LINTAH DAN PACET
TANTANGAN MENULIS HARI KE-10
LINTAH DAN PACET
Ide tulisanku ini berawal dari cerita siswaku di kelas yang pernah kemasukan lintah dalam tubuhnya saat ia berenang. Semua muridku tahu kalau Azwar, semaktu masih kelas dua SD pernah kemasukan lintah dalam tubuhnya. Jadi, penasaran juga aku bertanya padanya,
“Kok Azwar tahu kalau ada lintah masuk ke tubuh Azwar?” tanyaku.
“Iya Bu, lintahnya mau ditarik dari anusnya, tapi malah masuk ke tubuhnya Azwar, Bu.” Kata Guruh muridku yang tidak kutanya tapi malah menjawabnya,
“Iya, Bu. Lintahnya mau ditarik tapi malah kecolok Bu.” Jawab Azwar malu.
“Jadi bagaimana mengobatinya?” tanyaku penasaran.
“Diberi air minum yang dicampur tembakau, Bu.” Jawab Azwar.
“Jadi, setelah itu lintahnya keluar?” tanyaku lagi.
“Iya Bu,” jawab Azwar lagi.
“Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa ya.” Kataku mengakhiri tanya jawab singkat itu.
Lintah dan pacet adalah hewan pengisap darah. Lintah memiliki alat pengisap yang terdapat di kedua ujung tubuhnya. Tetapi hanya satu ujung yang memiliki mulut. Mulut inilah yang berfungsi mengisap darah karena bentuknya seperti gergaji. Lintah memiliki antikoagulan dalam air liurnya sehingga dapat menghentikan pembekuan darah dan membuat lintah lebih mudah untuk terus mengisap. Makanya kita akan menjumpai seseorang yang digigit lintah akan terus mengeluarkan darah pada bekas gigitannya.
Jika siswaku kemasukan lintah dalam tubuhnya, maka pengalamanku berkaitan dengan hewan pengisap darah yang lain, yaitu pacet. Saat itu aku masih mengajar di SMP Terbuka. Setiap minggu aku bersama Pak Suardi akan berkunjung ke TKB (Tempat Kelompok Belajar). Hari itu kami akan ke TKB yang berada di Desa Kuap. Sebenarnya saat mau pergi kami sudah menduga akan turun hujan, karena langit memang sudah gelap menandakan akan segera turun hujan.
Ternyata memang benar hujan turun sangat deras. Kami baru separuh perjalanan menuju Desa Kuap. Saat itu, kami berada di tengah-tengah kebun duku milik penduduk di Desa Kuap. Tak jauh dari kebun duku itu adalah sungai Batanghari yang airnya mengalir deras saat hujan itu.
Hujan semakin deras. Riak air sungai pun semakin deras. Kami harus berteduh. Tidak ada rumah penduduk yang bisa kami tumpangi untuk tempat berteduh. Yang ada hanya pondok-pondok kecil di tengah-tengah kebun duku itu. Kami pun memilih segera berteduh.
Beberapa menit aku merasa lega karena bisa berlindung di pondok itu. Namun, tak lama kemudian aku melihat sesuatu sudah menempel di kakiku.
“Apa ini Pak?” tanyaku kepada Pak Suardi sambil menyingkirkan benda aneh yang menempel di kakiku itu.
“Itu pacet, Bu.” Jawab Pak Suardi. “Nanti saya cari tembakau dulu,” lanjut Pak Suardi.
Segera pak Suardi mencari tembakau di kantongnya. Ya, tembakau kan ada dalam rokok. Lama ia mencari-cari di kantong dan tasnya, berharap rokoknya ada. Tapi malang, ternyata Pak Suardi lupa membawa rokoknya.
“Wah, saya lupa bawa rokok, Bu.” Kata pak Suardi.
“Ya sudah, tidak apa-apa Pak,” kataku sambil tetap memperhatikan kalau ada pacet menempel lagi di kakiku.
