Tantangan Mencetak Generasi Aqil Baliqh
Dua hari ini viral dalam dunia perwhatshapan alias WA. Berita duka seorang guru yang meninggal akibat ulah seorang siswa. Tepatnya Alm. Ahmad Budi Cahyono, guru GTT mapel Seni Rupa di SMA Negeri 1 Torjun-Sampang, sedangkan Siswa yang menganiaya bernama Moh. Holily, Siswa kelas XI SMA N 1 Torjun-Sampang.
Sedih rasanya membaca berita itu, turut bela sungkawa atas kejadianya ini. Semoga Allah mengampuni segala dosanya,dan menerima segala amal baiknya serta keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran. Aamiin …
Tugas guru sangatlah berat yakni mendidik anak agar memiliki akal budi yang mulia, nyawa menjadi taruhannya. Terkadang niat baik itu justru mendapat balasan yang kurang baik dari seorang siswa bahkan dari wali murid. Jika ada ucapan yang menyakitkan, tindakan kurang menyenangkan dari seorang guru, itu diniatkan untuk merubah prilaku siswa menjadi lebih baik. Dalam hatinya, saya yakin tidak memiliki niat untuk menyakiti siswanya. Walau begitu berat tugas guru, yakinlah bahwa amal jairiah kebaikan seorang guru tak pernah berhenti dan kita petik di surga nanti.
Bagaimana sosok siswa tersebut? Berbagai sumber menyebutkan, siswa tersebut memiliki banyak catatan ‘khusus’ tentang ulahnya di sekolah. Banyak pendapat dari nitizen, semestinya ada perlakuan secara khusus oleh pihak sekolah agar tindakannya tidak menjadi-jadi. Butuh kerjasama antara sekolah dengan orang tua. Tetapi ibarat nasi sudah menjadi bubur. Pak budi sudah tiada, dari siswa kehilangan akal budinya. Yang seharusnya siswa menghormati gurunya, tetapi yang terjadi justru membunuhnya.
Siswa yang diduga sebagai pelakunya dijerat UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem Peradilan Pidana Anak. Menurut aturan itu anak tersebut mendapat perlakukan khusus karena masih tergolong dibawah umur. Inilah menarik perlu kita kaji. Menurut aturan itu dikatakan dewasa itu usia tujuh belas tahun keatas dan belum menikah. Berarti Usia 0-17 tahun masih dianggap anak-anak belum dewasa. Padahal siswa itu perilakunya melebihi orang dewasa (berbuat kriminial). Hal ini menjadi persoalan jika dilihat dari segi psikologi hukum. Seharusnya ukuran dewasa dalam undang-undang diatas perlu diuji review dengan pertimbangan perkembangan anak usia sekarang. Benarkah anak sekolah menegah atas (SMA) belum dewasa?
Saya teringat pendapatnya ustad Andriano Rusfi psikoloq Universitas Indonesia (UI) bahwa Dalam konsep Islam, dikatakan dewasa itu sudah aqil baliqh. Artinya sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan yang dianggap mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Dikatakan aqil baligh ditandai mimpi basah, usia sekitar lima belas tahun keatas bagi laki-laki. Dan sembilan tahun bagi perempuan yang ditandai mentruasi. Diusia itu sebenarnya sudah matang dalam bertanggungjawab terhadap diri sendiri termasuk mampu mencari nafkah sendiri. Jika ditarik pada zaman sahabat Rasulullah SAW. Banyak para pemuda saat itu memiliki aqidah yang kuat dan ikut berdagang membantu orang tuanya dewasa bahkan ikut berperang menegakkan agama.
Ustad Rusfi pernah menyampaikan bahwa Aqil berhubungan dengan akal dan baliqh terkait dengan hawa nafsunya. Fungsi Aqil (akal) untuk mengendlikan hawa nafsunya (baliqh). Beberapa kejadian anak dibawah umur melakukan perbuatan pidana. Bisa jadi dalam kasus diatas, sejatinya anak itu belum aqil, namun nalurinya sudah baligh. Inilah menjadi petaka bagi seseorang, ketika aqil dan baligh tidak hadir secara bersamaan. Akalnya tidak bisa mengendalikan apakah perbuatan baik atau buruk. Tetapi yang didahulukan adalah hawa nafsunya (baligh).
Berarti konsep aqil baligh mengalami pergeseran. Pada awalnya aqil baligh lahir secara bersamaan, tetapi realita baligh terkadang lebih dulu daripada aqil. Mengapa bisa terjadi demikian? Paling tidak disebabkan dua hal. Pertama, Pendidikan dalam keluarga tidak berjalan dengan baik. Ketidakhadiran sosok ayah dan ibu secara psikis terhadap perkembangan anak (aqil baligh). Seyogyanya secara konsep Islam usia diatas lima belas sudah mampu bertanggung jawab pada dirinya. Mindset orang tua sekarang ini, menyerahkan sepenuhnya pada sekolah terkait perkembangan anak. Tugas orang tua hanya mencari uang untuk membayar biaya anak. Padahal kasih sayang ayah dan ibu tak tergantikan. Sebenarnya sekolah hanya membantu orang tua dalam pendidikan anak. Sejatinya pendidikan keluarga adalah pendidikan pertama dan utama.
Kedua, lingkungan sekitar. Pergaulan teman sebaya sangat mempengaruhi prilaku dirinya. Jika pergaulanya baik insyallah prilakunya baik, sebaliknya pergaulan buruk pasti perilakunya buruk. Teman sangat menentukan masa depanya. Apalagi didukung perkembangan ilmu pengetahuan khususnya internet. Semua ada disitu baik atau buruk, tinggal manakah yang kuat, akal atau nafsunya. Hal ini menjadi tantangan kita sebagai orang tua maupun menjadi guru dalam mencetak generasi Aqil Baligh. Waallahualam bishowab …
Sidaorjo, 3/2/2018
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar