jiwa nasionalisme terhadap bangsa ini sebagai wujud penghormatan terhadap perjuangan para ulama dan sebagai wujud syukur atas anugerah yang diberikan oleh Allah atas bangsa Ini. Jadi kepolisian melakukan pendataan terhadap Ulama kurang tetap. Seharusnya pihak kepolisian cukup bekerjasama dengan organisasi Islam yang ada di Indonesia untuk bersinergi membangun bangsa ini, bukan meragukan peran Ulama terhadap bangsa Ini. waallahu’alam bishowab….

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post