Perasaan lega itu ternyata hanya sejenak. Kulihat beberapa ekor pacet yang tidak kutahu jumlahnya bermunculan dari balik daun-daun duku yang ada di sekitar pondok itu. Semakin lama semakin banyak dan bergerak ke arahku dan Pak Suardi yang sedang berteduh di pondok itu. Histeris aku berteriak ketakutan karena melihat banyaknya pacet yang bergerak perlahan-lahan itu.
“Bagaimana ini Pak? Kok pacetnya makin banyak’” tanyaku.
“Iya Bu, pacet itu mencium bau darah. Makanya mendekati kita.” Jawab Pak Suardi.
“Kalau lama-lama di sini, kita akan digigit pacet-pacet itu, Pak.” Kataku ketakutan.
“Iya, Bu.” Kata Pak Suardi.
“Kalau saya tadi bawa rokok, mungkin kita bisa usapkan tembakaunya pada kaki kita agar tidak didekati atau digigit lintah. Ini saya lupa.” Kata Pak Suardi lagi.
“Jadi bagaimana? Sementara kita harus mendapatkan bukti kalau kita sebenarnya sudah mau berkunjung ke TKB Kuap.” Tanyaku.
“Iya, kita harus minta tanda tangan guru pamong di TKB itu sebagai bukti.” Kata Pak Suardi mengulang kata-kataku.
“Bagaimana kalau kita berpisah. Ibu lari ke arah jalan sana. Saya dengan motor ini pergi ke TKB,” usul Pak Suardi.
“Ya tidak apa-apa, Pak.” Jawabku karena aku melihat pacet-pecet yang bergerak itu semakin dekat dengan kami yang berteduh di pondok itu.
“Saya menunggu di jalan aspal sana saja,” kataku sambil menunjuk ke arah jalan yang telah kami lewati sebelumnya.”
“Ya Bu, saya ke TKB Kuap ya.” Kata Pak Suardi sambil mulai menghidupkan mesin motor.
Saat motor yang dikendarai Pak Suardi mulai bergerak, aku pun dengan cepat berlari menuju jalan aspal di dekat kebun duku itu. Hujan yang deras dengan cepat membuat kebun duku itu digenangi air, sehingga aku tak bisa lagi melihat dengan jelas jalannya. Aku berusaha berlari secepatnya. Lariku semakin cepat diiringi teriakan histerisku saat melihat ada beberapa pacet yang menempel di kakiku. Dengan sekuat-kuatnya, sekali- kali aku membersihkan kakiku agar pacet tidak ada yang menempel di kakiku.
Mungkin itu adalah pengalaman lariku yang paling cepat. Bagaimana tidak, aku berlari dengan perasaan takut dengan pacet-pacet yang hendak mengisap darah. Ditambah lagi, saat itu aku seorang diri di tengah-tengah kebun yang luas itu.
Akhirnya sampailah aku di jalan aspal di pinggir kebun duku itu. Bajuku sudah basah kuyup. Aku mencari tempat berteduh yang ada di dekat jalan itu. Sebuah warung kecil segera kudekati.
“Numpang berteduh Bu,” kataku kepada wanita tua yang menjaga warung itu.
“Silahkan, Bu,” kata wanita itu. “Ibu mau ke mana?” tanyanya.
“Mau ke TKB Kuap, Bu. Saya berpisah dengan teman saya. Teman saya sekarang sedang menuju TKB Kuap dan saya diminta menunggu di jalan ini, Bu.” Jawabku.
“Ada jual balsem atau minyak kayu putih, Bu?” tanyaku kepada Ibu penjaga warung ketika kurasakan kulit kakiku sakit.
“Ada, Bu.” Jawab ibu itu sambil memberikan balsem kepadaku.
“Sebenarnya berbahaya sekali ibu sendirian di tengah kebun tadi. Apalagi saat hujan deras seperti tadi.” Kata ibu penjaga warung sambil memperhatikanku mengolesi beberapa bagian kakiku dengan balsem.
“Bahaya apa Bu?” tanyaku. “Saya tadi larinya sekuat tenaga Bu karena memang ketakutan,” Kataku.
“Pada saat-saat seperti tadi, biasanya ada hewan buas yang melintas Bu. Misalnya harimau. Ibu termasuk bernasib baik. Jangan sekali-kali ibu sendirian di tengah kebun saat hujan itu lagi.” Kata ibu itu menjelaskan dan menasehatiku.
“Ya Bu. Terima kasih. Saya juga sebenarnya sangat takut tadi, Bu. Lari saya tadi seperti dikejar setan,” kataku sambil tertawa,
Setengah jam kemudian Pak Suardi sudah datang menyusulku yang menunggunya di warung kecil itu. Pak Suardi sudah membawa surat yang telah ditandatangani pamong TKB Kuap. Hujan sudah berhenti.
“Bapak, jangan sekali-kali meninggal ibu sendirian di tengah kebun tadi. Berbahaya Pak,” kembali Ibu penjaga warung mengingatkan nasihatnya kepada pak Suardi.
“Iya, Bu. Terima kasih. Kami permisi, Bu.” Kata pak Suardi sekaligus pamit.
Kami pun menuju arah pulang. Sampai di simpang jalan raya aku menyetop sebuah mobil angkutan umum menuju tempat tinggalku di Muarabulian. Sementara Pak Suardi dengan motornya melanjutkan perjalanan menuju rumahnya.
Di dalam mobil hanya ada empat penumpang termasuk sopir. Aku duduk sendiri di kursi belakang sopir. Baju yang kupakai masih basah. Begitu juga rambutku. Untunglah sopir maklum dengan keadaanku.
Hanya sebentar kenyamanan itu ada. Kembali aku berteriak histeris kala kulihat seekor pacet menempel di betis kiriku. Dengan cepat kutarik pacet itu. Hal itu kulakukan bukan karena aku berani, tapi karena aku ketakutan melihat pacet yang menempel di betisku.
“Hati-hati Bu, nanti ada pacet-pacet lain juga. Coba periksa,” kata sopir sambil tertawa melihatku yang membuang pacet lewat jendela mobil.
“Iya, Bu, periksa lagi,” kata ibu yang duduk di kursi belakang.
Segera kuperiksa tubuhku, terutama bagian kakiku. Ternyata memang ada seekor pacet lagi yang menempel dekat kakiku. Kukira itu adalah daun kering, ternyata seekor pacet. Sama seperti pacet pertama, pacet kedua ini pun kutarik secara paksa. Rasa takut membuatku jadi berani menarik pacet yang menempel di kakiku. Setelah itu kuperiksa lagi kakiku. Lalu kuolesi balsem pada kakiku agar lebih hangat.
Setengah jam di perjalanan, sampailah aku menuju simpang empat ke arah tempat tinggalku. Sungguh luar biasa dan malu karena di Muarabulian cuaca sangat cerah. Tidak ada setetes pun air hujan jatuh. Sementara aku turun dari kendaraan dengan keadaan baju yang masih basah kuyup. Orang-orang yang melihatku hanya senyum-senyum. Entah apa yang ada di pikiran mereka saat melihat keadaanku yang demikian. Ternyata hujan deras tadi hanya terjadi di desa Kuap sementara di tempat lain dan sekitarnya tidak terjadi hujan.
Pacet dan lintah sama-sama hewan pengisap darah. Kalau pada lintah ada dua alat pengisapnya, namun yang berfungsi sebagai pengisap hanya satu saja. Sedangkan pada pacet memiliki sebuah alat pengisap dan lima pasang mata pada kepalanya. Bentuk pacet yang langsing mengecil di depan dan berwarna kuning kecoklat-coklatan bahkan kehitaman membuat susah dikenali apalagi berada di tumpukan daun-daun kering. Wajar saja, ketika hujan dan ada bau darah, pacet segera bermunculan seperti yang terjadi padaku di tengah-tengah kebun duku itu.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar